Sunday, June 21, 2020

Awan Mengirim Pesan







Seharian ini kuhabiskan waktu untuk duduk dan melamun di pekarangan. Tidak begitu sunyi, sebab aku masih menunggu. Aku pikir duduk dan menunggu saja itu terkadang baik. Aku dapat memperhatikan sekelilingku dengan bijaksana. Seekor kucing tua dengan muka luka bekas tersiram air panas mengendap mendekatiku. Dengan hati-hati ia meneliti diriku yang sedang duduk termangu, “Menunggu siapa?” ia bertanya. “Aku menunggu sebongkah awan yang lewat,” jawabku. “Awan sedang berlibur. Tidak ada awan hari ini. Kau lihat, langit begitu pucat,” tandasnya sambil menelungkupkan kedua kaki depannya rebah di tanah.

Aku menengadah dan meneliti langit. Langit begitu pucat, bagaikan tidak makan beberapa hari. Dan memang betul, tidak terlihat awan sama sekali. Warna kelabu gusar diam di tempat. Landasan besar di atas kepalaku hanya punya satu warna. “Aku tidak pernah menunggu selama ini. Biasanya awan lewat setiap hari, tak lupa memberi kabar dalam berbagai bentuk. Kadang menyerupai segerombolan anak anjing, kereta kuda, anak kecil dengan balon, burung merak besar, atau wajah yesus. Awan seperti berkata-kata lewat berbagai bentuknya. Awan punya bahasanya sendiri. Awan sedang menyampaikan sesuatu.

Beberapa hari ini aku duduk di pekarangan, meneliti apa saja yang aku lihat dengan mataku dan menunggu. Tak ada perubahan apa-apa. Langit masih dengan wajah yang sama. Tiga hari yang lalu, aku duduk, dan awan menyampaikan sebuah tanda. Aku melihat begitu banyak bunga melati kecil di langit. Sejenak aku bepikir, apa yang dirayakan oleh langit? Apakah ada pesta? Tentu saja pertanyaanku tidak lantas dijawab oleh langit. Keesokan harinya, aku mendengar pengumuman lewat toa masjid, berturut-turut beberapa tetanggaku dikabarkan meninggal dunia oleh wabah. Warga setempat lantas diberi himbauan untuk lebih berhati-hati, tidak sembarangan keluar rumah, berjarak dengan orang lain, dan sering mencuci tangan.

Ternyata langit tidak sedang berpesta, melainkan sebuah perayaan kematian. Aku bergidik membayangkan peristiwa kematian itu. Tidak ada satu orang pun yang diizinkan untuk mengantar jenazah-jenazah itu ke tempat peristirahatan terakhir mereka. Sirine ambulans terdengar di kejauhan menuju pekuburan. Di sana sudah ada tukang gali kubur yang sigap  memasukkan tubuh-tubuh kaku ke dalam tanah. Barangkali kalau ingat, akan disertai doa singkat di dalam hati mereka.

Sejak kejadian itu, aku jadi senang meneliti langit, menunggu awan, menantinya mengirim pesan. Aku butuh sebuah tanda. Hidup butuh penanda. Akhir-akhir ini aku seperti kehilangan harapan. Tidak banyak teman ngobrol. Ya, kucing tua muka jelek ini satu-satunya temanku mengobrol. Awan belum muncul juga. Kami berdua kaget mendengar bunyi geluduk besar sekali. Kucing tua mengeong, “Sudah kubilang, tak ada awan hari ini. Langit mengirim hujan.” Dengan sigap kami mengangkat pantat dan kembali ke dunia kami masing-masing. Dunia yang penuh kebingungan.

Featured Post

Sebuah Catatan Tidak Kreatif Tentang Cara-Cara Tidak Kreatif Untuk Mencintai

Cara-cara Tidak Kreatif Untuk Mencintai, adalah sebuah buku yang sedang kamu tunggu. Ia lahir sebentar lagi, tepat di 16 A...