Saturday, February 27, 2010

Kamar Mandi

hatimu seperti kamar mandi.
disana kubagi soal sikat gigi, sabun mandi
sampai yang paling pribadi.
rapat kau simpan cerita panjangku
dalam gayung bisu, meneruskannya
ke comberan berlikuliku.
akhirnya menyatu dengan tanah
disana, ia tumbuh kembali.

(2010)

Wednesday, February 24, 2010

Sekali Saja

aku ingin menciummu,
di bawah mendung tengah hari

sebelum derasnya mengalir,
dari bening nadimu

sekali saja.

(2010)

Tuesday, February 16, 2010

Bermain dengan saudara kembar

Hujan punya dua saudara kembar. Namanya Guntur dan Kilat. Mungkin kamu yang membaca tulisan ini berpikir, kok bisa? Bukannya Hujan anak tunggal? Tidak. Saudara kembar itu memang ada, teman. Dan Hujan suka sekali bermain dengan mereka.

Hari ini mereka main petak umpet.

“Sembunyi ya! Pokoknya, aku bakal hitung sampai sepuluh. Kalau sudah sepuluh, kalian sudah nggak boleh kelihatan lagi”. Teriak Hujan, disambut gemuruh semangat ke dua saudara kembarnya itu.

“Oke, siap! Satu, dua, tiga, empat...” selanjutnya Hujan terus menghitung dengan semangatnya. Sambil memejamkan matanya, tak boleh curang. Di kejauhan terlihat Guntur dan Kilat berlari mencari tempat persembunyian mereka yang paling aman.

Kilat itu kurus, dengan kulit berkilau, mirip dengan Hujan. Hanya saja kilat lebih pucat. Mungkin karena Kilat suka begadang, atau kurang minum vitamin, padahal sudah sering diingatkan oleh kedua orang tuanya.

Sedangkan Guntur lebih berisi sedikit. Lebih gemuk tepatnya. Hobby lainnya adalah mebaca puisi. Ia suka sekali membaca puisi-puisinya hujan, kencang-kencang. Dan suka sekali melatih suaranya. Siapa tahu suatu hari nanti ia bisa bergabung dengan Glorify Choir, paduan suara di Bandung, yang isinya anak muda semua. Begitu cita-citanya.

“Se-pu-luh... Okay, semuanya sudah sembunyi yah. Gun-gun, Kil-kil, kalian dimana?” Teriak hujan tertahan mencari kedua saudara kembarnya.

“Nah loh, Kil-kil kamu keliatan. Ayo kamu kena. Ayo keluar, hihihi... Yesss! Kil-kil kena. Kil-kil kena.” Seru Hujan girang, karena bisa langsung melihat Kilat.

“Ah, Hujan! Kamu curang ih, pasti kamu ngintip yah? Huh.” Rajuk kilat, sambil memonyong-monyongkan bibirnya ke depan.

“Ih, aku nggak ngintip kok. WEK! Lagian, siapa suruh kamu sembunyi di langit gelap? Kan jadinya kulit pucatmu kelihatan.” Balas hujan tidak mau kalah.

“Sekarang tinggal Gun-gun nih. Mana yah? NAH! Itu Gun-gun! Hey, keluar kamu genduuuttt. Aku liat kamu, aku liat kamu.” Hujan girang sekali, ketika memergoki saudara kembar satunya lagi, yang sedang berusaha keras menahan batuknya. Padahal kadang desahnya saja kedengaran.

Aku diam-diam tertawa, melihat ulah mereka bertiga.

Kapan terakhir kali aku main petak umpet, sambil hujan-hujanan ya? Wah, sudah lama sekali. Ketika itu saudara-saudara perempuanku masih lengkap semua.

(2010)

Saturday, February 13, 2010

Malaikat

aku suka iseng
padahal sudah dilarang
pipis sembarangan
tetap kulawan
makanya hujan.

tak perlu keluh kawan
pipisku bening
tak berbau
apalagi mengotorimu
kuhanya hujan.

maaf !
bukannya ku tak sopan
WC di surga sedang
renovasi.

(2010)

Friday, February 12, 2010

Tuhan Menangis

hari ini Tuhan menangis
mataNya bengkak
hidungNya merah merah
tisu rollNya habis

(2010)

Pesta Surga

mungkinkah
ada
malaikat
yang
menikah

hujan
berbau
bir
hari
ini


(2010)

Sunday, February 7, 2010

Hujan Ringkih

jendela langit terbuka lebar-lebar. hujan menyeruak. berdesak-desakan. senggol sana sini. berhamburan menuju satu tempat. tak sabar ingin menemuinya.

gadis itu disana. Duduk. Telanjang. tenang-tenang saja. toh, ia dan hujan satu, pikirnya. Mungkin siang ini kita bisa bercinta.

dari kejauhan, hujan bergemuruh, berlari, sesekali melompat. tak peduli ujung-ujung jarinya perih menabrak aspal. asal bisa menggapainya. merengkuhnya. menjalari sekujur tubuhnya. meliuk-liuk di setiap lekukannya.

kenapa? bukankah kita satu.

“hujan sini ! peluk aku. Peluk sendiriku. “

hujan diam. tak berani maju.

“hatiku terlalu ringkih untuk kau peluk?”



(2010)

Friday, February 5, 2010

Pulang

: Untuk Daud Pedama Mangalay Saba (1941-2010)

pagi ini tidak terlalu bising
bis yang lewat kosong melompong
nyanyian burung meriah lari
aku sendiri

padahal semalam lagu sigulempong bersenandung
tanganku menari
dengan baju kotak kotak favoritku

aku
siapakah aku ?

aku si telinga emas itu !

vocal grup sampai paduan suara
ku hidupkan suara mereka
kubuat musiknya bernyawa
karena musik adalah hidupku
tak peduli usia

benih ajar toh tak pernah selesai
bernyanyi tak pernah pamrih
lirik tak pernah usai
mereka menyatu dengan dagingku

tapi sekarang
--sudah saatnya aku pulang
karena disini, di tempat ini
lelahku terbayar sudah !



*ditulis dan dibacakan pada malam kebaktian penghiburan 31 Januari 2010.

Featured Post

Sebuah Catatan Tidak Kreatif Tentang Cara-Cara Tidak Kreatif Untuk Mencintai

Cara-cara Tidak Kreatif Untuk Mencintai, adalah sebuah buku yang sedang kamu tunggu. Ia lahir sebentar lagi, tepat di 16 A...