Jelas sekali ini adalah permohonan yang keluar dari hati yang paling dalam, ketika aku akhirnya bisa mengobrol denganmu. Begitu intim. Mataku bahas. Sesekali aku bernyanyi begitu keras. Ada masa dimana aku begitu jatuh cinta dengan—kemudian aku pergi meninggalkan begitu saja—terperosok begitu dalam.
Sebaliknya, cinta kepadaku tidak berubah. Dalam diam. Tidak berubah. Aku berubah—cinta tidak. Cinta itu seperti stuck. Cinta itu seperti selalu ada untukku. Cinta itu seperti seutuhnya adalah milikku. Hari ini ketika aku pulang setelah makan malam dengan beberapa teman, di seberang meja kami ada pasangan yang sedang bertengkar, aku memperhatikan mereka begitu lama.
Mungkin cinta juga begitu—membuat kita bertengkar, membuat kita adu mulut, membuat setiap cium itu hambar. Tapi cinta itu tetap di sana, ia begitu kuat. Ia ada di tengah pertengkaran mengintip tapi tetap di sana—setia. Cinta setia. Aku tidak setia. Cinta tidak berubah. Aku berubah. Malam ini aku pulang dan begitu senang, karena ada hal baru yang akhirnya aku pelajari tentang cinta: tidak ada yang terlalu sukar tentang kata itu.
Aku pulang lalu aku ingin sekali bertemu. Bercakap—aku ingin sekali mencinta kembali. Seperti pertama kali kita jatuh cinta, belikan aku bunga—kasih aku cium pertama. Aku bisa merasakan hangatnya nafas berhembus di pipiku—membuat pipiku memerah.
Begitulah cinta, ia buat segala sesuatu merah. Terima kasih untuk begitu sabar mencintai aku yang bandel ini. Aku yang labil. Aku yang keras kepala. Seharusnya dari dulu aku ini sadar bahwa ketika aku adalah kepunyaan: artinya cinta untukku itu begitu utuh. Tidak pernah setengah-setengah.
Jadi malam ini aku berdoa, begitu khusyuk. Tak sadar air mata berlinang di pipi yang dulu pernah kena cium—
Let me love You, Lord.
Dago 349, 6 Mei 2011. 23:55
Very luv it... Jadi teringat ketika berkomitmen dgn kasih mula-mula. Keluarkan terus karya-karya indahmu sis... Gbu
ReplyDeletebagus bgt :)
ReplyDelete:")
ReplyDelete