Thursday, October 12, 2017

Bagaimana Kau Harusnya Menemukan Dirimu Sendiri Sebelum Kau Menemukan Diri Orang Lain




Sebuah pertanyaan muncul di kepala saya, ketika sedang keramas. Bagaimana ketika akhirnya pernikahan akan membawamu kepada sebuah keterasingan. Saya tak tahu dari mana pertanyaan ini justru muncul di dalam kepala saya, barangkali ketika sebelumnya saya membaca novel terbarunya Intan Paramadhita (karena saya akan memoderatori acara pra-peluncuran novel tersebut besok lusa), dan di dalam novel tersebut saya menemukan kalimat-kalimat ini. Atau barangkali juga karena di malam sebelumnya saya membaca sebuah ulasan tentang Marianne Katoppo, seorang penulis perempuan yang pada akhirnya memutuskan untuk tidak menikah, dan memilih untuk tinggal bersama dua puluh kucingnya. Bahkan saya membaca di satu halaman yang menuliskan bahwa Marianne sedikit kesepian dengan keputusannya itu. Atau barangkali juga sebelumnya saya mendengarkan kembali sebuah seminar yang membahas tentang Pengakuan Eks Parasit Lajang, yang di dalam buku tersebut: Ayu Utami akhirnya menikah. Setelah sebelumnya ia menulis sepuluh dan sebelas alasan kenapa ia tidak akan menikah di bukunya Parasit Lajang. Atau barangkali saja, pertanyaan itu muncul karena dalam sebulan ini saya sering dicurhati oleh beberapa kawan perempuan tentang pernikahan dan rumah tangga mereka.

Entahlah, tapi pertanyaan itu muncul tiba-tiba di dalam kepala saya ketika saya sedang keramas. Pernikahan adalah satu atau bukan juga sebuah pilihan di dalam hidup. Tapi jangankan menikah, dalam berhubungan dengan sahabat dalam kehidupan sehari-hari saja pun kadang kita merasa saling terasing. Lalu pertanyaan lainnya adalah bagaimana kalau nantinya saya kemudian terasing di dalam pernikahan, bagaimana kalau akhirnya saya sendiri tidak bahagia dengan pernikahan saya, bagaimana kalau pada akhirnya segala pengandaian yang ada di dalam kepala saya tentang pernikahan pada akhirnya tidak sesuai dengan kenyataan, dan daftar ini akan bertambah panjang dengan bagaimana-bagaimana lainnya. Tak ada contoh yang paling dekat tentang pernikahan, selain kedua orang tua saya sendiri, mereka menikah selama empat puluh tiga tahun, sebelum akhirnya ibu saya meninggal, dan ayah seorang diri kini. Kehidupan pernikahan yang tidak diromantisir, tetapi berlimpah pengertian. Pada akhirnya yang tersisa adalah pengertian yang panjang. Karena kehidupan pernikahan adalah sebuah leburan dunia yang sama sekali lain.

Saya membayangkannya sebagai sebuah ruang yang sempit, di mana di dalamnya, dua orang yang telah menikah tadi akan berbagi segala hal senang pun yang menjengkelkan. Segala aroma yang senang pun menjengkelkan, dari mulai aroma ketiak, aroma masam pada kaki, aroma badan ketika tidak mandi berhari-hari, aroma kemarahan, bahkan aroma busuk yang terkuak dari hati. Sebuah kenyataan terpatri di sini: pasangan yang telah menikah dan memutuskan untuk saling lebur lagi mendapati diri mereka terjebak dalam sebuah labirin dengan orang yang sama. Dan yang dapat membantu mereka adalah pengertian dan pengertian. Lalu, apakah pada akhirnya mereka akan tetap saling merasa terasing satu dengan yang lain?

Bisa ya, bisa juga tidak. Ruang sempit tadi yang membatasi satu dengan yang lain, justru adalah sebuah pengertian yang lain, semakin sempit ruang, semakin dapat saling menyentuh satu dengan yang lain, semakin saling menyentuh satu dengan yang lain, maka semakin ada rasa untuk saling menginginkan satu dengan yang lain. Tapi apakah dengan pengandaian di dalam kepala saya ini, kemudian dapat menjawab pertanyaan saya, tidak juga. Saya masih merasa bahwa pertanyaan bagaimana-bagaimana tadi kemudian masih menjadi sesuatu yang asing di dalam kepala saya. Kemudian apakah dengan pengertian saja cukup? tulisan ini sendiri tidak dapat menjawab judul yang saya pakai di atas. Namun semoga saja tulisan ini tidak murahan.

Wednesday, October 11, 2017

Mendamba Drupadi




Borok dan anjing. Manusia memelihara keduanya—dengan alasan kesepian.

Ia memaksakan kakimu untuk mengendus satu kubangan air yang satu ke kubangan air yang lain tanpa tertegun lama. Barangkali itu adalah kubangan hujan atau air mata, petak petak kesedihan, atau seperti borok yang menganga. Manusia rajin memelihara borok dan manusia rajin memelihara anjing: keduanya saling menjilati berharap akan terobati. Kesepian tak ada obatnya. Pada suatu malam ketika ia berjalan dan menghampirimu pada sebuah kehidupan yang sama sekali lain: kau melihatnya temaram. Ia tumbuh rimbun di pekarangan hatimu, sayang sekali ia mengeringkanmu dan kau masih berpikir ia sesuatu yang indah.

Yudistira dengan bimbang mengeluarkan sebuah rokok dari dalam sakunya dan menyalakan sebatang. Panjang sangat panjang rokok itu—seperti tak habis-habis dari dalam sakunya. Ia menghisapnya dalam-dalam, asap rokoknya dihembuskan perlahan, menuju atap, menuju gugusan langit ia ingat sering terbang bersama perempuan itu kemari dan bertemu bintang-bintang yang roboh, jatuh ke bumi, bersama dengan sebuah keinginan: aku ingin memilikinya. Sebuah keinginan yang kosong.

Bima yang sedari tadi memainkan ekor rambutnya, membetulkan letak kacamatanya, menggeser pantatnya sedikit di tempat duduknya. Ia baru saja mengirim sebuah pesan pendek kepada seorang perempuan, hanya di-read, tapi tak dibalas. Sial! rutuknya dalam hati. Dan hatinya kembali mengutuknya. Rindu berubah menjadi sebuah pesan pendek, yang membuatmu gusar jika tak segera dibalas.

Di seberang mejanya, ia melihat sepasang muda-mudi saling menatap  namun tak bicara sepatah katapun. Lama kelamaan sepasang muda-mudi itu berubah menjadi sepasang gagak hitam, paruh mereka saling bertautan satu dengan yang lain, paruh itu kini terbuka, dan dua gagak hitam itu saling memagut. Arjuna dengan setelan jas berwarna marun, terpaku sejenak sebelum tangannya menjelajahi tasnya untuk mencari-cari ponselnya, barangkali ia dapat mengabadikan momen itu. Nihil. Ia tak menemukan ponselnya sendiri. Pikirannya kini melayang kepada perempuan itu, dengan rambut hitam legam seperti gagak, perempuan yang menjadi penguasa jiwanya dengan pinggulnya yang gemerlapan. Ia kembali menyesap kopinya, ada helai-helai berwarna hitam—seperti sayap—seperti gagak, tergenang di cangkirnya.

Nakula dan Sadewa, adalah cermin. Saling memancarkan satu dengan yang lain, barangkali itu cemas, atau ragu, atau, entah. Bahasa manusia terlalu terbatas untuk menceritakan perasaan-perasaan yang asin di dalam dirinya. Bukan, Nakula dan Sadewa bukan lautan yang dimaksud. Namun mereka berwarna biru. Mereka duduk di meja lainnya pada kafe itu, bersama genangan;

aromanya adalah perempuan.


dago 349, 10 oktober 2017. 14:42

-

(sebuah tulisan yang dibuat untuk Spektakel Drupadi, langkah satu: Mengopi Pandawa, 14 Oktober 2017)



Featured Post

Sebuah Catatan Tidak Kreatif Tentang Cara-Cara Tidak Kreatif Untuk Mencintai

Cara-cara Tidak Kreatif Untuk Mencintai, adalah sebuah buku yang sedang kamu tunggu. Ia lahir sebentar lagi, tepat di 16 A...