Tuesday, March 20, 2018

[Sebuah Cerita Pendek]: Surat Untuk Ibu








Kutujukkan surat ini kepada ibu. Ia seperti tanda bisul kering di pahaku, meninggalkan ruam besar yang hitam. Ibu, ingatkah kau, aku pernah bertanya mengapa anak gemas berkulit madu dan berambut sarang lebah sepertiku hampir selalu bisulan? Katamu, aku terlalu banyak makan telur dan kecap. Kau lalu menunjukkan bekas bisul di pahamu, itu bukan karena telur, Nak! namun karena kulit kita sama. Kau lalu membopongku ke kamar mandi, karena aku merajuk minta pipis. Aku lalu menujuk pada lubang di kemaluanku, dan bertanya, kenapa ada lubang di sana? Kau lalu menjawab, itu untuk merasakan asmara, Nak, tapi kau masih terlalu kecil. Tunggu jika kau sudah besar sedikit. Kau menuntunku ke kamar, di sana kita naik ke tempat tidur yang sudah kau kebas, memandang ke langit-langit kamar yang berawan. Kulihat sebuah bulan menggantung dengan nyalang, seperti mata seorang pejuang, kukatakan, ibu, kenapa bulan tidak tidur? Kau katakan, ia masih mendongeng kepada anak perempuannya.

Kali ini kupalingkan muka ke tembok yang terkelupas. Di tembok itu menggantung sebuah peta dengan pulau-pulau bergaris hijau dan kuning, bagian di sekitar pulau berwarna biru muda disertai nama-nama pulau yang berwarna merah tua. Aku bertanya lagi, ibu bolehkah aku berpetualang ke pulau-pulau itu ketika aku dewasa nanti? Kau menjawab, tentu saja, Nak, kaki dan langkah-langkahmu adalah punyamu, aku tak punya hak untuk mengatur ke mana mereka harus pergi. Kepalaku meliuk masuk ke bawah ketiakmu yang hangat dan mencium bau susu, aku menjulurkan lidahku kepada putingmu dan mulai menghisap. Aku bertanya, ibu kenapa kau tak lelah berbagi? Kau menjawab, Nak, setiap manusia, perempuan atau lelaki, selama masih bernafas mesti saling bagi. Kau mengurai rambutmu yang gerimis dan tajam kena mata. Dan berbisik padaku pelan, Nak, sebelum kau bertanya, aku mau menceritakan kepadamu tentang perpisahan. Kau tahu, Nak, aku selalu sedih karena harus meninggalkanmu bersama dua kakakmu sendirian. Pada kapal dan perjalananku yang berombak, aku selalu menangis diam-diam. Tapi, Nak, jauh sebelum kau lahir, aku sudah lebih dulu belajar untuk melepaskanmu. Bukan hanya berpisah dengan tubuhku, melainkan juga berpisah dengan cita-citaku untukmu. Karena kau punya jalan sendiri.

Aku kini sudah punya jalan sendiri, ibu. Terima kasih, karena darimu aku belajar memahami banyak hal-hal sulit dan mendapat pengertian darinya. Terima kasih, karena selama kau hidup, kau tak putus asa menghadapi aku, yang begitu keras kepala. Selamat hari kematian yang keempat, ibu.

*untuk ibuku. Hari ini, 20 Maret 2018, adalah tahun keempat kematiannya. Dan besok, 21 Maret, adalah hari kelahirannya.    

Arti Cukup Bagi Saya





foto oleh tim kreatif matoa indonesia



"Hidup itu, ya cukup-cukup saja," bapakku kerap berkata begitu. Bapakku yang sederhana. Ia bahkan belum berniat membeli sepatu untuk mengganti satu-satunya sepatu miliknya. Belakangan kuperhatikan bagian belakang sol sepatunya telah menipis. Ucapan bapak tentang hidup cukup-cukup saja acapkali mengingatkan saya, anak bungsunya, yang semata wayang di tanah rantau. 

Beberapa bulan lalu, saya tergerak untuk mengosongkan hampir seluruh dari isi lemari saya, dan membaginya kepada mas Imin dan mbak Imin, asisten ibu kos. Mereka biasanya membantu mengurus rumah dan tamannya yang besar. Beberapa di antara baju-baju yang saya berikan tersebut adalah gaun-gaun yang biasa saya pakai untuk memandu acara. Baju-baju yang hanya saya pakai sekali. Ada juga beberapa baju yang bahkan belum dibuka dari bungkusannya semenjak dibeli. Isi lemari saya hampir ludes. Saya hanya menyisakan pakaian yang benar-benar saya butuhkan. 

Ketika selesai membereskan isi lemari, saya merasa pikiran saya jauh lebih lengang dan hati saya jauh lebih lapang. Tidak ada rasa sesal. Hati saya seperti disergap oleh sebuah rasa tenang yang lain. Sejak saat itu saya hanya memakai baju yang ada sehingga tidak perlu mencari-cari yang tidak ada. Dari situ, saya mengenali sebuah arti baru dari kata 'cukup.' Ia adalah berhenti khawatir.


bagi saya, "cukup adalah berhenti khawatir."

Sebuah kata lain dari 'cukup' adalah berbagi. Berbagi sering sekali dibayangkan terjadi dalam keadaan di mana seseorang memiliki sesuatu yang lebih. Tetapi, bagi saya, berbagi memiliki arti lebih justru saat kita kurang. Kenapa ketika kurang? Karena pada saat itu kita belajar untuk mengandalkan kebesaran hati kita. 

Saya ingat beberapa waktu lalu ketika saya pulang ke rumah saya di  Ambon untuk menghabiskan liburan akhir tahun, bapak saya bercerita bahwa ada seorang nenek yang menawarkan batu bata datang ke rumah, persis pada waktu itu bapak sedang membangun satu bagian dari rumah kami. Nenek itu mengatakan begini, ia punya usaha batu bata di rumah dan pada saat ini ia sedang butuh uang untuk dikirim kepada anaknya yang sedang sakit. Nenek itu bertanya kepada bapak saya, bolehkah ia membawa pulang uangnya dulu, di lain waktu ia berjanji untuk membawa batu bata yang telah disepakati. Bapak saya percaya. Ia memberikan sejumlah uang yang diminta oleh si nenek. Namun hingga saat ini, berbulan-bulan kemudian, batu bata yang dijanjikan tidak pernah dibawa datang.

Bapak menceritakannya di teras rumah kami pada sebuah petang. Ketika itu, matahari menampakkan pendarnya di sela-sela dedaun. Selesai mendengarkan cerita itu, saya melontarkan kekesalan saya. Pertama, saya merasa tidak rela dengan jumlah uang yang telah diberikan bapak, padahal saya tahu betul bahwa bapak sedang membutuhkannya untuk keperluan membangun rumah; dan kedua, saya tidak terima bapak kena tipu. Mendengar itu, bapak hanya tenang saja. Ada senyum kecil di wajahnya yang ikhlas. Ia berkata, "Ketika berbagi dengan orang lain, tidak ada yang pernah hilang dari kita." 

Apakah arti cukup bagimu?


*silakan submit juga arti cukup bagi kamu di sini. Dan satu cerita terbaik akan mendapatkan jam tangan dari Matoa. 










Sunday, March 18, 2018

[Sebuah Cerita Pendek]: Senja dan Sebuah Cara Untuk Bahagia







Tidak berlebihan jika aku menyukai senja. Barangkali ia hanya sebuah cara untukku sedikit bahagia. Tapi, coba saja kau tanyakan kepada mereka yang lain, pasti jawabannya sama juga. Jika beruntung dan tidak mendung, aku punya sebuah cara untuk mengabadikan senja. Yaitu berjalan dengan kaki telanjang ke belakang rumah, duduk di bawah pohon kalabasa memandang tepian laut yang kemerahan, dan sesekali membiarkan kakiku terkena riak ombak kecil yang menghampiri.

Rasanya asin seperti ciuman lelaki itu di sekujur tubuhku. Bibirnya yang tebal dan basah selalu memburu segala sesuatu yang dapat ditemukannya pada tubuhku untuk ia lumat tanpa ampun. Membayangkannya saja membuat perutku mual tiba-tiba. Seketika aku ingin memuntahkan ciuman-ciuman lelaki itu. Belum lagi jika jari-jari gempalnya mulai menggerogoti buah-buah di tubuhku, dan mencengkeramnya erat-erat. Nasibku kaku bagai pohon kalabasa. Hanya dapat mengatupkan mulutku erat. Menggigiti bibirku hingga berdarah. Aku tak sempat mengingat senja. Ketika hembusan nafas dan erangan lelaki itu menembusi kulit dan telingaku. Sungguh, bukan sebuah keindahan.

Selesai menanggalkan gairahnya yang laknat, ia memasang kembali resleting celananya yang ketat. Menandatangani berkas yang kuberikan padanya di dalam map-map di atas meja. Aku tak mau menangis. Wajah ibuku membayang di kepalaku. Ibuku yang renta dan sakit-sakitan. Selalu sumringah ketika aku membawa pulang beras dan sedikit lauk pauk untuknya. Belum lagi  tanggung jawab biaya sekolah, Ali, Rum, dan Kai, ketiga adikku yang masih kecil.

Semenjak  bapak tidak ada dan ibu mulai sakit-sakitan, aku mulai bekerja di sebuah kantor kecil di daerah kota. Setelah diterima dengan hanya berbekal ijazah SMA, aku memaksakan diriku untuk bekerja sebagai apa saja di kantor itu. Dari mulai membikinkan kopi, mencatat urusan-urusan perjalanan si Bos, membelikan makan malam untuk karyawan yang lembur, dan terpaksa menjadi teman tidur. Yang terakhir adalah pekerjaan melelahkan dan membuatku geram. Karena pekerjaan itu bukan hanya di tempat tidur, melainkan di mana saja ketika hasratnya terbit. Tanpa dapat kutolak. Karena jika aku berani buka mulut, aku terancam akan dikeluarkan dari kantor. Si Bos mengatakan begitu dengan terkekeh, memperlihatkan gigi-giginya yang kuning kecoklatan. Dan itu artinya raib sudah semua biaya yang kutanggung untuk ibu dan obat-obatnya, biaya sekolah adik-adik, makan kami sehari-hari, belum lagi biaya rumah kontrakkan yang masih ada beberapa tahun lagi.

Setiap kali mengingat itu semua, rasanya aku ingin berlari—jauh. Namun kaki-kakiku seperti enggan, mereka hanya manut dipakai berjalan sedikit ke belakang rumah, menemui pohon kalabasa, duduk di bawahnya untuk menikmati senja, yang sementara, dengan sedikit bahagia. Langit hampir gelap. Sebilah cahaya memecah keheningannya. Senja kini berubah menjadi senyum perempuan tua yang masygul.

[Bandung, 18 Maret 2018, pukul 14:27]

*kutulis untuk perempuan-perempuan dengan pelecehan seksual, di mana saja mereka berada, yang karena berbagai alasan memilih untuk bungkam.

Friday, March 16, 2018

[Sebuah Cerita Pendek]: Bagiku, Tuhan Tidak Ada



Kapan terakhir kali kau berdoa? Aku tak malu mengakuinya, namun sudah lama sekali aku tidak berdoa. Karena bagiku Tuhan tidak ada. Doa yang paling khusyuk--dan paling kuingat seumur hidupku adalah ketika aku kelas 3 SMA. 

Langit mendung. Ia seperti seorang gadis murung dengan maskara yang luntur di sekitar mata. Dengan kaki-kaki telanjang aku berlari menuju ke rumah Tante Lin. Setapak yang bersentuhan dengan telapak kakiku hangat. Lututku terasa goyah. Namun kupaksakan untuk terus berlari sambil mendengarkan detak jantungku sendiri yang hampir rubuh.

Bangunan rumah Tante Lin belum sepenuhnya berdiri. Rumah itu masih dikelilingi tembok seperlunya saja, dengan bakal jendela yang bahkan belum kena semen. Di salah satu sudut rumahnya, kulihat beberapa orang sudah berkumpul. Wajah mereka murung. Aku mendekat ke arah kerumunan dan melihat ke arah kota, sebuah hitam besar menyergapku. Itu sudah bukan lagi langit yang mendung, melainkan segerombolan asap hitam besar dari gedung-gedung yang terbakar. Hanya kurang dari satu menit aku melihat pemandangan itu, tiang listrik di komplek kami berbunyi. Pertanda, telah terjadi kerusuhan di kota, semua harap siaga.

Aku berlari pulang ke rumah. Kali ini kupacu langkah-langkahku lebih cepat. Di sekelilingku beberapa tetangga yang laki-laki, sudah terlihat sibuk menyiapkan senjata-senjata rakitan, ada yang membawa parang, dan mulai berlari ke arah perbatasan. Nafasku memburu. Kakiku kini telah menginjak pekarangan rumah, gemerisik daun mangga kering berbisik ketika kakiku yang telanjang menginjak mereka. Aku mengambil jalan memutar dan masuk melalui teras samping. Di sana aku melihat ibu di ruang tengah keluarga kami, ia menatap ketika aku masuk. Dengan suara lirih, ia berkata, "Ayahmu, belum pulang, Nak. Sebaiknya kita berdoa untuk keselamatannya."

Bagiku Tuhan tidak ada, karena jika ia ada, kenapa kerusuhan di kotaku tak kunjung reda. Banyak orang telah mati sia-sia. Kampung-kampung telah hangus terbakar, harta benda, sanak saudara yang tercecer, yang hingga sekarang masih terjebak di belantara hutan entah masih hidup atau sudah menjadi bangkai. Aku membuka pintu kamar mandi dan masih mengutuk Tuhan dalam hati. Aku duduk di WC jongkok, mengangkang, dan tidak buka celana, memperhatikan dinding di depanku dengan cat tembok yang mulai terkelupas. Kukeluarkan rokok dari dalam saku celana, sebatang yang kubeli pagi tadi di warung, membakarnya, dan memejamkan mata.

Aku ingat ayahku, sudah tiga hari ini ia terjebak di kantornya dan belum bisa keluar sebab jalan besar di sekitar kantornya rawan sekali dengan penembak-penembak jitu yang bersembunyi di bekas gedung-gedung tinggi. Semalam ketika ibu bicara dengan ayah di telepon, ayah mengatakan bahwa ia masih harus menunggu tentara kostrad menjemputnya dengan pengamanan yang ketat. Jantungku mencelos ketika mendengar bunyi bom dijatuhkan, kemudian diikuti dengan suara tembakan beruntun. Ada rasa takut menjalar. Sekujur tubuhku kini gemetar membayangkan segala yang kelam di kepalaku, tentang ayah yang terjebak dan tak bisa pulang. Kalimat-kalimat itu pun mengalir pelan, "Bapa kami yang di sorga, dikuduskan-lah namaMu..." 
-

[Bandung, 16 Maret 2018, pukul 3:17]

Monday, March 12, 2018

Memelihara Keriting: Theoresia dan Saudari-saudarinya









Theoresia Rumthe memulai sebuah gerakan kecil bernama “Memelihara Keriting” pada Februari 2017 lalu. “Memelihara Keriting,” menurut Theoresia, “adalah ‘catatan harian’ dari dan tentang perempuan-perempuan yang berambut keriting.” Tergerak oleh pengalaman pribadinya sebagai perempuan yang juga memiliki rambut keriting, ia mewawancarai dan mengumpulkan cerita-cerita yang semuanya berisi pengalaman perempuan-perempuan dengan rambut keriting mereka. Versi singkat dari cerita-cerita tersebut bisa dibaca di akun instagram @memeliharakeriting. Terdapat lebih dari empat puluh cerita yang sudah diterbitkan di sana.

Ada kisah-kisah yang ‘lucu’ (karena keriting cenderung dijadikan bahan lelucon), tetapi ada pula yang dramatis (karena perempuan-perempuan berambut keriting harus teralienasi dari dirinya). Bila semua cerita itu dicermati, maka akan terlihat satu pola yang sama. Semua perempuan yang diwawancarai pernah mengalami perlakuan yang kurang lebih sama dan melewati ‘pengalaman-pengalaman tipikal perempuan berambut keriting’.

Pengalaman tipikal itu adalah mereka, berkenaan dengan rambut keritingnya, pernah merasa tidak percaya diri atau merasa tidak cantik. Mereka semua, paling kurang, pernah berpikir untuk ‘meluruskan’ rambutnya. Entah secara halus atau kasar, mereka pernah diejek karena berambut keriting. Ada dari mereka yang sampai dikata-katai mempunyai rambut mirip orang gila.

Dari cerita-cerita mereka tampak jelas bahwa rambut tidak hanya sesuatu yang personal karena berkaitan langsung secara biologis dengan tubuh mereka, tetapi juga sesuatu yang publik karena mereka hadir dan terlihat oleh semua mata. Dengan menceritakan pengalaman sesehari mereka dengan rambut keriting mereka, Theoresia dan ‘saudari-saudarinya’ memasuki pergulatan perempuan di mana-mana, yakni menantang ide-ide kultural yang mendasari pemahaman masyarakat tentang tubuh perempuan dan struktur sosial yang melaluinya semua itu dilanggengkan.

Theoresia menginisiasi ‘gerakan kecil’ ini, karena ada masa-masa di mana perempuan, termasuk dirinya, benar-benar percaya bahwa rambut keriting adalah “penyakit” sehingga harus disembuhkan atau “kesalahan” yang harus diluruskan. Ada masa-masa di mana mereka, dengan sangat halus, berhasil diyakinkan untuk percaya bahwa tubuh mereka, rambut keriting mereka adalah “lawan” yang harus ditundukkan atau bahwa keriting adalah ‘keliaran’ yang harus dijinakkan.

foto oleh Meicy Sitorus

“Memelihara Keriting” memang terinspirasi dari pengalaman tipikal itu. Dalam tulisannya, Theoresia bercerita tentang bagaimana ia dulu pernah begitu tidak menyukai rambut keritingnya. Pada waktu duduk di bangku SMP, ia pernah mencoret-coret foto dirinya yang tertempel di buku laporan pendidikan. Bagian rambut keritingnya itu ia coba ‘lukis ulang’ menggunakan spidol, supaya dalam foto itu ia tampak seperti memiliki rambut yang lurus.

Semua itu mengingatkan kita kepada penyingkapan Foucault juga Bourdieu perihal kuasa dan bagaimana kekuasaan itu ditegakkan, bukan secara sederhana dalam wujud represif satu arah oleh kelompok dominan (misalnya: dalam kasus ini, laki-laki melalui partriaki terhadap perempuan), tetapi kekuasaan itu dilangsungkan secara (re)produktif, di mana-mana, dalam wacana dan norma yang menjadi bagian dari praktik, kebiasaan, dan interaksi manusia yang begitu sehari-hari.

Theoresia dan ‘saudari-saudarinya’ diproses secara kultural untuk mengetahui dan percaya pada sebuah ‘kebenaran’ yang mengganggu mereka, bahwa rambut tidak lurus itu jelek, dan dari situ mereka diajari untuk menginginkan rambut lurus. Bila tubuh perempuan diandaikan sebagai teks kultural, maka ada banyak perempuan dan laki-laki yang masih terus membaca rambut keriting sebagai ‘bukan cantik’ atau ‘tidak lebih cantik’ daripada rambut lurus. Hal yang sama terjadi ketika mereka membaca bentuk tubuh, warna kulit, dan seterusnya. Serentak dengan itu, mereka terseret dalam pusaran besar eksploitasi-eksploitasi manis yang dikerjakan oleh pasar, karena kecantikan--tak dapat disangkali--adalah salah satu komoditas paling laris manis di mana perempuan dan tubuhnya adalah pasar dan komoditas sekaligus.

Dalam kondisi demikian, “Memelihara Keriting” sebagai praktik sesehari (keramas, menyisir, menggerai rambut keriting) adalah suara nonverbal yang pelan-pelan mengeja ‘keriting’ sebagai ‘cantik.’ Perempuan-perempuan berambut keriting sedang mendefinisikan kepada diri mereka sendiri, “Apa itu cantik?” dan definisi yang berusaha mereka ciptakan itu hadir di dalam pertarungan kekuasaan. “Memelihara Keriting” adalah pelantang suara perempuan-perempuan berambut keriting dalam sengketa kultural atas tubuh mereka.

Sebagai perbuatan sesehari, “Memelihara Keriting” menunjukkan bagaimana perempuan-perempuan berambut keriting itu menolak menjadi “docile body.” Rambut keriting yang terus mereka rawat adalah keliaran-keliaran yang menolak untuk dijinakkan ‘rezim kecantikan konvensional.’ Gerakan kecil ini mengajak perempuan-perempuan dan publik luas untuk memahami bahwa rambut keriting mereka, bahkan tubuh mereka seutuhnya, adalah teks kultural yang jalinan maknanya diproses secara historis dalam relasi-relasi kekuasaan yang terjadi di berbagai ruang sosial.

Bagi Theoresia, ada beragam definisi kecantikan di dalam masing-masing budaya. Tetapi dominasi standar kecantikan budaya tertentu, yakni kecantikan konvensional, misalnya: cantik adalah berambut lurus, yang berkelindan dengan gempuran pasar, dan untuk waktu yang lama telah berhasil membuat perempuan-perempuan berambut keriting mengalami beragam peristiwa yang tidak menyenangkan, baik di dalam dirinya sendiri maupun di lingkungan sosialnya. Dalam kondisi demikian, menurutnya, “Memelihara keriting adalah perlawanan. Perlawanan terhadap stereotipe masyarakat luas, penyeragaman definisi kecantikan, dan nilai diri palsu yang dengannya perempuan dikuasai dan diasingkan dari dirinya sendiri sendiri.

-
Ditulis oleh Weslly Johannes, tulisan ini diterbitkan juga di sini



Thursday, March 1, 2018

Sebuah Catatan Harian: Mau jadi seniman, tapi malas mencipta. Maunya meniru saja







Banyak yang lekas jemawa terhadap apa saja: menulis, melukis, memotret, membuat puisi, membuat lagu, membuat karya—menjadi seniman (pekerja seni/kreatif). Kok rasanya, sekarang ini manusia mendadak lebih mahal nilainya ketika ia menjadi seorang seniman. Profesi ini kelihatan keren. Prestisius. Passionate. Dan Merutuki orang-orang yang bekerja kantoran dan menganggap bahwa: pekerjaan kantoran itu membosankan, sementara hidupnya sebagai seniman jauh lebih asyik. Maka titel diperlukan, yang paling dekat dan gampang sekali ditemukan adalah nama profesi yang diumumkan pada bagian bio di media sosial. Saya sih tidak masalah dengan kecenderungan ini ya. Bagi saya, sah saja, tapi yang jadi masalah selanjutnya adalah proses penciptaan. Banyak yang lupa bahwa menjadi seniman atau artist (pekerja seni/kreatif tadi) kemudian memiliki tanggung jawab untuk mencipta. 

'Cipta' menurut KBBI adalah kemampuan pikiran untuk mengadakan sesuatu yang baru; angan-angan yang kreatif. Terjemahan lainnya dari 'mencipta' adalah membuat sesuatu atau menjadikan sesuatu. Bagian ini biasanya tertumbuk dengan sebuah petikan yang sangat terkenal yaitu, "there's nothing new under the sun," betul sekali bahwa tidak ada sesuatu yang baru di bawah matahari, karena semuanya sudah pernah ada, kita hanya memahami atau memaknai ulang hal-hal yang sudah pernah ada. Tapi mari garis bawahi kalimat ini, mencipta adalah: sebuah kemampuan berpikir. Terkait dengan kemampuan berpikir yang nantinya akan membawa kita kepada sebuah proses penciptaan. Kemampuan berpikir berjalan seiiring dengan kemampuan membaca (apa saja dengan cara apa saja) dan kemampuan untuk mendiskusikan segala sesuatu. Misalnya, bagaimana mau berpikir atau berdiskusi, kalau pikirannya sendiri tidak diisi lebih dulu. Itu artinya ada waktu yang diluangkan untuk membaca, mendengarkan, menuliskan ide, mencari referensi, latihan, berdiskusi dengan orang lain, membaca lagi dan seterusnya. Selama kita masih suka melompati proses sunyi dan tidak terkenal ini, maka tidak akan ada kemampuan berpikir, dan tidak ada kemampuan mencipta.

Yang terjadi adalah, meniru. Menurut KBBI, meniru adalah melakukan sesuatu seperti yang diperbuat oleh orang lain. Terjemahan bebas lainnya adalah, mengambil ide orang lain plek-plekan, tanpa merasa bersalah. Ya, yang copy-paste memang jauh lebih gampang. Tapi sejauh mana ia mampu bertahan? 

Gampang, toh kalau sudah bosan menjadi 'seniman' tinggal mengganti bio di media sosial. 

Featured Post

Sebuah Catatan Tidak Kreatif Tentang Cara-Cara Tidak Kreatif Untuk Mencintai

Cara-cara Tidak Kreatif Untuk Mencintai, adalah sebuah buku yang sedang kamu tunggu. Ia lahir sebentar lagi, tepat di 16 A...