Wednesday, July 27, 2016

Sebelum Pergi ke Tempat Paling Liar di Muka Bumi








Hai!

Sepanjang bulan Agustus, kami mau mengajak kamu untuk pergi ke Tempat Paling Liar Di Muka Bumi. Caranya:

1. Bikin satu foto dan satu caption tentang apa atau siapa "Tempat Paling Liar Di Muka Bumi" menurut kamu!

2. Caption tidak perlu ditulis di atas foto. Menulis caption misalnya: 

.... adalah tempat paling liar di muka bumi.
Atau Tempat paling liar di muka bumi adalah ...

3. Karya terbaik kamu silakan di tag/mention ke 

TWITTER: @perempuansore + @wesllyjohannes  
INSTAGRAM: @tempatpalingliardimukabumi / theoresia rumthe  / weslly johannes
FACEBOOK: theoresia rumthe + weslly johannes

Karya terbaik, pilihan kami akan di-posting di instagram @tempatpalingliardimukabumi sepanjang Bulan Agustus.  Dan di akhir Bulan Agustus kami punya merchandise menarik untuk kamu yang karyanya paling banyak disuka.

4. Jangan lupa follow @tempatpalingliardimukabumi dan pakai hashtag #TempatPalingLiarDiMukaBumi

Jadi, apa dan siapakah Tempat Paling Liar Di Muka Bumi menurut kamu? 


salam sayang,

theoresia rumthe & weslly johannes

Monday, July 25, 2016

Lagu-Lagu Yang Ditulis Di Bulan Juli













Lagu-Lagu Yang Ditulis Di Bulan Juli mengingatkan saya kepada langit: begitu tenang sehingga dapat melihat jelas wajah seseorang pada  birunya. Lagu-lagu yang ditulis di bulan Juli adalah lagu-lagu yang dialamatkan kepada seseorang. Bisa jadi itu saya atau kamu yang sedang jatuh cinta. Cinta yang buru-buru atau cinta yang lambat-lambat. Pilih saja mana yang paling disuka.

Adalah sebuah kesenangan untuk melahirkan sebuah kegairahan baru di dalam bermusik. Jejak ini kemudian ditemukan pada setiap alunan gitar yang ada di dalam albumnya. Mini album Lagu-Lagu Yang Ditulis Di Bulan Juli tidak hanya membawamu untuk mengingat bulan Juli: tahun ini atau tahun yang akan datang untuk merayakan sesuatu yang manis.

Lagu-Lagu Yang Ditulis Di Bulan Juli, mini album ini berisi 5 lagu berformat akustik. AKAN RILIS BESOK: Selasa, 26 Juli 2016 jam 8 malam di Workshop Coffee, Ambon. Nantinya David Rampisela akan memainkan semua lagu di mini album ini dan beberapa cover version lagu dari artis-artis yang menjadi inspirasi dalam berkarya.



Thursday, July 14, 2016

Bagaimana Saya Menemukan Album Tiga Pagi: Roekmana’s Repertoire, Roekmana Si Batu Tua







Saya cukup senang. Karena hari ini saya mengetahui bahwa alat pemutar CD saya masih berfungsi dengan baik. Selama ini alat pemutar CD saya yang sederhana itu, hanya cukup saya pakai untuk mendengarkan radio saja. Itupun sudah cukup lama saya tinggalkan, karena bahkan radio yang saya dengarkan darinya pun biasanya mengeluarkan bunyi kresek-kresek yang cukup mengganggu.

Tetapi ketika iseng memencet tombol play, ternyata ia berbunyi dengan baik. Dari baliknya saya mendengarkan suara vokal laki-laki dengan alunan gitar yang cukup dominan. Saya perhatikan liriknya. Tidak lama kemudian saya seperti dibawa mengunjungi sesuatu seperti cerita-cerita yang muncul di kepala. Mereka datang kepadamu dalam warna sephia. Tidak hitam dan tidak putih. Seperti kunang-kunang ketika malam. Ada diantara cerita-cerita tesebut yang menggelisahkan, membuatmu berpikir, sedih, lalu menangis. Tetapi kadang juga ingin membuatmu ingin segera melompat ke bagian cerita yang lain yang lebih bahagia namun tidak bisa. Seperti ada yang menahanmu untuk menyaksikan satu bagian cerita satu per satu hingga ia selesai.

Mengalir. Rasanya bagaimana cerita-cerita itu terus mengajakmu pergi ke dalam relung-relung diri. Dan di sana kamu akan menyaksikannya. Seperti menyaksikan hatimu sendiri, warnanya hitam pekat. Melihat bagaimana darah segarmu yang terpompa dari jantung menuju ke semua bagian-bagian tubuh yang lain. Kamu akan dapat melihat bagian perut. Bahkan rahimmu sendiri. Masuk terlalu dalam, hingga dalam. Lalu kamu akan mengenalinya. Mengenali apa? Entahlah. Tetapi hanya menemukan. Menemukan apa? Entahlah. Menemukan sesuatu yang hilang.  

Saya berhenti sebentar untuk menyesap kopi hitam saya. Baru kemudian melanjutkan perjalanan ini dan memperhatikan lekat-lekat.

Tetapi sayangnya cerita-cerita itu tidak memberikan kesempatan kepadamu untuk berhenti. Mereka terus melaju. Setelah membawamu untuk menemukan sesuatu yang hilang tadi. Lantas sekarang mereka seperti membawamu menyusun kembali potongan-potongan gambar. Tidak boleh lepas. Seperti puzzle. Kali ini butuh ketepatan. Ketepatan untuk menyusun potongan-potongan tadi satu-persatu hingga menjadi gambar yang utuh kembali.


Pengalaman menemukan dan mendengarkan Roekmana’s Repertoire ini adalah pengalaman perjalanan ke dalam diri. Menemukan sesuatu yang pernah ada, namun hilang. Tidak apa jika ternyata diri yang kamu temukan  sedang hancur. Dan yang kamu temukan hanya berupa kepingan-kepingan.  

Friday, July 8, 2016

Kita Pernah Semalam Bersama-Sama Jauh Sebelum Akhirnya Kita Bersama








Adalah sebuah seingatan. Karena saya tidak mampu mengingat terlalu banyak apa yang telah terjadi di dalam hidup saya. Sejauh yang saya ingat, ketika masih sangat muda dulu, saya memang pernah bercita-cita kepengin punya kekasih yang bisa menulis.

Saya percaya bahwa laki-laki yang bisa menulis itu seksi. Baik menulis buku harian. Menulis cerita pendek. Menulis puisi. Menulis lagu. Atau menulis apapun. Saya memang bertemu dengan beberapa di antara mereka.

Kemudian kriteria hanyalah kriteria. Saya bertumbuh dan saya lupa. Seiiring dengan perjalanan, cinta adalah bagaimana ia menemukan kita, tidak peduli kepada siapa kita jatuh.

Saat ini saya sudah bertemu dengannya. Semalam di telepon di antara percakapan-percakapan saya dengannya, kita berbincang bahwa kita pernah bertemu sebelumnya. Kekasih saya mengirimkan beberapa foto yang ia temukan di dalam akun facebook seorang teman. Di foto-foto tahun 2012 itu saya melihat kita pernah ada di sebuah kesempatan bersama. Kita pernah menikmati satu malam di kota Ambon bersama. Ternyata kita sudah bertemu jauh-jauh hari sebelumnya.

Kekasih saya masih gondrong, ia memakai topi dan ia memakai kaos berwarna putih dengan aksen hitam pada bagian lengan. Beberapa hal yang saya tulis adalah detail kesukaan saya. Waktu itu saya memang belum tahu bahwa ia pun senang menulis. Saya melihat kembali foto-foto itu dan ada waktu jeda sebentar di antara percakapan-percakapan di telepon tadi malam. Saya seperti kembali ke malam di tahun 2012 itu, tetapi saya tidak mampu mengingat apa-apa.

“Memangnya kita nggak ngobrol sama sekali ya di malam itu?”

“Nggak. Kan waktu itu kamu sibuk ngobrol sama teman-teman lain yang juga kepengin ngobrol dengan kamu.”

“Ah, masa sih?!”

“Iya.”

“Tapi masa sih sama sekali kita nggak ngobrol? Kamu itu tipe aku banget. Dan rasanya kalau ada yang kayak kamu, biasanya aku ajak ngobrol.”

Tidak. Kita memang tidak bicara satu dengan yang lain. Padahal jarak kita begitu dekat. Tetapi saya pun tidak mampu mengingat. Apa yang membuat saya tidak mengajaknya berbicara duluan. Atau setidaknya ada percakapan sedikit. Tetapi jangankan dengannya, saya bahkan tidak mengingat apa yang saya bicarakan dengan teman-teman yang lain. Lagi-lagi foto-foto itu hanya menunjukkan bahwa kita berdua pernah menikmati satu malam bersama dengan senang.

Saya percaya bahwa jauh-jauh hari sebelumnya, kita sudah pernah bertemu dengan cinta. Bahkan di dalam pengalaman saya, saya sudah melihatnya tetapi seperti belum dipertemukan. Saya melihat cinta, tetapi di malam itu saya hanya diberikan kesempatan untuk melihat. Bertahun-tahun setelahnya adalah persiapan. Proses persiapan ini yang kemudian membuat saya semakin percaya bahwa alam semesta memang tidak pernah salah soal cinta. Mereka mempertemukan, memberikan ruang untuk dipersiapkan, mempertemukan kembali ketika memang sudah benar-benar siap.

Kamu tidak pernah jatuh cinta dengan orang yang salah. Dan jangan pernah menganggap remeh perjumpaan-perjumpaan. Juga masa persiapan, ketika kemudian dipertemukan kembali kepada satu masa untuk bersama.

Cinta tidak dapat dipaksakan sebelum waktunya. Tetapi jadilah tenang dan tetap percaya kepada cinta dan bagaimana ia bekerja.  Ia keajaiban yang paling ajaib.


kekasih paling depan, berry, saya dengan topi merah di belakang, tahun 2012.






Saya dan kekasih ternyata sudah dipertemukan jauh-jauh hari sebelumnya. Kita pernah menikmati satu malam bersama-sama jauh sebelum akhirnya kita bersama. Saya tidak mampu mengingat perasaan-perasaan ketika malam itu. Tetapi saya mau mencatat beberapa hal hari ini: hidup adalah keajaiban-keajaiban kecil setiap detiknya. Jangan sampai lewat. 


Tuesday, July 5, 2016

Malam Jelang Lebaran di Kota Kesepian








Saya mencari Hujan. Saya melihat iklannya di tv hampir sebulan yang lalu: HUJAN HILANG. Begitu bunyi headline dari berita-berita yang disiarkan. Dilanjutkan dengan banyak sekali sayembara yang diumumkan untuk mencari Hujan. Karena Hujan sudah lama hilang. Barang siapa yang menemukan Hujan, ia dapat membungkusnya dengan rapi dan dikirim ke si pembuat sayembara dengan jumlah imbalan yang tidak sedikit.

Saya sebagai penikmat Hujan merasa ini adalah sebuah  tantangan. Saya harus dapat menemukan Hujan. Itu sudah menjadi tekad saya. Tapi sayang sekali Hujan belum saya temukan.

Saya lalu melakukan perjalanan dari satu kota ke kota yang lain untuk mencari Hujan. Namun usaha saya masih sia-sia. Hujan masih misterius. Belum juga saya temukan. Sejak sebulan itu setiap hari saya berjalan ke lorong-lorong kecil, gang-gang-gang sempit, pasar, perumahan penduduk, jalan-jalan besar, sekolah-sekolah, halaman kosong. Namun Hujan belum juga saya temukan.

Saya lalu sampai di kota Kesepian, ini adalah kota pencarian saya yang terakhir. Barangkali saya menemukan Hujan di sini. Atau barangkali saja ada orang yang dapat memberitahukan kepada saya rahasia besar ini: dimanakah Hujan tinggal?

Malam ini kota Kesepian sepi. Tidak ada lagi orang-orang. Hanya saya dan lampu-lampu malam. Saya termenung-menung memandang lampu-lampu malam di kejauhan. Ajaib, lampu-lampu yang begitu meriah, warna-warni itu tampak kesepian. Mereka seperti sedang mencari sesuatu. Mereka seperti sedang menantikan sesuatu. Mereka seperti sedang ingin menceritakan sesuatu.

Saya mendekat kepada salah satu lampu malam berwarna kuning buram dan sedih.

“Hai, apakah kamu sedang sedih?”

“Iya, kok kamu tahu?”

“Hm, hanya bertanya. Barangkali kamu mau cerita?”

Ia lalu menggeleng perlahan. Menunduk. Dan tidak lagi menatap mata saya.

“Mereka semua pergi meninggalkan saya.”

“Ehm, apa, siapa, maksud saya, adakah yang pergi meninggalkanmu?”

“Iya, mereka semua pergi meninggalkan saya. Termasuk Hujan.”

Saya terlonjak kaget. Spontan saya bertanya.

“Eh, sebentar, kamu melihat Hujan? Kamu bertemu dengannya? Eh-eh dimanakah ia tinggal? Kamu tahu? Kamu bisa kasih alamatnya kepada saya? Saya pun sedang mencari Hujan?”

Saya memberondonginya dengan pertanyaan-pertanyaan itu.

Lampu malam berwarna kuning buram dan agak sedih itu lalu tertunduk lemas. Kali ini ia benar-benar tidak mau lagi memandang mata saya. Saya agak sedih. Saya lalu enggan melanjutkan bertanya-tanya kepada lampu malam kuning buram yang sedih itu. Dia bahkan tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan saya.

Saya lalu pergi dari situ. Membakar sebatang rokok dan menghisapnya dalam-dalam. Saya akan memberitahumu sebuah rahasia di muka bumi ini? Kamu, benar-benar kepengin tahu? Baiklah akan saya beri tahu: bahwa menghisap rokok itu paling nikmat jika kamu lakukan sambil memandang lampu-lampu malam ditemani Hujan.

Ah, sudahlah tapi sekarang saya hanya bertemu lampu-lampu malam. Tak ada Hujan. Dan ini kota Kesepian. Kemana saya harus mencari Hujan? Tanya saya di dalam hati.

Pada hisapan kedua, saya bertemu dengan lampu malam lainnya. Ia hijau. Tidak mencrang. Seperti hijau gorden yang sudah lama sekali tidak dicuci. Agak mbladus.

“Hei, saya tidak tahu kalau kamu merokok?” Lampu malam hijau mencrang seperti gorden itu menyapa saya duluan.

“Ah, ya! Saya ng-eh- iya, tidak juga. Saya memang tidak merokok. Tapi ada satu rahasia: bahwa menghisap rokok itu paling nikmat jika kamu lakukan sambil memandang lampu-lampu malam bersama Hujan. Jadi ya begitulah.” Jawab saya sambil mengedikkan bahu.

Lampu malam hijau mencrang seperti gorden itu tertawa.

“Ah, kamu bisa saja! Itu hanya alasan. Padahal kamu tahu kan, kalau merokok itu tidak baik untuk kesehatan kamu?”

Saya tersenyum.

“Tidak apa-apalah kalau sekali-kali.” Jawab saya enteng.

“Mau kemana malam-malam begini?”

“Tidak. Hanya jalan-jalan. Saya mencari ... eh, saya mencari ...” Tiba-tiba saya agak kebingungan melanjutkan jawaban saya. “Saya mencari sesuatu. Saya mencari Hujan. Apakah kamu tahu dimanakah Hujan tinggal? Dimanakah saya dapat bertemu dengannya?”

“Hujan? Mereka pergi.”

“Pergi ke mana?”

“Mereka pergi. Pulang. Meninggalkan kami. Biasalah, ini kan jelang Lebaran. Dan Hujan pulang ke kampung halamannya.”

“Kampung halaman? Saya bahkan tidak tahu jika Hujan punya kampung halaman.” Jawab saya bingung. Dapatkah kamu beritahu kepada saya, dimanakah kampung halaman Hujan?” Tanya saya, begitu penasaran.

“Loh, saya juga nggak tahu. Jelang Lebaran, Hujan pun pulang meninggalkan kota Kesepian. Setiap orang di kota ini pun pulang. Mereka pulang ke rumah mereka yang sebenarnya. Di kota Kesepian ini mereka hanya singgah. Dan selama-lamanya jelang Lebaran, kota ini akan kembali kesepian, seperti namanya. Bahkan Hujan pun pulang meninggalkan kamu. Ke rumah mereka yang sebenarnya. Meninggalkan kami, lampu-lampu malam. Itu sebabnya, kami selalu sedih menjelang Lebaran. Tak ada lagi yang menikmati keindahan kami. Bahkan Hujan pun tidak menemani kami. Oh, mungkin hanya kamu. Kamu dengan sebatang rokokmu itu.” Jawab lampu malam hijau mencrang seperti gorden itu panjang lebar.

Saya lalu agak sedih. Karena Hujan pun sudah tidak dapat ditemukan di kota Kesepian. Jelang Lebaran, Hujan pulang. Entah kemana. Meninggalkan kota Kesepian.

“Saya mau memberitahumu sebuah rahasia: kami, lampu-lampu malam di kota Kesepian tidak pernah pulang jelang Lebaran. Tugas kami jelang Lebaran memang bukan untuk mencari Hujan seperti yang kamu lakukan. Tetapi kami ada untuk menerangi jalan-jalan di kota Kesepian. Supaya, ya, paling tidak, orang-orang seperti kamu tidak berjalan di dalam kegelapan. Atau tidak merasa kesepian di kota Kesepian. Walaupun terkadang, kami dingin dan sepi. Itu biasanya akan membuat kami agak sedih, warna kami akan berubah menjadi agak buram. Tapi kami tetap tegak, berdiri di jalan-jalan menerangi kota Kesepian.”

Rokok di jari saya sudah habis. Saya sudah tidak lagi punya persediaan rokok. Sudah tidak ada lagi warung atau toko yang buka. Sudah tidak ada lagi orang-orang yang berseliweran. Kota ini benar-benar kesepian seperti namanya. Saya merasa, saya sudah tidak bisa lagi mencari Hujan. Karena ini adalah kota terakhir dari perjalanan saya. Ini jelang Lebaran. Dan katanya Hujan telah pulang. Pulang ke rumahnya yang sebenarnya. Rumahnya yang sebenarnya dimana pun saya tidak tahu. Lampu-lampu malam pun tidak ada yang tahu. Ini pun kota Kesepian. Tidak ada lagi orang yang bisa saya tanyakan.

“Dimanakah Hujan tinggal? Kemanakah ia pulang?”

Ini jelang Lebaran di kota Kesepian. Saya masih juga belum menemukan Hujan. Saya tidak lagi dapat bertanya kepada lampu-lampu malam. Separuh dari mereka sudah redup. Mungkin mereka tidur.  







Saturday, July 2, 2016

Lelaki Bulan Juli








Saumlaki, Juli 2015

Aku mengingat kamu di bulan ini setahun yang kemarin, kita bertemu.

Kamu tidak spektakuler. Kamu datang di hari itu, sederhana, begitu tenang, dengan sepatu kulit berwarna coklat. Aku memang tidak katakan sebelumnya bahwa, lelaki dengan selera sepatu yang bagus itu kesukaanku. Kita lalu berbicara setelah pertemuan itu. Setelah sepatu, hal kedua yang aku perhatikan darimu adalah matamu. Matamu tidak pernah memandang aku ketika berbicara. Kamu begitu pemalu ketika pertama kali berjumpa.

Kamu seperti magnet ketika bercerita. Menceritakan hal-hal yang membuat matamu berbinar-binar atau sedih. Kayeli, rumah, Mama, puisi, orang muda, hutan Yamdena, dan Maluku adalah sebagian besar cerita-ceritamu yang aku simpan baik-baik. Aku sempat mewawancarai kamu untuk kepentingan tulisanku, dan sepanjang perjalanan pulang dari Saumlaki ke Ambon pada saat itu aku mendengarkannya diam-diam. Jika sedang rindu, aku suka membacanya. Hal lain yang sering aku lakukan adalah sering memutar video kita ketika melihat matahari terbenam. Sayang sekali video itu lenyap bersama hape-ku yang rusak.

Perjalanan pulang dari jembatan kayu itu adalah kali pertama aku berani memelukmu dari belakang. Dengan banyak sekali bintang-bintang di atas kepala. Dan di malam itu pada punggung yang kokoh dan bintang-bintang di atas kepala: aku tahu aku jatuh cinta.

Cinta datang begitu tenang.

***


Ambon, Agustus 2015

Setelah di Ambon segala sesuatu harus berjalan sebagaimana biasanya. Telepon dan saling mengirimkan pesan pendek tidak berhenti. Saling membacakan puisi di telepon dan berbagi cerita keseharian adalah kesukaan. Kemudian lahirlah sebuah ide gila untuk saling mengirimkan puisi melalui pesan pendek.

Ayo bikin jurnal puisi. Asal tidak saling menjebak!”
Jika ini adalah menjebak pun tidak apa-apa. Nekat.”
Oh Tuhan jauhkanlah kami dari pencobaan-pencobaan.”

Cinta tidak saling menjebak. Aku ingat setelah selesai saling mengirimkan pesan-pesan pendek. Kami bergantian saling mengirimkan puisi. Sekali lagi cinta tidak saling menjebak. Cinta mempertemukan. Aku dan kamu saling menemukan.

Perjalanan setelahnya adalah perjalanan puisi. Aku dan kamu lalu roboh kepada kata-kata. Cinta yang membuat kita takluk kepada senjata yang paling tajam: kata. Persetan orang mau bilang apa! Tetapi pencobaan-pencobaan memang nikmat.

Karena yang berdosa adalah ketika jatuh cinta dan tidak menikmatinya.

***


 Bandung, Agustus 2015 hingga Januari 2016

Ada orang yang datang ke dalam hatimu dan mengambil hatimu lalu pergi begitu saja. Mereka hanya singgah. Tetapi ada orang-orang yang bukan hanya singgah, mereka membangun rumah dan tinggal. Mereka tidak akan berubah menjadi kenangan.

(25 Agustus, Catatan Harian)

Di dalam kasih tidak ada ketakutan. Apalah arti mencintai jika ada ketakutan-ketakutan.

(11 September, Catatan Harian)

Dear, Theoresia
Kamu adalah perempuan yang berbahagia.

(16 Oktober, Ketika Ulang Tahun, Catatan Harian)

Maka tugas Tuhan adalah berikan saya keyakinan.

(26 Oktober, Catatan Harian)

 Jangan marah sama cinta. Bahwa jatuh cinta adalah merdeka.

(7 Desember, Catatan Harian)

Di dalam segala ketidakmungkinan, jadilah tenang. Di dalam segala kesedihan jadilah tenang. Di dalam segala ketidakpastian jadilah tenang. Di dalam segala keraguan jadilah tenang.

(1 Januari, Catatan Harian)

Lelaki Bulan Juli, kamu tidak hanya datang dalam ketenangan. Kamu pun datang dalam setiap pertengkaran-pertengkaran, penyelesaian, rindu, bahkan juga secangkir kopi hitam.

Aku mengingat kamu sebagai Pulau Buru, sebuah langit hitam, gelap, dengan banyak bintang-bintang. Aku mengingat kamu dengan sebuah senyuman dengan gigi yang berderet-deret. Aku mengingat kamu dengan percakapan-percakapan di telepon hingga pagi hari. Aku mengingat kamu dengan setiap nyanyian karoke di telepon. Aku mengingat kamu dengan cerita-cerita mengunjungi orang lain. Aku mengingat kamu dengan sebagaimana aku adalah perempuan yang memilih tinggal.

***


Ambon, Februari, Maret, 2016

Tidak ada catatan yang ingin aku tulis pada periode ini selain:

Aku ingin menjadi tenang dan mencintaimu tanpa kekhawatiran.

***


Bandung, April 2016

Rencana berangkat sekolah lagi ke Salatiga.  Aku mengingat kamu dalam tumpukan buku-buku.

***

Jakarta, Mei 2016

Kamu adalah tempat yang paling liar di muka bumi. Jakarta saksinya.

***

Salatiga, Juni 2016

Aku mengingat kamu pada sebuah sore berwarna merah muda yang menawan, berpotong-potong kue labu yang kita habiskan bersama. Jalan-jalan kaki di sepanjang Salatiga. Membawakan puisi Lawamena di kampus baru. Dan percintaan-percintaan liar.

***

Bandung, Juli 2016

Mau mengerjakan cinta dengan sungguh-sungguh mulai hari ini dengan segala kepenuhannya. Mulai hari ini dan seterusnya aku hanya mau sayang kamu sungguh-sungguh.

(Sebuah Catatan Harian)

***


Kepada Lelaki Bulan Juli, kamu yang aku sebut kekasih, terima kasih untuk perjalanan, yang sudah lewat, maupun yang akan datang. Biarlah selalu ada keyakinan yang menyala di dalam cintamu. Mari bercinta, dalam-dalam, sungguh-sungguh! 

Featured Post

Sebuah Catatan Tidak Kreatif Tentang Cara-Cara Tidak Kreatif Untuk Mencintai

Cara-cara Tidak Kreatif Untuk Mencintai, adalah sebuah buku yang sedang kamu tunggu. Ia lahir sebentar lagi, tepat di 16 A...