Ini hari Sabtu, saya bangun agak siang. Dengan celana pendek dan rambut kepang satu yang sedikit acak-acakan, saya sengaja berjalan di halaman rumah tempat saya tinggal dan menemukan Jacob di sana. Anjing itu sedang mengendusi tempat sampah. Ia anjing yang pintar dan nakal, terkadang ia menggigit sesuatu dari tempat sampah lalu menghambur-hamburkannya di halaman. Hal yang paling saya sukai kalau bertemu dengan Jacob adalah menciumi hidungnya dengan gemas. Lalu menciumi kepalanya lama—
Saya lalu mengajak Jacob ke kamar, sudah lama saya ingin bercerita kepada Jacob tentang seorang gadis cilik bernama Totto-chan. Saya percaya walaupun mereka belum pernah bertemu Jacob pasti menyukai Totto-chan. Jadi saya di atas tempat tidur, lalu Jacob tiduran di karpet persis di sebelah saya. “Anjing pintar” kata saya.
Saya mulai bercerita, “Jacob, Totto-chan itu juga punya anjing gembala jerman namanya Rocky, ia mungkin juga setinggi kamu. Mereka pernah main ‘menjadi serigala’ tapi waktu itu Rocky tidak sengaja menggigit telinga Totto-chan. Tapi Rocky bukan anjing yang nakal kok, persis kayak kamu juga, ia anjing yang baik dan penyayang.”
Jacob mendengarkan saya dengan penuh perhatian. Sesekali telinganya berdiri, saya memperhatikan ujung hidungnya yang basah itu kembang kempis. Lalu melanjutkan cerita saya “nah, si Totto-chan ini bersekolah di Tomoe Gakuen. Kamu tahu Tomoe itu artinya apa?” Jacob tampak bingung, mata coklatnya melirik ke kanan dan ke kiri—tapi bingung mau menjawab apa. “Oke, Tomoe adalah simbol kuno berbentuk koma. Untuk sekolah yang didirikannya, Kepala Sekolah memilih lambang yang terdiri atas dua tomoe—hitam dan putih—yang bergabung membentuk lingkaran sempurna. Lambang itu menggambarkan cita-cita Kepala Sekolah bagi para muridnya, yaitu tubuh dan pikirannya sama-sama berkembang secara seimbang dan dalam keselarasan yang sempurna.” (Buku Totto-chan, hal 104)
Saya menjelaskan kepada Jacob panjang lebar. “Kamu masih mau mendengarkan cerita tentang Totto-chan?” tanya saya pada Jacob yang mulai melamun. Ditanya seperti itu, kedua telinganya berdiri kembali. Artinya ia bersemangat kembali. “Sosaku Kobayashi adalah pendiri sekolah itu—ia adalah seorang pria yang hebat..” tiba-tiba saya berkaca-kaca menceritakan bagian ini “terus terang, saya tidak kenal, Mr. Kobayashi, saya juga tidak pernah bersekolah dengan Totto-chan, tapi entah mengapa, saya merasa sangat dekat dengan Mr. Kobayashi—saya juga ikut mencintainya dan begitu menyayanginya sama seperti Totto-chan dan teman-temannya pada jaman itu. Ia pria dengan hati yang begitu besar. Ia begitu tulus. Apa yang ia kerjakan dengan tulus, betul-betul menjadi sesuatu.”
Saya berhenti, lalu memandang ke dalam mata Jacob. Saya selalu suka memandangnya begitu, Jacob pun suka di pandang begitu. “Apa sih arti tulus itu, Jacob?” Jacob mengernyitkan matanya. Ia bingung mau jawab apa, lalu saya melanjutkan—
“Tapi saya percaya, sesuatu yang dikerjakan dengan tulus, itu efeknya baru akan dirasakan bertahun-tahun kemudian. Dan Totto-chan begitu percaya kepada Mr. Kobayashi. Begitupun sebaliknya Mr. Kobayashi percaya sungguh kepada Totto-chan. Ia selalu mengatakan dengan tulus kepada Totto-chan bahwa kau itu anak yang benar-benar baik. Kau tahu itu kan?”
“Ini bagian yang paling memesona saya dari buku ini, Jacob. Saling percaya. Mr. Kobayashi belum melihat efek-nya, ia hanya percaya dengan tulus. Dan bertahun bahkan berpuluh tahun kemudian, ketulusannya lalu menjadi sesuatu. Ketulusan itu menular. Mungkin begitu ya, Jacob?”
Selesai bercerita panjang lebar, saya memandang mata Jacob. Anjing itu kelihatan mulai mengantuk. Kali ini saya pindah duduk di karpet, ia pun pindah selonjor di dekat meja kayu mungil tempat saya biasa mengetik. Dan sesekali menyorongkan pantatnya sedikit kena tangan saya, kalau sudah begitu itu tandanya harus dibelai. Saya membelai punggungnya, ia mengapitkan kedua kaki depannya di tangan saya seperti memeluk—lalu tertidur.
Hari ini saya belajar sesuatu yang bernama ketulusan.
Sudah membaca buku ini berulang-ulang kali. Tak pernah bosan. Selalu ikut senyum di setiap bab yang saya baca. Selalu ikut menangis di bab-bab tertentu, dan selalu tidak melupakan bagian favorit saya: “Aku akan tetap meraut pensil-pensilnya.” Kata Totto-chan memutuskan. “Karena aku cinta padanya.”
Bagian paling tulus sekaligus romantis di halaman seratus sembilan puluh dua.
*semacam mereview buku Totto-chan Gadis Cilik di Jendela yang ditulis oleh Tetsuko Kuroyanagi di tahun 1982. Tahun dimana saya belum lahir. Kini berpuluh-puluh tahun kemudian, setelah berkali-kali membaca buku ini, saya tetap menemukan ketulusan yang sama di sana.
saya juga pernah membaca buku toto chan beberapa tahun yang lalu, dan sosok kepala sekolah benar-benar mencuri hati saya.
ReplyDeletedan saya berfikir andai Indonesia memiliki sekolah seperti tomoe gakuen =)