Tak ada rumah yang sempurna, paling tidak bagi saya. Suatu ketika kamu akan menemukan di rumahmu genteng bocor, sofa butut, gorden usang, pintu rusak, dapur kotor, piring-piring berserakan, debu berterbangan, rayap di lemari, tikus-tikus kecil di atas plafon, jendela pecah—bahkan adu mulut antara adik kakak, orang tua anak, sekandung maupun sepupu. Tidak hanya adu mulut, sampai berminggu-minggu pun bahkan saling ngambek tak mau bicara. Itulah rumah tidak ada yang sempurna.
Tapi, malam itu dapur mengebul di rumah karena sedang ada ulang tahun. Ketika ulang tahun, tidak ada yang ketinggalan. Semua ikut senang dan merayakan. Tak lupa pakai kostum terbaik, juga berdandan paling oke. Siap-siap meniup lilin potong kue lalu makan malam bersama. Malam itu semua di rumah bergembira, tak terkecuali. Lagu happy birthday dilanjut dengan panjang umurnya berkumandang dengan meriah, doa-doa yang terucap jelas maupun yang hanya di dalam hati, seperti balon terlepas di udara begitu saja.
Ketika lahir kemudian bertumbuh di rumah, tidak semua langsung bisa berjalan. Segala sesuatu dimulai dari awal, belajar bilang ma-ma, pa-pa, merangkak, berdiri, berjalan tertatih-tatih, baru berlari. Semua diawali dari makan bubur, lalu ketika tumbuh gigi, akhirnya mencoba makan-makanan keras. Ada proses yang mengikat—ada belajar ketika berproses, ada air mata di dalam proses.
Suatu ketika, saya bisa saja bosan dengan cat rumah yang itu-itu saja lalu kepingin menggantinya dengan warna oranye yang bikin silau. Tidak semua setuju, jadilah saya hanya bisa memakai motif oranye pada bantal di atas sofa. Tidak semua keinginan terpenuhi di rumah, tidak semua harus setuju dan bilang “Ya” kadang yang diperlukan adalah “Tidak.”
Tapi begitulah rumah: tidak ada yang cocok. Hanya saja bukankah supaya rumah itu tetap harmonis, setiap penghuni rumah harus punya hati yang besar untuk menerima ketidakcocokan itu, begitulah yang dikatakan Kak Edwin di malam itu.
Pengikat kepala, dress warna-warni, lipstik merah, sepatu jadul—meriah sekali menghiasi suasana ulang tahun pada malam itu. Tepat di usia delapan belas, rumah kami terlihat meriah sekali. Suasana pestanya tidak mewah—melainkan hangat. Usia delapan belas, mungkin adalah usia yang labil, tetapi gairah untuk jatuh cinta sedang ranum-ranumnya di usia ini.
Semoga sepanjang tahun ke depan kita tetap saling jatuh cinta, melakukan segala sesuatu dengan penuh cinta, bertumbuh dengan penuh cinta, saling menerima dengan penuh cinta. Layaknya anak usia delapan belas, mungkin saat ini ia sedang tersipu-sipu malu membaca surat cinta pertamanya.
Malam itu selesai pesta, saya beranjak ke kamar tidur. Terlihat saudara-saudara perempuan saya sudah tidur duluan, mungkin kecapekan berpesta semalaman. Diam-diam, ada sebuah kado dengan pita biru yang belum sempat dibuka. Diikat dengan kartu kecil di depannya, saya mengambil kartu itu dan membaca perlahan—
Happy birthday, G! Terima kasih sudah menjadi rumah, tak ada rumah yang sempurna. Tapi bukankah kemanapun kakimu melangkah pergi, pasti akan kembali ke rumah.
LOVE,
The.
happy when we sing
saya dan Ojak, partner in crime
the girls, beautiful.
with Eka, tas keranjang saya isinya bayi kucing
all in pink.
*pic by Henry Kumanau