Friday, January 30, 2015

Perjalanan Menuju Pulau Osi (Bag. Kedua)







Setelah kami menikmati Telaga Tenggelam, kami lalu menuju satu daerah di daerah Loki, Seram Bagian Barat. Kami menaiki jalan perbukitan, dengan hutan-hutan di kiri dan kanan kami menuju ke sebuah area yang disebut Gunung Tinggi, Seram Bagian Barat.

Perjalanan ke sini akan membuat kamu ternganga nganga karena selain bukit, hutan, ada laut juga di kejauhan yang bisa dinikmati. Cuaca siang itu lumayan panas, sehingga menimbulkan langit biru yang sangat menjernihkan mata.

Kami lalu tiba di Gunung Tinggi, sekilas jika melihat daerah ini, mungkin kamu tidak akan menyangka bahwa, daerah ini ada di Maluku, Indonesia. Sekilas seperti Skotlandia, dengan kawasan bukit-bukit hijau, pepohonan, dan laut di kejauhan. Sekedar beristirahat, turun dari motor dan meluruskan punggung, kami lalu memanjakan mata sejenak menikmati pemandangan sekitar.


perjalanan menuju ke gunung tinggi lalu sempat mampir dulu di kawasan perumahan ini


Dari Daerah Gunung Tinggi, kamu bisa melihat lekuk lekuk jalan di bawahmu. Dengan rerumputan yang seperti dipotong hampir setiap harinya, rapih dan berjejer. Lalu angin sepoi. Di sekitar Gunung Tinggi tidak ada rumah satupun, malah saya berpikir bahwa daerah ini akan asik jika dijadikan sebagai area perkemahan, ya tapi tidak tahu juga ya, kalau daerah sekitar masih bayak ular, hii!



Gunung Tinggi, Seram Bagian Barat, Maluku, Indonesia





Ketika ke Daerah Seram Bagian Barat, Gunung Tinggi, bisa menjadi pilihan kamu untuk memanjakan mata dan leha-leha sejenak dari aktivitas pekerjaan yang penat. Saya sendiri ingin kembali ke sana suatu hari nanti.


Thursday, January 29, 2015

Perjalanan Menuju Pulau Osi (Bag. Pertama)







Perjalananan lainnya yang bisa dilakukan kemarin adalah pergi ke Pulau Osi. Pulau Osi terletak di daerah Seram Bagian Barat, Maluku. Pulau Seram adalah pulau terbesar di daerah Maluku dan masih banyak lahan yang kosong di daerah ini, dengan kata lain pembangunan belum terlalu berjalan dengan baik di daerah ini.

Alternatif perjalanan yang bisa kamu lakukan ketika pergi ke Maluku adalah jalan-jalan ke Pulau Seram. Kali ini saya dan teman-teman secara random jalan-jalan ke daerah Seram Bagian Barat.

Pagi sekitar pukul 5.30 kami berangkat dari Kota Ambon, dengan janjian bertemu di daerah pom bensin Batu Merah, kami berpasang-pasangan dengan motor, kali itu kami menggunakan tiga motor. Alasannya kenapa kami memilih motor adalah, supaya lebih praktis, dan bisa sekaligus pulang-pergi.

Jika pergi ke Pulau Seram, maka harus pergi dulu ke Pelabuhan Hunimua, Liang dan menyeberang dari sana. Ketika melewati daerah Pantai Suli, kami sempat berhenti sebentar dan menikmati sunrise yang ada. Terusterang ini adalah pemandangan yang sangat mahal, karena jarang-jarang saya bisa menikmati sunrise ketika sedang berada di Bandung. Pemandangan sunrise pagi ini benar-benar menyegarkan mata sekaligus jiwa, saya menganggapnya sebagai pertanda baik yang mengawali perjalanan kita ke Pulau Osi.



bertemu sunrise di daerah Pantai Suli, Ambon, Maluku

Sebelum sampai di Liang, kami sempatkan diri untuk membeli sarapan di daerah Tulehu, negeri yang akhirnya ramai dibicarakan karena film Cahaya Dari Timur: Beta Maluku. Negeri Tulehu pagi ini sangat damai, tampak semburat matahari pagi, mulai muncul di antara sotoh-sotoh rumah, mama mama yang sudah bangun mulai pergi ke luar  mengantri nasi kuning untuk sarapan pagi mereka. Saya juga menemukan anak kucing yang jatuh ke dalam selokan dan mengeong ngeong di pagi itu.

Perjalanan kami kemudian dilanjutkan ke Pelabuhan Hunimua, Negeri Liang. Kendaraan yang mengantri di pagi itu tidaklah banyak. Nampak antrian orang yang hendak menyeberang ke Pulau Seram  juga tidaklah ramai. Karena kami menggunakan motor, kami membayar seharga motor yang hitungannya sepeda motor berbonceng adalah Rp.56.000.

Perjalanan di dalam Ferry sangatlah menyenangkan, ada kamar mandi yang bersih. Di dalam Ferry juga terdapat kafe kecil untuk membeli kopi dan sarapan-sarapan kecil lainnya. Penyeberangan menuju Pulau Seram hanya membutuhkan waktu 1 jam 30 menit. Kami pun sampai di Pelabuhan Waipirit, Kairatu, Seram.


tim ekspedisi kami



salah satu ruas jalan di daerah seram bagian barat

Kami lalu melanjutkan perjalanan dengan motor, melewati jalan-jalan yang sudah diaspal dengan baik, tampak langit biru jernih di atas kepala, dengan perpaduan pohon-pohon hijau di sepanjang perjalanan kami. Kami lalu sampai di derah Piru, kata Yuli, teman dari Baronda Maluku yang waktu itu bersama-sama dengan kami, ia menganjurkan untuk sebelum kami ke Pulau Osi, ada baiknya kami mampir dahulu untuk melihat Telaga Tenggelam. Telaga Tenggelam memang berbentuk Telaga dengan air yang bening. Ketika kami berhenti untuk sekedar membeli minuman dingin di sebuah warung yang ada di pinggir jalan, kai sempat mengobrol dengan penduduk setempat tentang Telaga Tenggelam. Ia lalu bercerita bahwa, Telaga Tenggelam itu dahulunya adalah sebuah desa yang akhirnya sengaja “ditenggelamkan”  oleh Tete Nene Moyang (Leluhur) alasan ditenggelamkan karena katanya penduduk sekitar itu melakukan kesalahan, konon begitu ya.

Telaga Tenggelam

Kami hanya mengangguk angguk ketika didongengkan. Selain itu ternyata Tete Nene Moyang (leluhur) di negeri setempat katanya berbentuk buaya, yang biasanya juga terlihat sedang berenang-renang di sekitar Telaga Tenggelam. Beruntung sekali, saya tidak bertemu dengannya, padahal ketika mengujungi Telaga Tenggelam, saya memang masuk dan berjalan-jalan di sekitar Telaga, untuk merendam kaki.

Saya tidak membayangkan jika saya bertemu dengan seekor buaya di dalam Telaga Tenggelam itu, hm.

(Bagian dua, dilanjutkan nanti ya.)


Monday, January 26, 2015

Benteng Duurstede Yang Tidak Boleh Dilupakan





Ketika sampai di Pulau Ambon, banyak hal memang bisa dilihat. Tetapi ada alternatif kunjungan lain yang bisa dilakukan dan itu bukan hanya di pulau Ambon. Kamu bisa pergi ke Saparua.

Saparua adalah salah satu Pulau yang terdapat di Maluku Tengah, pulau Saparua berdekatan dengan Pulau Haruku dan Pulau Nusalaut. Dan dari sinilah Kapitan Pattimura berasal. Saya berangkat ke Saparua dengan Mbak Upi (seorang teman dari Tobucil, Bandung) yang waktu itu memang berencana untuk liburan ke Ambon.

Akhirnya setelah mengeliligi Ambon, kami pun pergi ke Saparua. Kami berangkat pagi-pagi dari Ambon, karena mengejar jadwal kapal cepat dari Pelabuhan Tulehu. Dengan menggunakan angkutan umum dari Terminal Pasar Mardika, kami memilih naik angkutan umum jurusan Liang. Hanya membayar 15 Ribu Rupiah. Turunlah kami di Pelabuhan Tulehu dan harus mengantri untuk membeli tiket.

Sayangnya memang sistem pembelian tiket menuju Pulau Saparua itu tidak terlalu teratur. Karena setiap orang dengan sistem “siapa cepat dia dapat” harus rela berdesak-desakan untuk mendapatkan beberapa helai tiket. Harga tiket kapal cepat ke Pulau Saparua hanya Rp. 75.000. Tiket yang kami beli sudah termasuk ada tempat duduknya.

Sesampainya di Pelabuhan Haria, kami menaiki ojek dengan membayar Rp.15.000 dan meminta untuk diturunkan di Benteng Duurstede. Benteng Duurstede memiliki pemandangan yang sangat eksotis. Sebelum menaiki tangga, saya sempat berjalan-jalan di sekitar luar Benteng dan menikmati pemandangan laut di sekitarnya. Kelihatan Pulau Nusalaut di kejauhan, dari halaman rumput tempat saya berdiri. Karena ada halaman rumput yang cukup luas, maka penduduk dengan sengaja meletakkan sapi-sapi mereka di sekitar rerumputan tersebut.




Pemandangan Dari Luar Benteng Duurstede

Lalu kami pun masuk ke dalam Benteng. Sejujurnya ada sedikit rasa merinding ketika ada di dalam Benteng Duurstede. Karena mengingat kembali perjuangan Pattimura dan teman-temannya untuk merebut Benteng ini dari Belanda. Bangunan Benteng Duurstede itu masih terlihat kokoh walaupun sudah lama dibangunnya, sayangnya memang beberapa bagian sudah lumayan lapuk dan tidak terlalu diperhatikan. Saya pun menggunakan waktu itu untuk berjalan berkeliling Benteng. Pemandangan dari atas Benteng tidak kalah menariknya. Benteng Duurstede dikelilingi oleh laut dan kita bisa melihat beberapa meriam memang sengaja diarahkan ke laut, tempat dulu kapal-kapal masuk untuk menyerang.



Pemdandangan Dari Dalam Benteng Duurstede


Meriam Di Dalam Benteng Duurstede


Mbak Upi Di Dalam Benteng Duurstede


Setelah dari Benteng, kami pergi mencari makan siang di sekitar Benteng Duurstede, tidak perlu kuatir karena banyak rumah makan enak yang bisa didatangi dengan harga yang relatif murah. Selesai makan, kami tinggal menyeberang ke sebuah hotel kecil yaitu Hotel Perdana yang saya rekomendasikan jika kamu memang hendak menginap beberapa hari di kota ini, karena per malamnya hanya Rp.150.000 dengan fasilitas hotel yang lumayan memadai.

Istirahat sebentar, kami lalu berkeliling dengan ojek, mengelilingi Pulau Saparua dari satu negeri ke negeri lainnya (negeri adalah sebutan orang Maluku kepada kampung) kami sempat berencana melihat cara pembuatan sempe (wadah Papeda, makanan khas Maluku) tetapi karena pada saat itu adalah liburan akhir tahun, maka Mama Mama yang biasanya membuat sempe juga liburan. Setiap berkeliling dari satu negeri ke negeri kami sempat mampir untuk melihat Baileo atau rumah rakyat setempat, dan pastinya melihat Tanjung Ouw, yang terletak di ujung Pulau Saparua.

Selesai berkeliling, kami menghabiskan waktu menikmati sunset di Pantai Pasir Putih, yang terletak di samping Benteng Duurstede dan menyaksikan penduduk setempat mandi-mandi di laut. Duduk di pasir merasakan halusnya pasir putih, hembusan angin, dan canda tawa anak-anak setempat.



Tanjung Ouw, Tanjung Paling Ujung dari Pulau Saparua. Pulau ujung satunya adalah Pulau Nusalaut


Pantai pasir putih di samping Benteng Duurstede


Belum selesai, kami pun pindah ke Bagian Belakang lain dari Benteng Duurstede, dan ternyata pemandangan dari situ jauh lebih seksi. Laut yang tenang dan matahari hampir tenggelam. Rasanya ingin sekali tinggal di Pulau Saparua lebih lama, tapi sayangnya keesokan harinya kami harus pulang. Suatu hari nanti saya pasti akan kembali dan menikmati Pulau Saparua lebih lama.   



Pemadangan lainnya dari luar Benteng Duurstede








Sunset di Benteng Duurstede

Saturday, January 3, 2015

Jeda (Sebuah Perenungan Memasuki Tahun Baru)







Jeda rasanya seperti kemunduran di dalam hidup. Tidak perlu melakukan apapun di dalam hidup, hanya mundur sejenak untuk banyak berpikir. Diam dan sepertinya tidak berkontribusi apa-apa. Lalu pada akhirnya memang hanya diam. Tidak perlu melakukan apa-apa. Rasanya ketika sedang diam, kita memang hanya berdiam diri saja, dan tidak melakukan apa-apa.

Saya menamakannya dengan fase “menarik diri ke belakang” yang jika diartikan lebih lanjut adalah fase dimana kita perlu menarik diri ke belakang supaya kita bisa memeriksa tentang kedalaman kita. Kedalaman adalah hal-hal yang tidak terlihat secara kasat mata, melainkan hal-hal yang sifatnya berhubungan dengan kualitas diri. Seberapa jauh saya bisa memberikan value kepada diri saya sendiri tentang hidup dan menjalani kehidupan.

Memasuki fase ini selanjutnya saya akan bicara tentang kedalaman pemikiran, kedalaman visi, kedalaman goal, kedalam relationship (apakah saya sudah siap dengan hubungan yang cukup serius) lalu kedalaman sikap (bagaimana saya melihat dan memaknai hidup) lalu kedalaman hubungan saya dengan Tuhan (bagaimana saya bisa memaknai Tuhan, bagaimana kuantitas dan kualitas hubungan saya dengan Tuhan) lalu kedalaman eksistensi (apakah hal yang saat ini saya sedang lakukan adalah semata karena passion saya atau hanya persoalan pemenuhan eksistensi saya.

Sesungguhnya menarik diri ke belakang atau bisa dikatakan dengan sebutan lainnya yaitu jeda adalah menjawab pertanyaan pertanyaan tersebut. Pertanyaan pertanyaan yang saya ajukan kepada diri saya sendiri. Jeda itu seperti mundur, diam, tidak melakukan apa-apa, tetapi sebenarnya ketika diam dan menjawab pertanyaan pertanyaan, bukankah itu adalah sebuah lompatan?

Featured Post

Sebuah Catatan Tidak Kreatif Tentang Cara-Cara Tidak Kreatif Untuk Mencintai

Cara-cara Tidak Kreatif Untuk Mencintai, adalah sebuah buku yang sedang kamu tunggu. Ia lahir sebentar lagi, tepat di 16 A...