Tuesday, June 19, 2018

#PetangMemelihara: Perempuan, Rambut, dan Identitas





Latar Belakang dan Tujuan

#PetangMemelihara, perempuan, identitas, dan tubuhnya, selalu menjadi hal yang menarik bagi saya. Secara khusus, tumbuh dan memiliki rambut keriting, juga sebuah pemantik yang membuat saya banyak memperhatikan hal ini. #MemeliharaKeriting, sebuah catatan harian tentang perempuan dan rambut keritingnya, saya mulai kerjakan melalui instagram. Dimulai dengan ide kecil saja, yaitu mengajak kawan-kawan perempuan untuk berbagi cerita tentang pengalaman memiliki rambut keriting mereka dan tinggal di Indonesia. Sejak kecil dan memperhatikan tivi, saya tidak pernah menjumpai perempuan yang ada di iklan shampo berambut keriting. Tumbuh dan besar di Maluku dengan stigma dan perilaku masyarakat yang kadang kasar dan tidak adil kepada pemilik rambut keriting. Sebutan rambut kuk, karibo basi, rambut indomi, rambut sarang burung, dan sebutan 'hinaan' lainnya kerap lekat dengan pemilik rambut keriting.

Konstruksi perempuan dengan identitasnya diporakporandakan. Dominasi standar kecantikan budaya tertentu, yakni kecantikan konvensional, misalnya: cantik adalah berambut lurus, yang berkelindan dengan gempuran pasar, dan untuk waktu yang lama telah berhasil membuat perempuan-perempuan berambut keriting mengalami beragam peristiwa yang tidak menyenangkan, baik di dalam dirinya sendiri maupun di lingkungan sosialnya. Mendadak masyarakat menilai bahwa rambut keriting itu adalah sesuatu yang mesti disembuhkan. Sebab ia semacam penyakit. Perempuan kemudian ditekan untuk malu menjadi dirinya sendiri, malu mengakui rambut alaminya, malu dengan identitasnya. Perasaan rendah diri, merasa kecil, dan tidak punya kendali atas tubuhnya kemudian menjadi hal yang sehari-hari untuknya. @MemeliharaKeriting hadir sebagai sebuah kesadaran bahwa rambut adalah bagian dari perlawanan. Sebuah perlawanan untuk merayakan individualitas perempuan, perlawanan terhadap stereotipe masyarakat luas, penyeragaman definisi kecantikan, dan nilai diri palsu yang dengannya perempuan dikuasai dan diasingkan dari dirinya sendiri sendiri.

#PetangMemelihara adalah sebuah acara tatap muka dan diskusi langsung untuk pertama kalinya. Akan diawali dengan workshop cara-cara tidak kreatif untuk menulis puisi, dan dilanjutkan dengan obrolan santai tentang perempuan, rambut, dan identitas dengan beberapa nara sumber yang diundang. Tujuan kecil dari acara ini adalah semoga kita, perempuan atau laki-laki yang hadir lebih percaya pada diri kita sendiri dan merayakan individualitas di dalam diri dan menjalani menjadi diri kita dengan sungguh-sungguh. 

Petang Memelihara




Mr. Guan Coffee & Books X Theoresia Rumthe mempersembahkan Petang Memelihara, dengan dua acara menarik berikut ini:

(1) WORKSHOP: cara-cara tidak kreatif untuk menulis puisi (mulai pukul 2)

Di workshop ini kita akan bereksperimen, bermain-main, menemukan ide, dan mencipta puisi dengan cara-cara yang tidak biasa.

(2) POJOK: memelihara keriting (mulai pukul 4)

Di pojok memelihara keriting, saya akan mengajak Grace Sahertian, Dhira Bongs, Alamanda Hindersah, Gabriella Maria, Almavastri Sidhya, untuk berbagi cerita tentang pengalaman bersama rambut keriting mereka, percaya diri, identitas, perempuan, pencapaian-pencapaian, dan tentu saja berbagi tip dan trik untuk memelihara rambut keriting. Grace Sahertian dan Dhira Bongs juga akan menampilkan lagu mereka secara langsung. Acara ini GRATIS!

Jangan lupa luangkan waktumu:
Minggu, 24 Juni 2018
di Mr. Guan Coffee & Books
Jl. Tampomas no. 22 Bandung
Pukul 14-18 wib

Sampai jumpa di Petang Memelihara!


Tuesday, June 12, 2018

Sebuah Catatan Harian: Menunggu Diganti Menemukan






Saya menemukan buku-buku lama yang pernah saya baca, tentang 'jodoh yang tak kunjung tiba, dan perempuan mesti menunggu.' Saya berpikir ulang tentang kata 'menunggu' dan mendapatkan sesuatu yang mengusik saya, bahwa kata 'menunggu' di situ kerap diidentikan sebagai subordinasi perempuan. Bahwa perempuan tidak punya hak untuk memilih siapa yang akan menjadi pasangannya. Sementara laki-laki punya hak istimewa untuk memilih dan memutuskan pilihannya atas perempuan.

Ide lain dari kata 'menunggu' yang juga mengganggu saya adalah perempuan diam, berdandan, menjaga sikap dengan baik, menjaga keperawanan, hingga saat yang tepat ia akan bertemu dengan laki-laki yang (dirasa tepat) untuk menjadi pasangannya. Selain itu kata 'menunggu' juga kerap menggambarkan bahwa perempuan tidak boleh agresif, dalam pengertian, agresifitas hanya boleh dimiliki oleh laki-laki sebagai sebuah tindakan untuk memburu perempuan, sebab lagi-lagi perempuan dianggap sebagai makhluk yang pasif, tidak berdaya, dan tidak berhak untuk memilih.

Saya kembali mundur pada nilai-nilai yang ada dan berkembang di sekitar saya. Tentang bagaimana masyarakat sangat memuji perempuan dengan keperawanan. Bahwa tugas untuk untuk menjaga keperawanan hingga 'waktunya tiba' adalah sebuah tugas mulia yang mesti diemban oleh seorang anak perempuan. Sementara kita tidak mengajarkan hal yang sama kepada anak laki-laki kita. Terdapat sebuah perbedaan besar antara cara membesarkan anak perempuan dan anak laki-laki. Bahwa anak perempuan tidak boleh terlalu agresif, mesti banyak menjaga sikap, jangan terlalu ekspresif untuk menyatakan perasaan, jangan terlalu ambisius, dan harus menjaga keperawanan. Sementara standar yang sama tidak dipelakukan kepada anak laki-laki.

Lalu, untuk mengganti kata 'menunggu' tadi, saya menyukai kata 'menemukan' (to discover, to found, to have, to detect, to invent). Baik perempuan dan laki-laki punya peran yang sama, untuk 'menemukan' siapa dirinya, 'menemukan' seksualitasnya, 'menemukan' bagaimana sikapnya terhadap seksualitasnya, 'menemukan' ambisinya, 'menemukan' perasaan-perasaanya, 'menemukan' dan membuat pilihan secara sadar siapa yang menjadi pasangannya.


Sebuah Catatan Harian: Hati-Hati Dengan Bahagia Digital dan Sikap Iri Hati






Berita kematian yang tidak biasa kembali menguar di permukaan. Kenapa saya katakan bahwa kematian yang tidak biasa, karena berturut-turut kematian tersebut disebabkan oleh: bunuh diri. Hal ini membuat sebuah tanya di dalam hati saya, mengapa? atau lebih lengkapnya mengapa mereka yang telah berada di usia lebih dari 50 tahun mesti melakukan tindakan bunuh diri untuk mengakhiri hidup mereka?

Ada rasa masygul, penasaran, sekaligus tanya yang tak kunjung usai di kepala saya. Dan hari ini saya menemukan sebuah artikel yang ditulis di time.com, dua hal yang menjadi sorotan utama dari artikel singkat itu adalah: definisi kebahagiaan yang bergeser dan bahaya dari sikap iri hati.

Saya tidak akan berusaha menjadi psikolog atau mengira-ngira apa yang menjadi penyebab dari kematian Spade dan Bourdain. Duka saya bersama mereka yang pergi dan hati saya tinggal bersama keluarga yang kehilangan. Barangkali tulisan ini saya buat sebagai pengingat kepada diri saya sendiri, bagaimana cara saya mendefinisikan kembali kebahagiaan, membuat sebuah jarak baru dengan cara-cara bahagia yang semu dan bagaimana saya tidak terjebak ke dalam sebuah sikap iri hati.

Yang akan saya bahas pertama, terdapat sebuah tren baru pada definisi kebahagiaan. Di dalam penemuan saya, ia bisa jadi seperti ini: bahagia adalah ketika menggunggah semua foto—seakan-akan bahagia—kita di media sosial. Kemudian tambahkan sedikit kutipan sensasional bahwa—seakan-akan—kita merayakan hidup dan menikmati hidup kita sungguh-sungguh. Sebuah keterjebakan yang saya sebut dengan: kebahagiaan digital. Kebahagiaan digital kemudian dikejar dengan cara-cara serba visual, artifisial, dengan caption/tagline/hashtag yang "serba merayakan hidup tadi". Padahal jauh di dalam hati, barangkali kita sebenarnya sedang tidak bahagia.

Hal kedua yaitu, sikap iri hati. Setelah terjebak dengan kebahagiaan digital, saya pikir hal merusak lainnya adalah sikap iri hati. Kita kemudian jadi senang mengiri dan membandingkan diri kita dengan orang lain. Satu contoh kecil: ketika teman kita mengunggah foto "kebahagiaan digitalnya", dengan tidak mau kalah, ada sebuah sikap untuk kepengin lebih dari teman kita itu.

Padahal kita lupa bahwa segala sesuatu yang diunggah di media sosial, tidak sepenuhnya sebuah kebenaran, ia punya pergumulannya sendiri. Iri hati kerap muncul sebagai sebuah dampak karena kita merasa "kecil" atau "kurang" dibandingkan teman kita. Padahal belum tentu teman kita itu benar-benar bahagia.

Kesadaran lain muncul di dalam benak saya untuk menemukan sebuah makna hidup yang sebenarnya, ketimbang menjerumuskan diri saya kepada sebuah keterjebakan palsu: kebahagiaan digital dan sikap iri hati (semu). Bagaimana saat ini, kita begitu gampangnya menilai kebahagiaan seseorang hanya dari unggahannya di media sosial. Atau bagaimana saat ini, kita lekas iri hati dengan foto-foto liburan orang lain. Sementara kita lupa ada sebuah pergumulan mahal untuk satu foto. Kita lupa bahwa di dalam setiap unggahan media sosial Spade dan Bourdain—yang tampak bahagia, mereka juga hanya seorang manusia biasa yang juga punya penderitaan.

Featured Post

Sebuah Catatan Tidak Kreatif Tentang Cara-Cara Tidak Kreatif Untuk Mencintai

Cara-cara Tidak Kreatif Untuk Mencintai, adalah sebuah buku yang sedang kamu tunggu. Ia lahir sebentar lagi, tepat di 16 A...