Wednesday, December 26, 2018

Ibu Pergi Takkan Lama








Mendengarkan hujan selalu merupakan pengalaman paling menggetarkan. Kala ia mengintip di jendela, menggedor atap genteng di waktu malam, menelisik di antara ujung-ujung jari tangan yang keriput, dan berada di antara percakapan panjang tengah malam, sambil minum kopi dan berciuman.

Ciuman paling pahit yang pernah kuingat, tapi aku suka. Kau yang diam-diam kukagumi menjadi sesuatu yang kubenci sekaligus kusenangi—hujan itu sendiri. Kau keramaian yang bergulir di antara kekakuanku, basah yang sering kuingini menembus kerontangku yang begitu rapuh, bagai tanah pecah, kau selalu kuinginkan untuk mengisi bagian-bagian terbelah di dalam diriku.

Kau yang diam-diam kuakui sebagai kesegaran kala penat dan kepala yang penuh, kau tempat kutumpahkan apa saja, keresahan, kegemasan, kerapuhan, rasa sunyi, tertolak, pun segala cerita-cerita masa laluku yang terlampau kelam. Kau dengan segala kelihaianmu untuk melucu akan menghiburku, kau dengan segala kegesitanmu akan melepas bajuku satu per satu, mencumbuku, menyusun kembali bagian-bagian pecah di dalam diriku hingga utuh kembali.

Ketika kecil—aku tidak diperbolehkan bermain keluar ketika hujan. Ibuku sering katakan bahwa aku bisa sakit, maka aku mesti berada di dalam rumah saja. Seringkali aku iri dengan teman-temanku yang selalu lari-larian ketika hujan, tidak takut basah, dan dengan bebas berseluncur di antara becek, yang bercak-bercaknya mengotori kulit dan rambut.

Aku mesti menerima nasibku yang tidak boleh ke mana-mana dan harus tinggal di rumah, biasanya aku membaca buku, atau bermain sendirian dengan boneka-bonekaku. Jika melihat aku sedang sendirian, Om Petir, biasanya saya memanggilnya. Ia adik ibu paling bungsu, ia tidak menghabiskan kuliahnya di kampus pada waktu itu, kata ibu, pikirannya kadang tidak waras. Aku belum mengerti apa yang dimaksud dengan itu. Bagiku ia pria yang baik, dan senang menemaniku.

Suatu ketika ibu pergi ke pasar, ia meninggalkanku bersama Om Petir, ibu katakan bahwa ia tidak akan pergi lama. Di luar hujan lebat sekali. Dari jendela aku mengintip payung hitam ibu yang berkibar-kibar tertiup angin. Dalam hatiku, aku mengingat kata-kata ibu, ibu pergi, takkan lama. Om Petir menemaniku bermain, ia mengajakku masuk ke kamar tidurnya, untuk bermain dokter-dokteran, om Petir yang jadi dokter, dan aku yang jadi pasiennya.

Aku ingat, aku bergidik untuk pertama kalinya. Om Petir setengah memaksa, walau aku sudah menggeleng, di dalam kepalaku terngiang-ngiang suara-suara ini, “ibu pergi takkan lama.” Om Petir kini telah melucuti baju dan celanaku. Ia bukan lagi pria baik hati yang kukenal. Aku mencoba mengingat suara ibu di dalam kepala, “ibu pergi takkan lama.” Semetara di luar hujan bertambah deras, dan suara petir—atau Om Petir—aku tidak dapat membedakannya lagi, meraung-raung di bawah bantal.

Thursday, December 6, 2018

Nh. Dini dan Potongan-Potongan Kenangan Kecil yang Mengikutinya











Saya mengingat Nh. Dini, sehari setelah kematiannya. Saya ingat buku Pada Sebuah Kapal, karyanya, dapat dikatakan sebagai buku 'sastra' pertama yang saya baca.

Tahun-tahun sebelumnya, saya membaca serangkaian buku cerita Enid Blyton, komik serial cantik Jepang, serial Dora Emon, buku serial Tini (yang satu ini adalah kesukaan saya, saya punya hampir semua serinya), rangkaian seri dari Hans Christian Anderson, sebelum kemudian kecanduan dengan seri misteri Goosebumps dari R. L. Stine.

Ibu Tomasoa, guru Bahasa Indonesia saya kala itu, menyuruh kami, seantero kelas jurusan Bahasa, untuk membaca novel tersebut, dan menuliskan ulasan begitu kami selesai membaca.

Biasanya pada jam pelajaran Bahasa Indonesia, atau jam keluar main, saya dan beberapa kawan akan mengunjungi perpustakaan dan mulai membaca. Karena pada saat itu, buku perpustakaan sekolah tidak bisa dibawa pulang, maka kami akan bergiliran membaca.

Ibu Tomasoa sosok yang manis, ramah, dan sederhana. Ia mengikat rambutnya berbentuk cepol, rapi ke belakang. Dengan rok panjang di bawah lutut, dan sepatu hitam lancip bersemir. Ia tidak memakai pemerah bibir. Dan bersuara sangat lembut. Bahkan seingat saya, ia termasuk guru yang tidak pernah memarahi kami.

Kelak, Ibu Tomasoa adalah sosok yang 'bertanggung jawab' menumbuhkan kecintaan saya terhadap buku, membuat saya tidak asing dengan 'kata-kata sukar', membuat saya jatuh cinta dengan lebih banyak lagi buku-buku sastra, terutama kecintaan saya untuk menulis. Diam-diam, ia pula yang meninggalkan cita-cita menjadi penulis, pada benak remaja saya.

Seingat saya, bukan hanya Pada Sebuah Kapal, daftar membaca dan mengulas buku-buku lainnya di kelas terus bertambah: Pada Ilalang di Belakang Rumah (Nh. Dini), Siti Nurbaya (Marah Rusli), Di Bawah Lindungan Ka'bah (Hamka) dan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk (Hamka).

Ketika itu, pada waktu petang, saya masih bebas berjalan kaki ke daerah emperan jalan A.Y. Patty. Mampir di tukang majalah langganan, untuk mencuri baca serial cerita pendek kesukaan saya, dari sebuah majalah ibukota: serial Nana Dkk, yang ditulis oleh Casey (tentu bukan nama sebenarnya).

Saya tidak punya uang untuk membeli majalah tersebut. Maka, berjam-jam, saya habiskan untuk duduk membaca, membuka berita-berita lain tentang Hanson, The Moffats, Gil, dan serial Party of Five.

Nh. Dini, perpustakaan sekolah, Ibu Tomasoa, tukang majalan langganan, jalan A.Y. Patty, adalah potongan-potongan kecil kenangan manis yang masih saya pelihara di 'dalam sini'. Jauh sebelum kota kami dihantam kerusuhan dan sekolah kami diliburkan berbulan-bulan.

Monday, October 8, 2018

RUMAH







Ada sebuah kalimat, aku lupa pernah membacanya di mana, mungkin di salah satu buku yang biasa dibaca oleh ibu. Kalimat itu berbunyi begini: Rumah—Ia bukan hanya bangunan, ia mata, jiwa, dan telinga—yang tersembunyi di antara dinding-dinding beton.

Beberapa minggu belakangan ini, aku merasakan ada sesuatu yang aneh. Pada malam-malam saat semua orang sedang tidur, aku sering mendengar ada yang bercakap-cakap. Aku selalu bertanya-tanya, dari mana suara-suara itu berasal. Seperti tadi malam, aku memasang telingaku dengan seksama, sebab kali ini suara-suara itu muncul kembali. Kali ini aku mendengarkan dua atau bahkan tiga suara yang sedang bercakap-cakap. Aku bangkit dari kamar tidur dan berjalan ke luar kamar sambil terus memasang telinga, berharap aku akan menemukan siapa yang sedang bercakap tengah malam tersebut, namun suara-suara itu menghilang seperti ditelan bumi.

Pagi ini kubangun dengan perasaan sedikit ganjil. Ibu sudah menyiapkan sarapan nasi goreng untuk Nicky, anak semata wayangnya. Setiap pagi ibu suka duduk menonton siaran berita di ruang tengah sambil memangku Munah, kucing kampung peliharaannya. Aku duduk diam dengan sebuah kebingungan di kepala. Sembari menghirup aroma kopi dari arah dapur, muncul sebuah ide untuk bertanya kepada ibu, barangkali ia juga mendengar hal yang sama, barangkali semalam dan malam-malam yang lain ia juga memasang telinga untuk suara-suara itu.

Tapi aku sendiri mesti ragu-ragu—di rumah ini hanya ada Nicky dan ibu, ayah sudah meninggal beberapa tahun yang lalu. Rumah peninggalan kakek Nicky, ini memang cukup besar untuk mereka. Nicky sendiri memang sudah punya rencana untuk pindah ke rumah yang lebih kecil, jika kelak ia menikah dengan Melody, ibu juga bersikeras supaya Nicky dan Melody mencari rumah lain saja. Aku sendiri bingung, karena ibu dan Melody memang tak begitu akur. Beberapa kali aku kerap mendengar ibu dan Melody beradu pendapat. Kalau sudah begitu, Nicky sendiri akan lebih banyak diam.

Ibu lebih senang sendiri sejak kepergian ayah, ia seperti mengunci dirinya di dalam rumah besar ini. Sejak ayah meninggal, ia tidak pernah lagi menerima tamu satupun baik keluarga maupun kolega. Padahal dulu sekali ketika ayah masih ada, rumah ini tak henti-hentinya menerima tamu. Berjarak dua ratus meter dari rumah kami memang ada dua rumah berhadapan persis. Satunya adalah rumah Pak Hasyim, ketua RT komplek kami. Dan satu lagi adalah sebuah rumah tua, yang kira-kira umurnya sama denganku.

“Ibu..” sedari tadi ia masih tidak bergerak dari sofa dengan mata yang masih terus menatap televisi. Ia bahkan tidak menjawab panggilanku.

“Ng, saya mau bertanya saja, apa ibu juga mendengar suara-suara seperti orang sedang bercakap-cakap tadi malam?” Ibu mengerutkan alisnya, ia tampak berpikir keras, tapi ia masih tidak menjawab pertanyaanku. Aku nyengir dan menggaruk kepala. Masih merasa bingung dengan pertanyaanku sendiri, aku pun melamun.

*

Sepanjang hari ini berjalan dengan lambat. Aku melihat Mar datang. Mar yang berasal dari kampung sebelah, akan memasak makan siang untuk ibu dan Nicky, tapi tentu saja Nicky akan makan siang di kantor dan akan sampai di rumah larut malam. Mar juga biasanya membantu membersihkan rumah, mencuci pakaian, menyetrika. Jika ibu tidak melihat, Mar biasa membawa pulang bumbu masak, daging beberapa potong dari dalam kulkas, atau uang dalam saku celana Nicky yang biasanya Mar temukan. Mar akan menyumpel barang-barang yang ia ambil tadi di dalam tong sampah di pagar depan rumah. Kemudian ia akan mengambilnya ketika hendak pulang ke rumah. Sementara uang yang ia temukan, dengan sigap langsung ia simpan di beha-nya. Aku ingin sekali mengadu kepada ibu tentang apa yang akan dilakukan Mar, tapi jika Mar tidak lagi bekerja di rumah ini, siapa lagi yang akan menemani ibu.

Pada kali lain, aku juga menyaksikan hal-hal aneh di rumah ini. Percintaan antara Melody dan Nicky di kamar, yang semakin membuatku merasa sedih, bahwa hingga kini aku masih belum punya pasangan dan masih seorang diri.

Petang tiba. Setiap petang ibu masih akan memangku Munah, duduk di meja makan dengan cangkir kopinya dan mengisi TTS. Kacamatanya melorot, ubannya tampak semakin berkilau dari kejauhan, daster yang dipakainya sudah sangat melorot. Tubuh mungil dengan dadanya yang rata, menyatakan tentang nasib umurnya yang sudah semakin menyerah kepada zaman. Setelah mengisi TTS, ibu biasanya membaca buku—hingga tertidur.

Novel-novel tebal kesukaannya itu tersusun rapi di rak buku berdebu yang ada di ruang kerja ayah. Ruangan yang sama sekali tidak boleh dimasuki oleh siapapun, kecuali ibu. Bahkan kondisinya masih sama seperti terakhir kali ayah meninggal—dengan cara yang tidak wajar—eh, aku tidak tahu apakah aku dapat menceritakannya kepadamu atau tidak, tapi yang pasti ayah bunuh diri. Iya, aku sempat melihatnya ketika ia menelan pil-pil yang kemudian membuatnya meregang nyawa. Aku menangis. Dengan derasnya air mataku mengalir melalui tiris-tiris, seperti hujan—persis hujan.

***

Tuesday, June 19, 2018

#PetangMemelihara: Perempuan, Rambut, dan Identitas





Latar Belakang dan Tujuan

#PetangMemelihara, perempuan, identitas, dan tubuhnya, selalu menjadi hal yang menarik bagi saya. Secara khusus, tumbuh dan memiliki rambut keriting, juga sebuah pemantik yang membuat saya banyak memperhatikan hal ini. #MemeliharaKeriting, sebuah catatan harian tentang perempuan dan rambut keritingnya, saya mulai kerjakan melalui instagram. Dimulai dengan ide kecil saja, yaitu mengajak kawan-kawan perempuan untuk berbagi cerita tentang pengalaman memiliki rambut keriting mereka dan tinggal di Indonesia. Sejak kecil dan memperhatikan tivi, saya tidak pernah menjumpai perempuan yang ada di iklan shampo berambut keriting. Tumbuh dan besar di Maluku dengan stigma dan perilaku masyarakat yang kadang kasar dan tidak adil kepada pemilik rambut keriting. Sebutan rambut kuk, karibo basi, rambut indomi, rambut sarang burung, dan sebutan 'hinaan' lainnya kerap lekat dengan pemilik rambut keriting.

Konstruksi perempuan dengan identitasnya diporakporandakan. Dominasi standar kecantikan budaya tertentu, yakni kecantikan konvensional, misalnya: cantik adalah berambut lurus, yang berkelindan dengan gempuran pasar, dan untuk waktu yang lama telah berhasil membuat perempuan-perempuan berambut keriting mengalami beragam peristiwa yang tidak menyenangkan, baik di dalam dirinya sendiri maupun di lingkungan sosialnya. Mendadak masyarakat menilai bahwa rambut keriting itu adalah sesuatu yang mesti disembuhkan. Sebab ia semacam penyakit. Perempuan kemudian ditekan untuk malu menjadi dirinya sendiri, malu mengakui rambut alaminya, malu dengan identitasnya. Perasaan rendah diri, merasa kecil, dan tidak punya kendali atas tubuhnya kemudian menjadi hal yang sehari-hari untuknya. @MemeliharaKeriting hadir sebagai sebuah kesadaran bahwa rambut adalah bagian dari perlawanan. Sebuah perlawanan untuk merayakan individualitas perempuan, perlawanan terhadap stereotipe masyarakat luas, penyeragaman definisi kecantikan, dan nilai diri palsu yang dengannya perempuan dikuasai dan diasingkan dari dirinya sendiri sendiri.

#PetangMemelihara adalah sebuah acara tatap muka dan diskusi langsung untuk pertama kalinya. Akan diawali dengan workshop cara-cara tidak kreatif untuk menulis puisi, dan dilanjutkan dengan obrolan santai tentang perempuan, rambut, dan identitas dengan beberapa nara sumber yang diundang. Tujuan kecil dari acara ini adalah semoga kita, perempuan atau laki-laki yang hadir lebih percaya pada diri kita sendiri dan merayakan individualitas di dalam diri dan menjalani menjadi diri kita dengan sungguh-sungguh. 

Petang Memelihara




Mr. Guan Coffee & Books X Theoresia Rumthe mempersembahkan Petang Memelihara, dengan dua acara menarik berikut ini:

(1) WORKSHOP: cara-cara tidak kreatif untuk menulis puisi (mulai pukul 2)

Di workshop ini kita akan bereksperimen, bermain-main, menemukan ide, dan mencipta puisi dengan cara-cara yang tidak biasa.

(2) POJOK: memelihara keriting (mulai pukul 4)

Di pojok memelihara keriting, saya akan mengajak Grace Sahertian, Dhira Bongs, Alamanda Hindersah, Gabriella Maria, Almavastri Sidhya, untuk berbagi cerita tentang pengalaman bersama rambut keriting mereka, percaya diri, identitas, perempuan, pencapaian-pencapaian, dan tentu saja berbagi tip dan trik untuk memelihara rambut keriting. Grace Sahertian dan Dhira Bongs juga akan menampilkan lagu mereka secara langsung. Acara ini GRATIS!

Jangan lupa luangkan waktumu:
Minggu, 24 Juni 2018
di Mr. Guan Coffee & Books
Jl. Tampomas no. 22 Bandung
Pukul 14-18 wib

Sampai jumpa di Petang Memelihara!


Tuesday, June 12, 2018

Sebuah Catatan Harian: Menunggu Diganti Menemukan






Saya menemukan buku-buku lama yang pernah saya baca, tentang 'jodoh yang tak kunjung tiba, dan perempuan mesti menunggu.' Saya berpikir ulang tentang kata 'menunggu' dan mendapatkan sesuatu yang mengusik saya, bahwa kata 'menunggu' di situ kerap diidentikan sebagai subordinasi perempuan. Bahwa perempuan tidak punya hak untuk memilih siapa yang akan menjadi pasangannya. Sementara laki-laki punya hak istimewa untuk memilih dan memutuskan pilihannya atas perempuan.

Ide lain dari kata 'menunggu' yang juga mengganggu saya adalah perempuan diam, berdandan, menjaga sikap dengan baik, menjaga keperawanan, hingga saat yang tepat ia akan bertemu dengan laki-laki yang (dirasa tepat) untuk menjadi pasangannya. Selain itu kata 'menunggu' juga kerap menggambarkan bahwa perempuan tidak boleh agresif, dalam pengertian, agresifitas hanya boleh dimiliki oleh laki-laki sebagai sebuah tindakan untuk memburu perempuan, sebab lagi-lagi perempuan dianggap sebagai makhluk yang pasif, tidak berdaya, dan tidak berhak untuk memilih.

Saya kembali mundur pada nilai-nilai yang ada dan berkembang di sekitar saya. Tentang bagaimana masyarakat sangat memuji perempuan dengan keperawanan. Bahwa tugas untuk untuk menjaga keperawanan hingga 'waktunya tiba' adalah sebuah tugas mulia yang mesti diemban oleh seorang anak perempuan. Sementara kita tidak mengajarkan hal yang sama kepada anak laki-laki kita. Terdapat sebuah perbedaan besar antara cara membesarkan anak perempuan dan anak laki-laki. Bahwa anak perempuan tidak boleh terlalu agresif, mesti banyak menjaga sikap, jangan terlalu ekspresif untuk menyatakan perasaan, jangan terlalu ambisius, dan harus menjaga keperawanan. Sementara standar yang sama tidak dipelakukan kepada anak laki-laki.

Lalu, untuk mengganti kata 'menunggu' tadi, saya menyukai kata 'menemukan' (to discover, to found, to have, to detect, to invent). Baik perempuan dan laki-laki punya peran yang sama, untuk 'menemukan' siapa dirinya, 'menemukan' seksualitasnya, 'menemukan' bagaimana sikapnya terhadap seksualitasnya, 'menemukan' ambisinya, 'menemukan' perasaan-perasaanya, 'menemukan' dan membuat pilihan secara sadar siapa yang menjadi pasangannya.


Sebuah Catatan Harian: Hati-Hati Dengan Bahagia Digital dan Sikap Iri Hati






Berita kematian yang tidak biasa kembali menguar di permukaan. Kenapa saya katakan bahwa kematian yang tidak biasa, karena berturut-turut kematian tersebut disebabkan oleh: bunuh diri. Hal ini membuat sebuah tanya di dalam hati saya, mengapa? atau lebih lengkapnya mengapa mereka yang telah berada di usia lebih dari 50 tahun mesti melakukan tindakan bunuh diri untuk mengakhiri hidup mereka?

Ada rasa masygul, penasaran, sekaligus tanya yang tak kunjung usai di kepala saya. Dan hari ini saya menemukan sebuah artikel yang ditulis di time.com, dua hal yang menjadi sorotan utama dari artikel singkat itu adalah: definisi kebahagiaan yang bergeser dan bahaya dari sikap iri hati.

Saya tidak akan berusaha menjadi psikolog atau mengira-ngira apa yang menjadi penyebab dari kematian Spade dan Bourdain. Duka saya bersama mereka yang pergi dan hati saya tinggal bersama keluarga yang kehilangan. Barangkali tulisan ini saya buat sebagai pengingat kepada diri saya sendiri, bagaimana cara saya mendefinisikan kembali kebahagiaan, membuat sebuah jarak baru dengan cara-cara bahagia yang semu dan bagaimana saya tidak terjebak ke dalam sebuah sikap iri hati.

Yang akan saya bahas pertama, terdapat sebuah tren baru pada definisi kebahagiaan. Di dalam penemuan saya, ia bisa jadi seperti ini: bahagia adalah ketika menggunggah semua foto—seakan-akan bahagia—kita di media sosial. Kemudian tambahkan sedikit kutipan sensasional bahwa—seakan-akan—kita merayakan hidup dan menikmati hidup kita sungguh-sungguh. Sebuah keterjebakan yang saya sebut dengan: kebahagiaan digital. Kebahagiaan digital kemudian dikejar dengan cara-cara serba visual, artifisial, dengan caption/tagline/hashtag yang "serba merayakan hidup tadi". Padahal jauh di dalam hati, barangkali kita sebenarnya sedang tidak bahagia.

Hal kedua yaitu, sikap iri hati. Setelah terjebak dengan kebahagiaan digital, saya pikir hal merusak lainnya adalah sikap iri hati. Kita kemudian jadi senang mengiri dan membandingkan diri kita dengan orang lain. Satu contoh kecil: ketika teman kita mengunggah foto "kebahagiaan digitalnya", dengan tidak mau kalah, ada sebuah sikap untuk kepengin lebih dari teman kita itu.

Padahal kita lupa bahwa segala sesuatu yang diunggah di media sosial, tidak sepenuhnya sebuah kebenaran, ia punya pergumulannya sendiri. Iri hati kerap muncul sebagai sebuah dampak karena kita merasa "kecil" atau "kurang" dibandingkan teman kita. Padahal belum tentu teman kita itu benar-benar bahagia.

Kesadaran lain muncul di dalam benak saya untuk menemukan sebuah makna hidup yang sebenarnya, ketimbang menjerumuskan diri saya kepada sebuah keterjebakan palsu: kebahagiaan digital dan sikap iri hati (semu). Bagaimana saat ini, kita begitu gampangnya menilai kebahagiaan seseorang hanya dari unggahannya di media sosial. Atau bagaimana saat ini, kita lekas iri hati dengan foto-foto liburan orang lain. Sementara kita lupa ada sebuah pergumulan mahal untuk satu foto. Kita lupa bahwa di dalam setiap unggahan media sosial Spade dan Bourdain—yang tampak bahagia, mereka juga hanya seorang manusia biasa yang juga punya penderitaan.

Tuesday, May 22, 2018

Cara-Cara Tidak Kreatif Untuk Mencintai: Salatiga (Bagian III)






Pada hari Rabu, 9 Mei 2018 lalu, kami mengadakan peluncuran buku "Cara-cara Tidak Kreatif untuk Mencintai" di Kafe Cindy's, Salatiga. Pada kesempatan itu kami  menghadirkan dua pembahas, Izak. Y.M. Lattu dan Jessy Ismoyo. Keduanya adalah dosen di Universitas Kristen Satya Wacana, sahabat kami sekaligus teman diskusi yang menyenangkan. Diskusi yang panjang itu akan dipublikasi dalam beberapa bagian supaya tetap bisa dinikmati dengan santai: (1) Perihal Buku Cara-cara Tidak Kreatif untuk Mencintai; (2) Perihal Ciuman; (3) Perihal Puisi Kesukaan dan Rindu; (4) Perihal Cinta & Puisi. Selamat membaca!




Bagian IIIPerihal Puisi Kesukaan dan Rindu

Christian menyambung pernyataannya tentang ciuman dengan pertanyaan baru, “Dari 98 puisi di dalam buku Cara-cara Tidak Kreatif untuk Mencintai, apa puisi favorit kalian?” Percakapan tentang puisi kesukaan itu berlanjut dengan percakapan tentang rindu-rindu yang bertebaran di dalam puisi-puisi di buku ini.

“Ada dua puisi sebenarnya: Ciuman yang menjaga sebuah Bangsa dan Bandung-Salatiga, karena Bandung adalah satu-satunya kota besar di Indonesia yang belum saya datangi. Saya sudah tinggal di kota-kota besar dunia: NY, Boston, LA, London, dll., tetapi belum menginjakkan kaki di Bandung. Puisi itu membuat saya mengimajinasikan kota Bandung,” demikian Izak Lattu menjawab pertanyaan Christian tentang puisi yang ia sukai.

Pertanyaan yang sama juga dijawab oleh Jessy. “Di dalam puisi Pada Bulan yang Sama & Pada Tengah Malam seperti Begini,” kata Jessy, “aku merasa bahwa di situ ada kerinduan yang begitu hebatnya yang coba disampaikan dalam puisi itu. Kerinduan akan satu sosok yang betul-betul jauh dari kita, tetapi rindu yang sehebat itu hanya dicurahkan dengan satu sentuhan yang sesederhana: menyentuh bibir dengan tangan yang berkerut menjadi tindak akhir dari rindu yang sebesar itu.”

Melanjutkan percakapan tentang puisi Pada Bulan yang Sama, Theo menjelaskan, “Puisi itu yang saya tulis untuk mama saya yang sudah meninggal. Dulu ketika kecil, mama saya sering sekali memangku saya dan berdongeng tentang ibu dan anak yang tinggal di bulan. Teman-teman di Maluku juga pasti punya pengalaman yang sama (didongengkan). Mama kerap sekali pergi dan saya sering dititipkan ke tante atau nenek.”

“Kadang kita merasa bahwa kita sudah bisa cope dengan kehilangan, tetapi kadang manusia sendiri tidak bisa memastikan alam bawah sadarnya, barangkali ada hal-hal yang masih tertinggal di sana dan itu muncul dalam karya, tanpa rencana. - Theoresia Rumthe

“Ingatan yang melekat adalah didongeng oleh mama,” lanjut Theo. “Kadang kita merasa bahwa kita sudah bisa cope dengan kehilangan, tetapi kadang manusia sendiri tidak bisa memastikan alam bawah sadarnya, barangkali ada hal-hal yang masih tertinggal di sana dan itu muncul dalam karya, tanpa rencana. Kenangan-kenangan yang belum selesai itu sesekali keluar dalam tulisan-tulisan saya. Tentang rindu, kadang kita bilang tidak rindu, tapi sebenarnya rindu-dan itu keluar di karya,” ungkap Theo.

“Rindu,” menurut Weslly, “adalah sebuah pengalaman eksistensial. Rindu adalah satu kondisi di mana manusia berhadapan dengan batas-batas sebuah diri. Merindu adalah bagaimana seseorang menghadapi dengan keterbatasan dirinya. Ingin sesuatu tetapi tidak/belum bisa, itu intinya, dan itu berkaitan dengan keterbatasan manusia. Namun, merindu sebagai tindakan menghadapi keterbatasan bukanlah keadaan tak berdaya. Merindu itu sebuah daya yang menggerakkan manusia, misalnya gelombang pemudik yang berduyun-duyun pulang ke kampung halaman. Itu adalah wujud kekuatan rindu yang, pada titik itu, tidak hanya personal belaka, tetapi juga bersifat sosial.”

“Ketika kita merindukan sesuatu, keberadaan sesuatu itu akan dirasakan semakin hebat,” kata Jessy. “Dalam keadaan itu, kita cenderung berpikir bagaimana menghapus jarak antara kita dan sesuatu itu dengan hal yang instan. Kita lupa bahwa justru cinta dan rindu, menghadapkan kita pada hal itu. Kadang kita selalu meminimalisir risiko. Kita selalu takut pada kemungkinan untuk sakit. Jadi, kita menempatkan cinta sebagai urusan hitung-hitungan yang dikatakan bung Cak sebagai investasi tadi. Kita mencintai bangsa kita, misalnya, dengan tidak hanya mengharap-harap bahwa negara menyediakan keamanan, tetapi kita juga mengusahakan itu setiap harinya. Kadang kita bilang kita cinta, tetapi kita mengedepankan kepentingan diri kita sendiri. Cinta itu memang bukan luka belaka, tetapi jangan menempuh jalan-jalan instan semata-mata untuk menghindari risiko-risiko.”

Theo melanjutkan, “Kita tidak bisa lepas dari kemungkinan risiko. Keyakinan yang harus ada di dalam kepala kita adalah cinta itu memerdekakan. Kalau memang mau setia, ya kamu setia. Bukan karena orang lain. Setia adalah sebuah pilihan, bukan karena orang lain. Saya setia, karena saya setia, bukan karena orang lain. Itu mungkin yang mendasar ya. Tetapi, kemungkinan untuk merasa sakit, merasa kecewa, itu terus ada, karena kita manusia dan dari situlah kita belajar.”

(bersambung)


Monday, May 21, 2018

Cara-Cara Tidak Kreatif Untuk Mencintai: Salatiga (Bagian II)






Pada hari Rabu, 9 Mei 2018 lalu, kami mengadakan peluncuran buku "Cara-cara Tidak Kreatif untuk Mencintai" di Kafe Cindy's, Salatiga. Pada kesempatan itu kami  menghadirkan dua pembahas, Izak. Y.M. Lattu dan Jessy Ismoyo. Keduanya adalah dosen di Universitas Kristen Satya Wacana, sahabat kami sekaligus teman diskusi yang menyenangkan. Diskusi yang panjang itu akan dipublikasi dalam beberapa bagian supaya tetap bisa dinikmati dengan santai: (1) Perihal Buku Cara-cara Tidak Kreatif untuk Mencintai; (2) Perihal Ciuman; (3) Perihal Puisi Kesukaan dan Rindu; (4) Perihal Cinta & Puisi. Selamat membaca!



Bagian II: Perihal Ciuman

Christian melanjutkan, “Ada isu apa di balik puisi Ciuman yang Menjaga Sebuah Bangsa?” Theo atau Weslly yang lebih dulu, silakan.

“Awalnya puisi ini hanya mau bercerita tentang ciuman tetapi karena menulis apa pun, termasuk menulis puisi, adalah kegiatan yang tidak mungkin terisolasi dan bersifat dialektis, maka ‘obrolan’ saya dan Theo tentang ciuman itu akhirnya menyentuh juga pengalaman-pengalaman lain di sekitar kehidupan kita. Saya percaya bahwa semua kita punya ingatan manis tentang bangsa ini, walaupun itu tidak lalu berarti mengabaikan berbagai persoalan hidup bersama sebagai bangsa yang kerap muncul pada hari-hari belakangan ini. Puisi ini ditulis dan meluas dalam tegangan itu. Pada dasarnya, ciuman di dalam puisi ini adalah usaha menyeberangi keterasingan yang terbentang antara manusia yang satu dengan manusia lainnya,” jawab Weslly.

Sementara menurut Theo, “puisi Ciuman yang Menjaga Sebuah Bangsa adalah titik tenang untuk memandang dan memahami diri sendiri juga hubungan-hubungan manusia dalam kehidupan bersama sebagai sebuah bangsa. Membaca berita pada hari-hari belakangan kadang membuat hatimu cukup patah. Puisi adalah ruang untuk kemudian mengingat lagi hal-hal manis tentang bangsa ini dan tempat di mana harapan-harapan baik dan kebaikan-kebaikan itu dijaga dan dibiarkan untuk terus bertumbuh.”

“Awalnya puisi ini hanya mau bercerita tentang ciuman tetapi karena menulis apa pun, termasuk menulis puisi, adalah kegiatan yang tidak mungkin terisolasi dan bersifat dialektis, maka ‘obrolan’ saya dan Theo tentang ciuman itu akhirnya menyentuh juga pengalaman-pengalaman lain di sekitar kehidupan kita, ujar Weslly Johannes.





“Puisi Ciuman yang Menjaga Sebuah Bangsa kalau kita bicara tentang semiotika adalah tanda dari betapa kita merindukan intimasi pada sebuah bangsa,” demikian Izak Lattu. “Kita merindu pada saat intimasi itu hilang. Kita merindu pada apa yang membuat kita menjadi bangsa, yaitu rasa paling dalam. Dalam konteks itu, bangsa tidak hanya bisa diikat oleh hukum. Dalam buku ‘Menolak Narasi Tunggal’, saya juga pernah bilang, kalau bangsa yang cuma diikat oleh hukum saja, itu namanya persatean; kalau bangsa diikat juga oleh rasa, itu namanya persatuan. Oleh karena itu, cinta menjadi kekuatan berbangsa di dalam puisi ini. Tidak ada orang yang bisa menjadi warga bangsa yang baik, kalau dia belum pernah mencium dan mencintai. Hanya orang yang mencium dan mencintai yang bisa merasakan arti sebuah bangsa.”

“Mencium dan mencintai itu bukan kekuatan fisik, tetapi kekuatan rasa yang paling dalam dan kita ingin, dalam konteks bersatu sebagai bangsa itu seperti orang menikah, misalnya. Cinta itu tidak membutuhkan pengorbanan, sebab ketika kita sudah merasa berkorban, kita sudah tidak lagi mencintai, tetapi berinvestasi, melainkan kita betul-betul ingin membangun ikatan dengan saling mengaitkan kedekatan kita pada orang lain dan itu yang kemudian membuat kita menjadi bangsa. Kembali pada konteks ‘persatean’ tadi. Kita tidak mau bangsa ini hanya terikat karena hukum belaka. Kita punya pancasila, tetapi pancasila itu akan tidak ada artinya, jika orang tidak belajar untuk saling mencintai pada level keseharian. Level keseharian ini yang bisa memperkuat bangsa. Bangsa ini punya kekuatan untuk saling terikat kalau kita belajar mencintai, kalau orang boleh mencium (intimasi), saling berpelukan, dalam arti ‘menghapus jarak’. Jika kita mau menjadi bangsa, kita harus bisa menghapus ‘distance’ antara kita dengan orang lain,” tutur Izak Lattu.

“Ciuman yang nasionalis,” ucap Christian sambil tertawa, “membuat kita sadar bahwa bangsa ini masih memiliki sesuatu yang manis untuk menjadi kekuatan yang mengikat kita.”

(bersambung)


Sunday, May 20, 2018

Cara-Cara Tidak Kreatif Untuk Mencintai: Salatiga (Bagian I)




Pada hari Rabu, 9 Mei 2018 lalu, kami mengadakan peluncuran buku "Cara-cara Tidak Kreatif untuk Mencintai" di Kafe Cindy's, Salatiga. Pada kesempatan itu kami  menghadirkan dua pembahas, Izak. Y.M. Lattu dan Jessy Ismoyo. Keduanya adalah dosen di Universitas Kristen Satya Wacana, sahabat kami sekaligus teman diskusi yang menyenangkan. Diskusi yang panjang itu akan dipublikasi dalam beberapa bagian supaya tetap bisa dinikmati dengan santai: (1) Perihal Buku Cara-cara Tidak Kreatif untuk Mencintai; (2) Perihal Ciuman; (3) Perihal Puisi Kesukaan dan Rindu; (4) Perihal Cinta & Puisi. Selamat membaca!





Bagian 1: Perihal Buku Cara-cara Tidak Kreatif untuk Mencintai

Memulai bahasannya tentang buku “Cara-cara Tidak Kreatif untuk Mencintai,” Izak Lattu, dosen UKSW yang banyak menulis tentang relasi agama-agama dan bergiat di bidang tersebut, berpendapat demikian “Buku ini tidak hanya mengungkapkan cinta sebagai relasi romantis saja. Cinta di sini juga diartikan sebagai social relationship dan cultural relationship yang kesemuanya bertumpu pada intimasi. Romantic love, seperti tertulis di buku ini, ditempatkan ke dalam konteks sosial yang lebih luas. Dari situ, cinta kemudian dimengerti juga sebagai political expression, seperti tampak dalam, misalnya puisi Ciuman yang Menjaga Sebuah Bangsa. Tidak ada bangsa yang besar, jika orang-orang tidak saling mencintai.”

“Intimasi bertumpu pada trust (rasa percaya),” demikian ungkapnya. Tidak ada orang yang bisa saling mencintai tanpa rasa percaya. “Dalam konteks berbangsa,” menurut Izak Lattu, “trust sebagai pusat dari intimacy menjadi kekuatan bagi sebuah bangsa. Hidup berbangsa itu perlu intimacy. Jadi, sumbangan buku ini bagi Indonesia sekarang adalah soal bagaimana menghadirkan intimacy, sebab berbicara tentang bangsa, tentang masyarakat, tidak bisa dilepaskan dari individu-individu yang saling mencintai di dalam berbagai-bagai perbedaan yang ada.”


 Jadi, sumbangan buku ini bagi Indonesia sekarang adalah soal bagaimana menghadirkan intimacy, sebab berbicara tentang bangsa, tentang masyarakat, tidak bisa dilepaskan dari individu-individu yang saling mencintai di dalam berbagai-bagai perbedaan yang ada,” ungkap, Izak Lattu.


“Tulisan Theo dan Weslly ini,” lanjut Izak Lattu, “secara tersirat mengatakan bahwa Plato keliru melihat puisi. Bagi Plato, puisi itu punya daya yang berpotensi merusak bangsa. Bagi dia, puisi itu korup; puisi akan mengkorupsi pemikiran anak-anak bangsa, sedang bagi Plato logika adalah instansi tertinggi dari kehidupan manusia. Estetika diletakkannya jauh di bawah logika. Namun, ternyata kalau kita membaca buku ini, ada kecerdasan berlogika dalam puisi-puisi yang tertulis di situ. Puisi hanya bisa ditulis kalau kita mempunyai logika yang jelas.”

Terdapat 98 puisi dalam buku ini. Puisi-puisi itu membuat saya berkontemplasi di dalamnya,” kata Christian. Ia lalu mengajak kedua pembahas untuk lebih lanjut memberi tanggapan terhadap puisi-puisi di dalam buku Cara-cara Tidak Kreatif untuk Mencintai.

Kali ini, Jessy Ismoyo, dosen yang juga penulis puisi, membagikan pengalaman membaca buku Cara-cara Tidak Kreatif untuk Mencintai beserta penilaiannya.Setiap puisi dalam buku ini,” menurutnya, “selalu membawa kita pada ingatan tertentu, misalnya aku suka banget puisi Bandung-Salatiga. Di dalam puisi itu dibilang (Jessy lalu membacakannya):

rindu ada,
waktu tiada
rindu ada,
waktu tiada
rindu ada,
waktu tiada
kau di sini.

Dalam satu bait kita bisa ke mana-mana. Kadang-kadang, kepala kita bahkan mencurangi diri kita sendiri, membawa kita ke dalam ingatan-ingatan episodik (satu bagian kecil dari ingatan yang panjang), dan itu yang aku nikmati dari membaca puisi-puisi ini. Setiap aku baca dua atau tiga puisi, aku harus berhenti dan menarik napas panjang, dan bertanya, Cinta itu apa?”

“Di dalam buku ini,” lanjut Jessy, “Theo dan Weslly bisa membuat cinta yang tadinya dalam konteks pasangan menjadi lebih luas dari itu dan, pada saat yang sama, tidak kehilangan esensi dari dua individu yang saling mencintai. Mereka juga mengkontemplasikan cinta dalam hal-hal yang sangat dekat dengan mereka. Di dalam puisi-puisinya Theo menuliskan hal-hal yang tak terduga, misalnya perasaan ketika bangun pagi, bagaimana memandang bulan, atau bagaimana menerjemahkan rindu dengan menggunakan apa yang ada di sekitarnya. Puisi-puisi Theo membuat pembaca mengembuskan napas panjang pada saat selesai membacanya. Sementara puisi-puisi Weslly, satu kalimat, satu embusan napas.”

(bersambung)


Sebuah Catatan Harian: Kesunyian dan Pertanyaan







Manusia kini mencari kesunyian di balik tombol-tombol. Ia merasa telah mendapatkan kesunyian itu, padahal ia sedang melakukan kamuflase terhadap dirinya sendiri. Hal ini telah diramalkan oleh Baudillard, beberapa tahun sebelumnya. Namun yang mengenaskan kini adalah semakin sering manusia menghabiskan waktunya di balik tombol, semakin individuallah ia, semakin kurang rasa pedulinya terhadap lingkungan sekitarnya.

Saya membaca sebuah jurnal From Mothers to Bombers: The Evolution of Indonesian Women Extremist, ada sebuah fakta yang mencengangkan, bahwa perempuan-perempuan yang melibatkan dirinya secara sadar ke dalam terorisme adalah perempuan-perempuan yang cerdas, berpendidikan, multilingual, dan memiliki kemampuan bekerja yang apik. Ada di antara mereka yang rela menjadi tenaga kerja di luar negeri, demi mendapatkan uang banyak yang kemudian dipakai untuk membantu kerja-kerja teroris itu sendiri. Hal lainnya yang menarik, mereka banyak menghabiskan waktu mereka di balik tombol—mereka sendiri—dengan kamuflase identitas lalu mengelola sejumlah grup-grup online yang ada di internet (facebook, twitter, dan telegram).

Tak hanya cakap berkomunikasi di dunia maya—tombol—lalu menyabotase kehadiran manusia lain. Perempuan-perempuan itu pun semakin terasing. Ada sikap keterasingan tertentu, yang membuat mereka akhirnya militan untuk menjadi martir pada sebuah keyakinan tertentu. Mereka sama sekali tidak terhubung dengan dunia di luar mereka. Dunia di luar mereka tidak mampu menjangkau mereka. Lambat laun, lubang ketersesatan itu semakin besar hingga tidak ada jalan pulang.

Sampai di sini, saya merenungkan sebuah pertanyaan bagi diri saya sendiri, "Bagaimanakah peran saya di masyarakat hingga saya dapat membantu mengurangi ketersesatan tersebut?" Tapi kemudian sebuah pertanyaan lain muncul, "Bagaimana jika menjadi martir adalah sebuah pilihan dan tujuan hidup dari orang-orang tertentu?"

Oh.

Sunday, April 29, 2018

Pengalaman ‘Orgasmik’ Membaca Buku dan Puisi-puisi Penuh Ciuman






Sentuhan cinta, menurut Plato, mampu mengubah siapa pun menjadi penyair. Di dalam buku The Art of Love Poetry, Erik Gray menulis bahwa, “Tetapi puisi letaknya di antara prosa dan musik dan menggabungkan keuntungan dari keduanya. Puisi menambah dimensi fisik ke dalam prosa, dan pemanfaatan kenikmatan fisik bahasa yang luar biasa: sensualitas irama; penyatuan rima yang memuaskan; kesenangan-kesenangan lebih yang diterima hanya dengan mendengarkan artikulasi kata-kata. Semua elemen ini mungkin hadir di prosa, tetapi semuanya berpusat pada puisi. Karena puisi dapat mengemukakan bentuk-bentuk komunikasi intim yang melampaui batas-batas bahasa sehari-hari.”

Kalimat-kalimat ini barangkali menjelaskan apa yang dikatakan oleh Plato bahwa jika seseorang jatuh cinta, maka ia lantas didorong oleh kebutuhan untuk mengekspresikan rasa yang terlampau besar dan beraneka warna melalui penciptaan kata-kata yang melampaui batas-batas bahasa biasa—namun yang sifatnya sangat intim—yang hanya mungkin disediakan oleh puisi.

Sementara itu, Rolland Barthes menulis dalam An Erotics of Art (Sebuah artikel yang telah diterjemahkan ulang dan diterbitkan di The New York Times) bahwa, “Menulis adalah sebuah ilmu pengetahuan tentang asmara (Kama Sutra), sementara membaca adalah sebuah atensi psikoanalisis yang mengambang, rebah, dan menanti untuk kembali dirangsang oleh kata-kata berikutnya.”

Sampai di sini, maka pertanyaan saya untuk diri saya sendiri adalah berapa banyak ‘teks’ yang telah saya baca dari buku-buku puisi, prosa, maupun novel, yang mampu membuat saya memasuki pengalaman-pengalaman orgasmik?

Daftar buku-buku secara acak mulai bermunculan di dalam kepala saya, buku-buku yang saya baca sedari kanak-kanak, remaja, hingga masa dewasa. Tidak hanya buku, tetapi ingatan saya merayap kepada tulisan pada sebuah majalah Femina, koleksi tante saya. Saya yang remaja pada waktu itu, diam-diam tidak pernah absen membacanya. Saya sendiri tidak ingat sejak kapan rasa asyik dari membaca tumbuh di dalam diri saya. Tapi seingat saya, segala sesuatu tentang keasyikan membaca biasanya diawali oleh rasa penasaran.

Bacaan ‘diam-diam’ saya yang lain, kemudian berpindah kepada sobekan kertas-kertas yang biasanya saya temukan di bawah bantal. Sobekan kertas-kertas (kepunyaan salah satu asisten rumah tangga yang bekerja di rumah tante saya) itu berasal dari buku-buku stensilan populer pada waktu itu. Ia senang membacanya dan meletakkannya di bawah bantal. Saya dengan tidak sengaja, lalu menemukannya.

Keasyikan membaca ini kemudian berkembang seiring pertumbuhan saya. Buku-buku lainnya dari mulai komik-komik, cerita hantu, novel-novel wajib di perpustakaan, buku-buku motivasi, buku cerita pendek, buku-buku puisi, hingga buku-buku yang saya putuskan secara sadar untuk membelinya karena memang ingin dibaca. Dari semua, buku-buku yang saya paling suka, biasanya saya baca ulang—lebih dari dua kali. Saya senang mengulang kalimat-kalimat yang bukan hanya suka, namun saya gilai. Kalimat-kalimat itu tak lagi membuat rasa penasaran di dalam kepala, ia menghasrati saya sedemikian rupa, sehingga ada sebuah gambar bergerak yang ada di kepala saya.

Lebih lanjut Barthes menulis bahwa, jika tulisanmu (teks) ingin dibaca, baiknya menyelipkan sedikit kegairahan, dan menggunakan kata-kata yang sedikit genit. Namun genit saja tidak cukup, sebuah tulisan yang baik pun dikelilingi oleh hal-hal berikut ini: struktur ideologi yang tepat, solidaritas intelektual, penggunaan idiom yang layak, bahkan tidak mengabaikan kesakralan sebuah sintaksis.

*



Sebagaimana kitab Kidung Agung yang disinggung Erik Gray dalam bukunya“The Art of Love Poetry, cinta yang terungkapkan secara berbalas-balasan pun adalah tema dari buku Cara-cara Tidak Kreatif untuk Mencintai.

Tidak dapat dipungkiri bahwa sepasang kekasih yang mencintai kemudian mencipta puisi-puisi, karena ada sebuah perasaan—yang tidak dapat diekspresikan oleh bentuk-bentuk lain dari bahasa, selain puisi yang mampu melampaui batas perasaan manusia paling banal untuk dapat dimengerti satu dengan yang lain. Puisi, diakui, adalah medium yang tepat itu.

Sifat puisi yang intim jualah yang kemudian memberikan keleluasan ekspresi. Tak ada sebuah keterpaksaan, tak ada kehati-hatian yang terlalu, tak ada hitungan-hitungan matematika ketika menulis, semuanya mengucur begitu saja bagai keran bocor. Kealamian sebuah perasaan di dalamnya adalah sebuah hal yang paling dirayakan. Berbeda dengan Weslly, yang senang membongkar pasang puisi-puisinya, saya punya cara sendiri dalam menulis puisi-puisi saya. One take writing”, sekali menulis jadi, begitu istilah yang saya pakai untuk menulis puisi-puisi saya, tanpa penyuntingan yang berlebihan. Kenapa? Karena saya percaya pada keleluasaan itu sendiri. Saya tidak mau terpenjara dalam hal-hal yang berhubungan dengan teknik menulis. Alih-alih memikirkan sebuah tulisan yang membuat orgasme, saya lebih tertarik untuk memindahkan “rasa orgasme” tadi—tanpa tedeng aling-aling ke dalam tulisan saya.

Sebuah kesadaran baru kemudian muncul di dalam cara menulis: tulisan-tulisan jujur malah lekas membuat orgasme. Selain itu, tema cinta yang tadinya hanya dikonsentrasikan kepada laki-laki dan perempuan, kemudian menjadi sebuah cinta yang luas. Analogi “ciuman” yang berkali-kali dipakai di dalam buku ini, tak lagi ditujukan sebagai ciuman yang harafiah, melainkan ciuman yang dirapalkan oleh bibirmu, ketika membaca puisi-puisi yang tertulis di dalam buku-buku kami. Puisi-puisi itu mencium bibirmu persis saat kau membacanya; kau mencium banyak orang saat membacanya; kau mencium bibir dunia. Tak sampai di situ, di dalam “Cara-cara Tidak Kreatif untuk Mencintai, akan ditemukan juga bagaimana arsip-arsip pribadi kemudian menjadi kenangan bersama yang terbagi dengan seluruh pembaca.

Tetapi tak semua puisi ini adalah tentang cinta, satu atau dua puisi yang ditemukan di dalamnya adalah bagian dari perayaan kesedihan bahkan kematian. Puisi-puisi itu sengaja diselipkan, supaya genap sudah apa yang dikatakan oleh Weslly Johannes, “Cinta adalah kopi. Kurangi gula dan omong kosong.”

Featured Post

Sebuah Catatan Tidak Kreatif Tentang Cara-Cara Tidak Kreatif Untuk Mencintai

Cara-cara Tidak Kreatif Untuk Mencintai, adalah sebuah buku yang sedang kamu tunggu. Ia lahir sebentar lagi, tepat di 16 A...