Raumanen—Ia cantik dan lincah. Saya selalu membayangkan ia mempunyai perawakan yang eksotis. Tidak hanya cantik Raumanen pun cerdas, ia adalah seorang gadis yang terpelajar. Sedangkan Monang adalah laki-laki yang tampan. Tapi sayangnya, saya selalu membayangkan Monang seperti laki-laki Batak pada umumnya. Laki-laki Batak yang akan melakukan segala sesuatu untuk menyenangkan hati Ibunya.
Akhirnya di hari yang dinjanjikan saya bertemu dengannya, saya memakai dress oranye kesayangan saya. Sedangkan Manen waktu itu sederhana saja. Ia hanya mengenakan mini dress berwarna hitam. Dengan sandal tali-tali dan sedikit blush-on di pipi. Tidak menor— sederhana tapi kecantikan dirinya tak pernah hilang.
“Hallo. Akhirnya ketemu juga.” saya memeluknya.
Ia membalas pelukan saya dengan hangat. Manen, sangat ramah. Walaupun sesekali ia bicara sambil merokok, tapi saya suka matanya. Sinar ketulusan ada di sana. Ia mulai bercerita tentang segala macam—kuliah, kegiatan aktifnya di kampus, Mama dan Papanya, sampai kepada kisah cintanya—siapa lagi kalau bukan laki-laki itu, Monang. Yang kemudian saya tahu bernama lengkap Hamonangan. Sampai di sini, sorot matanya berubah—ia mengatakan kalau ia begitu mencintai Monang dan ingin bersama dengannya. Tapi.. —kalimat Manen terputus di situ. Saya menunggu beberapa detik berharap ia akan menceritakannya lebih lengkap. Saya mulai gugup dan mengirit-irit kopi yang saya minum, supaya tidak memesan lagi. Bukan karena pelit, hanya saja saya tidak mau mengganggu momen ini dengan memanggil pelayan datang ke meja kami.
“Terus? apa yang bikin kalian tidak bisa bersama, Manen?” Tanya saya begitu hati-hati. Saya tidak mau kedengaran terlalu ikut campur persoalan antara ia dan Monang.
“Terlalu sulit untuk dijelaskan, The.” Ah, kali ini matanya mulai berair dan pipinya mulai basah. Raumanen yang cantik kini mulai menangis—duh, saya jadi tidak enak. Buru-buru saya merogoh tas saya untuk mencari tissue. Setelah menemukan, saya menyodorkan tissue itu kepadanya.
“Saya nggak apa-apa kok. Hanya sedih saja, terlalu sedih.” Akhirnya ia melanjutkan.
“Manen, saya nggak maksa kok. Kalau nggak mau cerita sekarang, juga nggak apa. Kan nanti kita bisa janjian lagi.” Sahut saya berusaha menghiburnya.
“Iya, kita bisa janjian lagi. Nanti kamu bisa dengar versi lengkapnya. Duh, saya musti berangkat sekarang nih, The. Sorry ya, ada janji lagi.”
“Oh, ya sudah. Thanks ya, sudah mau ketemuan. Hati-hati di jalan.” Saya memeluknya kembali dengan hangat begitupun ia. Ia membereskan barang-barang yang tadi ia bawa. Kemudian pergi. Saya duduk kembali, lalu melihatnya sampai punggungnya menghilang di balik pintu cafe.
Nah, sekarang waktu yang tepat untuk memesan kembali kopi kepada pelayanan—buku kecil tipis, dengan font yang saya suka, yang bercerita tentang seorang gadis yang hidup di tahun enam puluhan. Begitu detail, membuat saya tenggelam ke dalam cerita itu begitu dalam—sesekali melamun, ikut sedih—lalu hanyut bagai hujan.
Buku itu berjudul, Raumanen.
****
Marianne Katoppo menuliskannya dengan baik—siapa saya yang berani menuliskannya kembali. Novel dengan 131 halaman ini saya baca pertama kali sekitar tahun 2006—ketika saya dipercaya mengasuh acara buku di radio tempat saya bersiaran. Novel langka yang sangat layak dibaca.
No comments:
Post a Comment