Kopi dengan setumpuk permasalahannya.
Bisa jadi butuh meja, telinga, dan mulut-mulut yang diam. Hanya sekedar mendengarkan—manusia terlalu cerewet. Kopi diam dan mendengarkan celoteh riang maupun sedih. Silih berganti datang dan melengkapi hari-harimu, siapa tahu kali ini akan ada sebuah jawaban pada sebuah cangkir kopi.
Berpikir soal jawaban pada sebuah cangkir kopi—aku punya sebuah pertanyaan padamu “apa yang membuat kamu begitu mengagumi kopi?” kamu mengerling ke arahku sebentar lalu memainkan jari-jarimu yang mungil pada sisi cangkirmu “kegigihannya, aku suka” jawabmu begitu singkat lalu meneguk lagi cairan pahit itu perlahan.
“Oke. Kegigihan? hanya itu?” aku masih penasaran, dan tidak terima dengan jawabanmu yang begitu singkat. “Hmmm.. aku tidak menemukan yang lain yang lebih pantas. Aku merasa selama ini, kopi terlalu gigih. Mereka seakan menelan yang pahit itu ke dalam. Bikin lega. Bikin mengikhlaskan sesuatu..” kamu berhenti sebentar. Kini matamu mulai berkaca-kaca. “Mereka adalah bubuk-bubuk yang tidak sendiri, saling melekat, itu sebabnya aku tidak pernah merasa sendiri. Aku seperti selalu ditemani oleh mereka.” Suaramu bergetar, tapi aku merasa ada keteguhan di sana. Keteguhan yang tidak dibikin-bikin. Begitu tulus.
****
Ini mungkin percakapan rahasia— saya hanya curi dengar.
Sementara lagu-lagu chill berbahasa Arab menghentak-hentak. Waktu itu kira-kira hampir jam 12 malam, kami masih menikmati suasana warung ngebul, karena hari itu adalah launchingnya. Layaknya merayakan kelahiran, warung ngebul seperti berojol dengan wataknya sendiri. Begitu hangat dan menyenangkan. Menu berbahasa Arab yang dipajang di dinding. Separuh dinding yang dihias dengan wallpaper hitam bunga-bunga perak. Pigura warna-warni. Akan membuatmu saling melekat.
Sementara lagu-lagu chill berbahasa Arab menghentak-hentak. Waktu itu kira-kira hampir jam 12 malam, kami masih menikmati suasana warung ngebul, karena hari itu adalah launchingnya. Layaknya merayakan kelahiran, warung ngebul seperti berojol dengan wataknya sendiri. Begitu hangat dan menyenangkan. Menu berbahasa Arab yang dipajang di dinding. Separuh dinding yang dihias dengan wallpaper hitam bunga-bunga perak. Pigura warna-warni. Akan membuatmu saling melekat.
Ada spot yang mungkin akan menjadi favorit saya, yaitu dua meja yang letaknya pada bagian luar. Satunya persis di dekat pintu masuk. Satunya lagi berada di teras kecil sebelah kanan warung. Mungkin sesekali, kamu juga hendak berkunjung, dan menikmati “Ngopi Ganteng” atau “Makan Enak dan Cemil Centil” dengan harga yang sangat murah 3000 – 20000 rupiah saja. Pemiliknya tak kalah ganteng, boleh follow di twitter @vabyo. Temui juragan yang menyenangkan ini, lalu coba tanyai dia soal “kenapa namanya warung ngebul?” maka jawabnya adalah “karena tempatnya di deket jalan, makanya suka ngebul asep..”
Lah, padahal waktu itu saya berpikir bahwa sesuai dengan namanya warung ngebul. Sejak lahir sampai nanti warung ini dewasa, dapurnya akan ngebul terus—dan membuat perutmu kekenyangan setengah mati.
****
Suasana warung itu kini telah gelap. Keramaian dan hingar bingar tadi telah hilang entah kemana—kertas dengan angka 6 di pipinya pun tampak lelap. Kini aku memegang tangannya. Sesekali mencium pipinya lembut—dia sudah tertidur pulas di bahuku.
“Seperti bubuk kopi. Aku tidak akan kemana-mana. Aku akan melekat denganmu..”
Bisikku perlahan di kupingnya. Pada makhluk paling cantik yang pernah aku temukan di muka bumi ini. Berharap ia mendengarkanku... walau hanya di dalam mimpi.
*pic by Onye. Mari berkunjung, ke DAGO 230 Bandung, kalau dari Dago atas, ada di pengkolan sebelum ke Tubagus Ismail. Selamat Menikmati.
No comments:
Post a Comment