Mengucap “hati-hati” ketika berpisah itu romantis. Karena mereka membawa “hati” kita ketika pergi.
Ini adalah status twitter dan facebook saya, beberapa jam yang lalu.
Ungkapan hati-hati adalah ungkapan klise yang sering sekali kita pakai ketika hendak melepaskan kepergian seseorang. Biasanya saking sering mengucapkannya, ungkapan ini menjadi sedikit basi. Dan jatuh-jatuhnya hanya dipakai sekedarnya. Ucapan hati-hati juga biasanya dipakai sebagai peringatan akan sesuatu, supaya kita lebih waspada ketika sedang di jalan atau dalam menghadapi sesuatu atau seseorang.
Ketika hendak berpisah—kenapa musti hati? dan terjadi pengulangan di sini. Hati dua kali—saya loncat sedikit. Dulu, lain lagi. Saya pernah menulis di twitter saya, mengucap “hati-hati” ketika berpisah itu romantis. Karena kita semacam menitipkan hati kita kepada orang tersebut. Hanya saja saya sedikit trauma dengan hal ini. Dengan kata-kata saya sendiri—tidak gampang menitipkan hati kepada orang lain. Betul? Entahlah, tidak gampang—atau tidak mau mengulangi kesalahan yang sama, batasnya sangat tipis.
Lucu. Ketika menemukan ungkapan “hati-hati” ini sebagai peringatan—paling tidak bagi saya ini juga peringatan. Ini semacam menyadarkan saya. Karena ketika memperingati seseorang, biasanya kita melakukannya lebih dari satu kali. Makanya ada, hati-hati. Kata “Hati” yang diulang dua kali. “Hati” menjadi bahasa yang cukup sensitif sekaligus menarik. Jadi sampai di sini, saya berpikir bahwa, bukan masalah peringatannya. Melainkan hatinya yang lebih penting. Ketika kita tahu kita hendak menitipkan hati kepada seseorang, harusnya kita yakin betul ia adalah orang yang tepat. Sebaliknya ketika orang tersebut hendak membawa pergi hati kita, kita harus yakin betul bahwa ia juga akan memperlakukan hati kita dengan benar, menjaga dan juga merawat hati kita dengan benar.
Ini pekerjaan Ibu. Apakah memang harus menitipkan hati kepada Ibu saja supaya aman. Ah, tapi Ibu mulai pelupa. Saya takut Ibu meletakkan hati saya di laci lalu dikunci. Kemudian ia lupa meletakkan kuncinya dimana.
Saya yang pusing. Kalau sudah begini, giliran saya yang bilang ke Ibu “Hati-hati, nyimpen kuncinya, Bu.”
Saya tidak romantis. Yang romantis itu Ibu. Saya ini sedang ngelantur. Mencerminkan hati saya yang sedang ngelantur juga. Tapi sudahlah, silakan ambil yang penting. Yang tidak penting dibuang saja.
Hati-hati. Diulang sampai dua kali. Mungkin karena sifatnya yang mudah pecah. Makanya mereka harus bergandengan. “Hati-hati” adalah kata bergandengan. Mereka akan berjalan tidak seorang diri melainkan beriringan.
LOVE,
The.
Sultan Agung, 3 Mei 2011. 11:36
I fall in love w/ this post! :')
ReplyDelete"Dengan kata-kata saya sendiri—tidak gampang menitipkan hati kepada orang lain. Betul? Entahlah, tidak gampang—atau tidak mau mengulangi kesalahan yang sama, batasnya sangat tipis."
ReplyDeletetulisan iniiii.. sukaaaaaaaa :')
Suka dengan yang ini >>>> HATI-HATI = kata bergandengan. Mereka akan berjalan tidak seorang diri melainkan beriringan.
ReplyDelete