Sunday, April 29, 2018

Pengalaman ‘Orgasmik’ Membaca Buku dan Puisi-puisi Penuh Ciuman






Sentuhan cinta, menurut Plato, mampu mengubah siapa pun menjadi penyair. Di dalam buku The Art of Love Poetry, Erik Gray menulis bahwa, “Tetapi puisi letaknya di antara prosa dan musik dan menggabungkan keuntungan dari keduanya. Puisi menambah dimensi fisik ke dalam prosa, dan pemanfaatan kenikmatan fisik bahasa yang luar biasa: sensualitas irama; penyatuan rima yang memuaskan; kesenangan-kesenangan lebih yang diterima hanya dengan mendengarkan artikulasi kata-kata. Semua elemen ini mungkin hadir di prosa, tetapi semuanya berpusat pada puisi. Karena puisi dapat mengemukakan bentuk-bentuk komunikasi intim yang melampaui batas-batas bahasa sehari-hari.”

Kalimat-kalimat ini barangkali menjelaskan apa yang dikatakan oleh Plato bahwa jika seseorang jatuh cinta, maka ia lantas didorong oleh kebutuhan untuk mengekspresikan rasa yang terlampau besar dan beraneka warna melalui penciptaan kata-kata yang melampaui batas-batas bahasa biasa—namun yang sifatnya sangat intim—yang hanya mungkin disediakan oleh puisi.

Sementara itu, Rolland Barthes menulis dalam An Erotics of Art (Sebuah artikel yang telah diterjemahkan ulang dan diterbitkan di The New York Times) bahwa, “Menulis adalah sebuah ilmu pengetahuan tentang asmara (Kama Sutra), sementara membaca adalah sebuah atensi psikoanalisis yang mengambang, rebah, dan menanti untuk kembali dirangsang oleh kata-kata berikutnya.”

Sampai di sini, maka pertanyaan saya untuk diri saya sendiri adalah berapa banyak ‘teks’ yang telah saya baca dari buku-buku puisi, prosa, maupun novel, yang mampu membuat saya memasuki pengalaman-pengalaman orgasmik?

Daftar buku-buku secara acak mulai bermunculan di dalam kepala saya, buku-buku yang saya baca sedari kanak-kanak, remaja, hingga masa dewasa. Tidak hanya buku, tetapi ingatan saya merayap kepada tulisan pada sebuah majalah Femina, koleksi tante saya. Saya yang remaja pada waktu itu, diam-diam tidak pernah absen membacanya. Saya sendiri tidak ingat sejak kapan rasa asyik dari membaca tumbuh di dalam diri saya. Tapi seingat saya, segala sesuatu tentang keasyikan membaca biasanya diawali oleh rasa penasaran.

Bacaan ‘diam-diam’ saya yang lain, kemudian berpindah kepada sobekan kertas-kertas yang biasanya saya temukan di bawah bantal. Sobekan kertas-kertas (kepunyaan salah satu asisten rumah tangga yang bekerja di rumah tante saya) itu berasal dari buku-buku stensilan populer pada waktu itu. Ia senang membacanya dan meletakkannya di bawah bantal. Saya dengan tidak sengaja, lalu menemukannya.

Keasyikan membaca ini kemudian berkembang seiring pertumbuhan saya. Buku-buku lainnya dari mulai komik-komik, cerita hantu, novel-novel wajib di perpustakaan, buku-buku motivasi, buku cerita pendek, buku-buku puisi, hingga buku-buku yang saya putuskan secara sadar untuk membelinya karena memang ingin dibaca. Dari semua, buku-buku yang saya paling suka, biasanya saya baca ulang—lebih dari dua kali. Saya senang mengulang kalimat-kalimat yang bukan hanya suka, namun saya gilai. Kalimat-kalimat itu tak lagi membuat rasa penasaran di dalam kepala, ia menghasrati saya sedemikian rupa, sehingga ada sebuah gambar bergerak yang ada di kepala saya.

Lebih lanjut Barthes menulis bahwa, jika tulisanmu (teks) ingin dibaca, baiknya menyelipkan sedikit kegairahan, dan menggunakan kata-kata yang sedikit genit. Namun genit saja tidak cukup, sebuah tulisan yang baik pun dikelilingi oleh hal-hal berikut ini: struktur ideologi yang tepat, solidaritas intelektual, penggunaan idiom yang layak, bahkan tidak mengabaikan kesakralan sebuah sintaksis.

*



Sebagaimana kitab Kidung Agung yang disinggung Erik Gray dalam bukunya“The Art of Love Poetry, cinta yang terungkapkan secara berbalas-balasan pun adalah tema dari buku Cara-cara Tidak Kreatif untuk Mencintai.

Tidak dapat dipungkiri bahwa sepasang kekasih yang mencintai kemudian mencipta puisi-puisi, karena ada sebuah perasaan—yang tidak dapat diekspresikan oleh bentuk-bentuk lain dari bahasa, selain puisi yang mampu melampaui batas perasaan manusia paling banal untuk dapat dimengerti satu dengan yang lain. Puisi, diakui, adalah medium yang tepat itu.

Sifat puisi yang intim jualah yang kemudian memberikan keleluasan ekspresi. Tak ada sebuah keterpaksaan, tak ada kehati-hatian yang terlalu, tak ada hitungan-hitungan matematika ketika menulis, semuanya mengucur begitu saja bagai keran bocor. Kealamian sebuah perasaan di dalamnya adalah sebuah hal yang paling dirayakan. Berbeda dengan Weslly, yang senang membongkar pasang puisi-puisinya, saya punya cara sendiri dalam menulis puisi-puisi saya. One take writing”, sekali menulis jadi, begitu istilah yang saya pakai untuk menulis puisi-puisi saya, tanpa penyuntingan yang berlebihan. Kenapa? Karena saya percaya pada keleluasaan itu sendiri. Saya tidak mau terpenjara dalam hal-hal yang berhubungan dengan teknik menulis. Alih-alih memikirkan sebuah tulisan yang membuat orgasme, saya lebih tertarik untuk memindahkan “rasa orgasme” tadi—tanpa tedeng aling-aling ke dalam tulisan saya.

Sebuah kesadaran baru kemudian muncul di dalam cara menulis: tulisan-tulisan jujur malah lekas membuat orgasme. Selain itu, tema cinta yang tadinya hanya dikonsentrasikan kepada laki-laki dan perempuan, kemudian menjadi sebuah cinta yang luas. Analogi “ciuman” yang berkali-kali dipakai di dalam buku ini, tak lagi ditujukan sebagai ciuman yang harafiah, melainkan ciuman yang dirapalkan oleh bibirmu, ketika membaca puisi-puisi yang tertulis di dalam buku-buku kami. Puisi-puisi itu mencium bibirmu persis saat kau membacanya; kau mencium banyak orang saat membacanya; kau mencium bibir dunia. Tak sampai di situ, di dalam “Cara-cara Tidak Kreatif untuk Mencintai, akan ditemukan juga bagaimana arsip-arsip pribadi kemudian menjadi kenangan bersama yang terbagi dengan seluruh pembaca.

Tetapi tak semua puisi ini adalah tentang cinta, satu atau dua puisi yang ditemukan di dalamnya adalah bagian dari perayaan kesedihan bahkan kematian. Puisi-puisi itu sengaja diselipkan, supaya genap sudah apa yang dikatakan oleh Weslly Johannes, “Cinta adalah kopi. Kurangi gula dan omong kosong.”

Thursday, April 26, 2018

Cara-Cara Tidak Kreatif untuk Mencintai: Festival Sastra Banggai









“Suara-suara ombak di tepian pantai itu adalah pendapat Teluk Lalong tentang cinta: selalu dan selalu, tak pernah cukup tua untuk letih, tak pernah berhenti, tak pernah sudah.” 

Sabtu, 21 April 2018—Buku puisi “Cara-cara Tidak Kreatif untuk Mencintai” diluncurkan dari tepian pantai Teluk Lalong, Luwuk. Buku ini berisi sembilan puluh delapan (98) puisi yang biasa tentang cinta dan mencintai yang adalah perkara sehari-hari. Cinta memang tak selalu berisi ledakan-ledakan gairah dan perasaan. “Cinta dan mencintai,” seperti kata Theoresia, “pada akhirnya adalah sebuah kegiatan repetitif yang rentan dirundung kebosanan, —dan di situlah, cinta yang sebenar-benarnya diuji.”





Neni Muhidin, penulis dan pustakawan “Nemu Buku”, memulai acara peluncuran buku ini dengan mengatakan, “Saya kehabisan kata-kata.” Ia mengajak kami bercakap-cakap tentang proses (tidak) kreatif buku ini sambil sesekali memetik bagian-bagian tertentu dari puisi-puisi kami dan membacanya. Ama Achmad, inisiator Festival Sastra Banggai, menamai peluncuran buku “Cara-cara Tidak Kreatif untuk Mencintai” sebagai “perayaan kecil”. Ia juga membaca satu puisi dari buku itu kepada kawan-kawan yang hadir. “Sore yang mesra,” kata Dewi Anggrainy.

Menulis puisi dan membacakannya, menerbitkan buku dan merayakannya adalah cara-cara (tidak kreatif) untuk mencintai kampung-kampung, kota-kota, teluk-teluk, pulau-pulau, manusia-manusia, dan alam semesta —semuanya dilakukan berulang-ulang kali. Membawa buku "Cara-cara Tidak Kreatif untuk Mencintai" ke Teluk Lalong dan berbagi tentang puisi kepada adik-adik yang masih SMA, kawan-kawan mahasiswa, bahkan ibu-ibu di kelas adalah cara kami mencintai Festival Sastra Banggai (FSB). Semoga pada tahun 2019 mendatang, FSB lebih semarak lagi.

Enam hari di Luwuk adalah pengalaman yang istimewa. Sebuah pengalaman yang mengubah. Peristiwa demi peristiwa memungkinkan kami mengalami sendiri bagaimana sastra melumerkan batas-batas, melebarkan horizon-horizon, dan merapat-hangatkan semua keunikan manusia. Kami mengalami di dalamnya, “suara-suara yang memeluk” itu. Festival Sastra Banggai, bagi kami, adalah sebuah pelukan.






Terima kasih telah menjadikan kami bagian dari pengalaman yang tak tergantikan itu. Semoga kehadiran kami juga memberi sesuatu yang baik, meski kecil dan biasa. Kepada Ama Achmad, Yanti Malale, Madam Niank, Ali Sofyan, Getsy, Dina, Deni, Kiki, Yudi, Farid, Dewi, Alam, Ipal, Rahmat, Edy, dan semua kawan-kawan panitia dan relawan yang tidak dapat kami sebutkan satu per satu, terima kasih banyak (peluk satu-satu).

Kepada “kakak-kakak” dari Paguyuban Kolam Renang (Irfan Ramli, Aan Mansyur, Joko Pinurbo, Caroline Monteiro, Windy Ariestanty, Chandra Malik, Mario F. Lawi, Faisal Oddang, Melanie Subono, Shinta Febriany, Arman Dewarti, Jamil Massa, Fitria Sari, Robby Navicula, Angelina Enny), terima kasih untuk percakapan-percakapan yang menyegarkan bak berenang tengah malam. Semoga semuanya sehat dan semangat. Sampai berjumpa lagi!

sayang selalu, 
theo & weslly 

Monday, April 16, 2018

Cara-Cara Tidak Kreatif Untuk Mencintai: TERBIT!











"Cara-cara Tidak Kreatif untuk Mencintai" sudah terbit hari ini. Ia membawa di halaman-halamannya fragmen-fragmen berulang dari keseharian yang biasa, nama-nama jalan bagi kaki-kaki yang cemas, tergesa-gesa dan rindu,  potongan-potangan imaji kehidupan yang sederhana, dan sengkarut perasaan manusia yang coba kami sederhanakan ke dalam kata-kata. 

Cinta adalah kata kunci buku puisi ini. Kata itu kami baca di dalam serangkaian perbuatan yang lama-lama menjadi transparan, karena kesederhanaan dan keberulangannya yang memang tak terelakkan.

Untuk orangtua kami dan semua orang yang ketabahan mereka telah menjadikan cinta sebagai kata kerja, perkataan dan perbuatan, untuk semua hal yang mereka ajari dan tunjukkan (berulang-ulang) dengan kehidupan mereka sendiri, buku ini adalah dua kata: terima kasih.

Kawan-kawan, selamat membawa pulang Cara-Cara Tidak Kreatif Untuk Mencintai dari toko-toko buku kesayangan!

we love you,
theo & weslly 



















Sunday, April 8, 2018

Sebuah Catatan Tidak Kreatif Tentang Cara-Cara Tidak Kreatif Untuk Mencintai














Cara-cara Tidak Kreatif Untuk Mencintai, adalah sebuah buku yang sedang kamu tunggu. Ia lahir sebentar lagi, tepat di 16 April 2018. Ini adalah buku kedua sekuel atau (sebutlah lanjutan) dari buku Tempat Paling Liar Di Muka Bumi.

Ingatan saya kembali ketika kami, saya dan Weslly, memulai proyek ‘tantangan untuk saling menulis puisi’ setiap hari di tahun 2015 lalu. Saat itu semangat kami, adalah bermain-main. Kami mau melibatkan kehidupan kami dengan menulis puisi, seperti kegiatan sehari-hari lainnya: menyikat gigi, mandi, pakai sepatu, minum kopi, memencet komedo, dan lainnya. Saya membaca beberapa ulasan dari buku Tempat Paling Liar Di Muka Bumi, macam-macam bentuknya.

Ada yang berupa ulasan panjang di blog, Goodreads, status Facebook, unggahan pada Twitter, foto dan caption (panjang maupun pendek) di Instagram, atau mendengarkan komentar menarik lainnya yang dilontarkan langsung kepada saya, ketika tidak kebetulan saya bertemu muka dengan muka dengan pembaca. Yang diam-diam membuat saya senyum-senyum kecil. Bagaimana tidak, semua komentar itu agak melampaui batas, ‘berlebihan, barangkali itu kata yang tepat. Mengingat ketika saya dan Weslly memulai proyek ini, kami tak pernah bermimpi, bahwa buku ini mampu membuat pembaca tersentuh. Meminjam istilah dari Raisa Andriana, si penyanyi itu, ketika mengirimkan komentarnya kepada saya via surat elektronik, “Tersentuh di semua tempat yang sebelumnya belum pernah tersentuh kata-kata.”

Saya merenung, apakah yang kira-kira membuat pembaca tersentuh sedemikian rupa ya? Atau apakah yang kira-kira membuat pembaca senang memotret bagian puisi, atau kutipan yang mereka temui, dan mengunggahnya di media sosial mereka? Dan apakah yang kira-kira membuat buku Tempat Paling Liar Di Muka Bumi, mencapai cetakan keduanya? Sungguh, saya tidak tahu pasti jawabannya apa. Semua selera memang dikembalikan kepada pembaca. Karena mereka kini telah menjadi tuan atas puisi-puisi kami. Puisi-puisi yang dikatakan oleh Weslly, sebagai arsip pacaran yang ketahuan publik.

Saya tidak lupa, semua proses yang kami lalui dengan buku Tempat Paling Liar Di Muka Bumi, kampanye yang kami lakukan, perjalanan ke beberapa kota untuk membuat acara peluncuran kecil-kecilan: Bandung, Salatiga, Yogyakarta, Jakarta, dan Ambon. Kami bahkan mencatat setiap acara perjalanan itu dan mengunggahnya di blog masing-masing. Belum lagi promosi yang masih kami lanjutkan kurang lebih enam bulan hingga setahun kemudian setelah buku terbit. Seperti menemani seorang anak di usia emasnya, kami berusaha menjadi sepasang orang tua yang baik.

Kira-kira bulan Oktober hingga November di tahun kemarin, kami berhasil merampungkan buku kedua kami, yang kami beri judul “Cara-Cara Tidak Kreatif Untuk Mencintai.” Kami sepakat bahwa di dalam buku ini, kami memang banyak ‘bermain-main,’ puisi-puisi yang kami tulis lebih leluasa mendaratkan pantatnya pada sofa, menyicip kopi, tanpa terlampau khawatir akan hari esok. Puisi-puisi yang kami tulis dan saling balas tak lagi memakan hari, ia menyergap seperti kilat di hari siang yang terik.

Puisi-puisi kami berubah bentuk menjadi kata-kata yang lebih sederhana, sehari-hari, dan biasa saja, seperti yang sering dikatakan oleh pasangan yang sudah mencintai selama bertahun-tahun, yang diam-diam dihinggapi rasa bosan. Tetapi bukankah itulah yang dialami ketika sepasang saling mencintai, wujud cinta kemudian berubah menjadi hal-hal paling kecil—tidak lagi mendidih, seperti mencuci kolor pasanganmu, membikinkan kopi sehari tiga kali, menyuruhnya minum air putih. Dan melakukan tindakan-tindakan repetitif lainnya, tanpa sekalipun mengeluh.

Di buku Cara-Cara Tidak Kreatif Untuk Mencintai, kamu akan menemukan sesuatu yang lain, yang barangkali bukan seperti puisi, sungguh jauh dari kata kreatif, dan sangat manusiawi. Ia mungkin terlalu kanak-kanak, tapi tidak ingusan. Ia akan mengajakmu bermain, hari ini bermusuhan, namun keesokan harinya baikan lagi.

Bukankah, mencintai seseorang juga kadang seperti itu.
  

Membaca Cyntha Hariadi, Barangkali












Kemarin, saya pergi ke Kineruku, untuk menghadiri acara bincang buku, yang menghadirkan Cyntha Hariadi. Pada minggu-minggu sebelumnya, saya telah lebih dulu membaca Manifesto Flora. Cerita-cerita pendek yang ditulis oleh Cyntha, dan berkenalan dengan tokoh-tokohnya, dimulai dari Grata, Ny. Liem, Flora, Tuan dan Nyonya di jalan Abadi, Kliwon, dan banyak sekali tokoh-tokohnya yang lain. Saya tak hanya berkenalan, saya menyisip di sela-sela kesibukan tokoh-tokoh tadi bercerita, dan mendengarkan percakapan-percakapan mereka. Yang intens dan memantul-memantul di kepala saya. Kepala saya seperti kaleng yang berdengung. Meninggalkan keributan-keributan di sana. Dengan sebuah rasa terganggu—yang lain di hati saya.

Saya dan juga teman-teman yang lain berada acara bincang buku tersebut, dan mendengarkan Cyntha berbicara dengan bukunya ditemani oleh Mikael Johani dan Ariani Darmawan. Betul, Cyntha memang sangat sederhana, ia tidak menonjol, persis seperti tokoh-tokohnya di cerita pendek. Namun ada kelugasan dalam dirinya. Saya mendapati seorang perempuan yang menulis karena ia tak bisa mengenyahkan hal-hal kecil, yang barangkali untuk sebagian orang itu sesuatu yang menjijikan dan berjarak, tapi bagi Cyntha, itu adalah hal-hal yang sangat manusiawi. Cyntha tidak berusaha terlalu keras untuk mencari sesuatu di luar dirinya untuk ditulis. Hal lainnya, Cyntha tidak takut untuk dengan jebakan menulis adalah untuk menyenangkan orang lain. Mikael Johani pun berpendapat, “Barangkali salah satu kekuatan Cyntha dalam tulisannya adalah mengungkapkan sesuatu yang manusiawi.”

Cyntha sendiri mengaku bahwa ia cukup membuat jarak dengan tokoh-tokoh yang ada di cerita pendeknya. Sehingga ia lebih leluasa untuk menuliskan dengan cuek kalimat-kalimat seperti ini, “Norman yang remuk di jalan tol tanpa ada sisanya buat Siska” pada Cerita Dua Perempuan di Satu  Rumah. Atau kalimat-kalimat lain yang mestinya sedih, tapi berhasil ditulis Cyntha dengan tidak melebih-lebihkan. Seakan-akan, ya, itu tadi, kesedihan adalah suatu hal yang manusiawi, ia ada, namun ia akan lewat begitu saja.

Bagi saya, cerita pendek Cyntha, merupakan sebuah kabar kejut bagi dunia literasi Indonesia saat ini. Tema dari cerita-cerita yang ia tulis tidak bombastis, seperti tema kebanyakan, namun justru disitulah daya tariknya. Setelah habis membaca Manifesto Flora, saya menulis begini di Instagram, “Saya menemukan kalimat-kalimat getir. Cerita satu ke cerita yang lain, seperti menyimpan awan hitam berhari-hari di mata, menggantung, beku, dan tak kunjung luruh. Ketika masuk ke dalam sebuah cerita, beberapa kali saya nyaris mengembuskan nafas, menunggu, baru melanjutkan lagi. Ada rasa lega yang aneh—yang muncul ketika selesai membaca sebuah cerita. Namun ia hanya sebuah kelegaan yang pura-pura. Karena siap-siap, sebentar lagi, cerita lain akan menghantuimu.”

Lain halnya ketika saya membaca Ibu Mendulang Anak Berlari, buku puisi Cyntha. Saya menemukan sebuah ketegangan, kekompleksan, kerapuhan, seseorang sebagai Ibu. Rasanya lain lagi ketika membacanya. Namun dengn puisi-puisinya, Cyntha sama sekali tidak berjarak. Ia terasa begitu dekat. Ya, seperti ibumu di rumah.


Tuesday, April 3, 2018

PUAN PUISI: sebuah malam, puisi, dan perempuan













Sudah lama saya mendambakan sebuah 'pertunjukan kata' yang penuh keintiman, sederhana, dan biasa saja. Sebuah kegiatan pembacaan puisi yang begitu hari-hari, tak ada pelantang suara, tak ada pelantang bunyi. Hanya manusia, suara, dan kata. Saling mengandalkan satu dengan yang lain tanpa kebisingan yang terlalu. Bahwa kata adalah tuan, dan ia dapat berdiri sendiri tanpa perekat lainnya. Bahwa kata seperti cinta, ia akan menghampiri hati siapa saja yang ia 'pilih'. Pada malam di Puan Puisi, saya menyaksikan dengan mata kepala saya sendiri, bahwa kata memang tak perlu dikawinkan dengan segala tetek-bengek lainnya. Ia mampu menjadi dirinya sendiri.

Ide acak yang datang di kepala saya perlu direalisasikan. Maka di hari Sabtu, 31 Maret 2018, acara Puan Puisi terlaksana sudah. Ada energi baru mengendap pelan-pelan di dalam hati saya ketika menyaksikan setiap puisi yang dibawakan. Tak hanya itu perenungan-perenungan kecil pun menyembul di hati saya. Bahwa merayakan perempuan; merayakan tubuhnya, merayakan nafasnya, merayakan pilihan-pilihan hidupnya, merayakan lelaki atau perempuan-nya, merayakan perpisahan, merayakan kesalahan, dan merayakan kemanusiaan, adalah sebuah perjalanan yang panjang.










Terima kasih untuk kawan-kawan perempuan yang telah membacakan perenungan-perenungan mereka tentang perempuan: Ayda Khadiva, Lian Kinan Project, Tsany Aulia, Andrita, Karina Sokowati, Gracia Tobing, Wienny Siska, Sekar Jagad, Navida Suryadilaga, Sasqia Ardelianca, yang telah hadir di Puan Puisi dan membawakan sebuah pertunjukan kata dengan begitu sensual dan agung. Meluruhkan sebuah rasa puisi yang baru, tak hanya di telinga, tapi juga di hati. Menggenangkan aroma kehidupan seperti air susu yang mengalir. Terima kasih untuk semua pendukung acara: Mr. Guan Coffee & Books dan Matoa Indonesia, semoga kolaborasi kita dapat terus berlanjut.



Terima kasih untuk langit Bandung yang begitu jernih, kopi-kopi yang tergeletak di meja, percakapan-percakapan yang memeluk, dan semua kawan yang sudah meluangkan hati dan hadirnya. Hati saya bergelimang syukur, semoga yang rahmani senantiasa melindungi kita semua.

(semua foto diambil oleh Gege Schoemaker)

Featured Post

Sebuah Catatan Tidak Kreatif Tentang Cara-Cara Tidak Kreatif Untuk Mencintai

Cara-cara Tidak Kreatif Untuk Mencintai, adalah sebuah buku yang sedang kamu tunggu. Ia lahir sebentar lagi, tepat di 16 A...