Bertahun-tahun yang lalu aku sudah mengenalmu. Kamu adalah pria berkulit coklat. Lenganmu tidak terlalu kekar, sedang saja. Tampak ruangan di sekitar kita begitu gelap. Aku mendorong kereta bayi dan di dalam kereta bayi itu, aku melihat seorang bayi perempuan yang sedang tertidur pulas. Sedangkan kamu berjalan dengan seorang laki-laki kecil, berambut gondrong keriting, berinisial D. Itu adalah beberapa bulan setelah aku melahirkan. Mungkin sudah lama juga, kamu ingin mengajak aku jalan-jalan. Setahuku kamu adalah pria yang lembut. Aku dapat merasakannya. Bahasa cintamu adalah sentuhan, kamu ngomong dengan berbisik-bisik dan kamu suka sekali menyentuh.
D adalah anak pertama kami dan anak yang kedua aku tidak tahu namanya siapa. Mungkin nama lucu, yang kamu berikan. D anak kecil yang tampan, ia mirip sekali denganku, sangat aktif dan tidak mau diam. Dulu ibu suka cerita, kalau aku menangis aku suka sekali membuka mulutku lebar-lebar dan suaraku pasti paling melengking tinggi. D pun begitu. Lalu ketika ada di tempat ramai, aku tidak bisa diam.
Sekarang aku harus menghadapi D, yang persis sekali denganku. Sebentar lagi film akan dimulai dan D masih saja berlari-lari di sekitar lorong bioskop yang gelap. Aku tidak tahan, aku lalu memanggilnya “D, ssshhh.. stop lari-lari, sebentar lagi filmnya akan mulai.” Kataku sambil menatap matanya yang mirip sekali dengan mataku, besar dengan bulu mata panjang. Ia melihatku, lalu dengan tatapan menurut, ia kini mengambil tempat di sisiku. Begitu D duduk, kamu mengelus tanganku lalu berkata “pelan-pelan. Yang sabar ya mam.” Kamu memanggilku begitu.
Padahal aku mengharapkan, aku punya panggilan yang lebih oke. Seperti—ah sudahlah aku tidak ada ide kalau ditanya sekarang. Mungkin “Mommy” dan kamu “Poppy” atau “Momsky” dan kamu “Popsky” atau sesuatu yang lebih terkemuka dari itu. Aku tak ingat aku punya panggilan sayang buatmu, tapi pasti ada. Aku kan suka sekali dengan panggilan sayang, setiap orang yang dekat denganku, maksudku sahabat, itu saja mereka punya.
Apalagi kamu. Sampai hari ini, aku masih terobsesi dengan lengan pria. Intuisiku mengatakan, aku akan diberitahu sesuatu melalui lengan itu. Entah kenapa bukan ciri yang lain melainkan lengan, aku sampai berpikir kenapa bukan rambut, pipi, atau mata. Pasti aku akan dengan sangat gampang mengenalimu.
Tapi tidak—kata kunciku hanya lengan, suara, dan hati yang begitu lembut. Bisa jadi kamu adalah laki-laki yang lebih lembut dari aku. Atau memang kamu itu sebagai pelengkap, karena ketika menjadi ibu, aku akan sedikit galak. Ah semoga tidak begitu juga. Kamu harus tahu satu hal, bahwa ketika kita bertemu nanti aku sudah sangat lama mengenalmu. Kita akan membesarkan dua orang anak saja, laki-laki dan perempuan. Bahkan untuk yang lelaki, aku sudah tahu namanya dengan begitu jelas. Tinggal yang perempuan, aku yakin namanya pasti dari kamu.
Akhirnya, kenapa lengan? Karena aku suka dipeluk. Mungkin begitu, entahlah. Yang pasti, ketika ada di pelukanmu, aku akan merasa sangat nyaman. Dan aku akan berulang kali bilang terima kasih. Ketika aku bangun, bekas sentuhanmu masih terasa. Begitu nyata.
:)
ReplyDeleteah. manis sekali.
ReplyDeleteApakah ini adalah ... Si ... JRENGJENG ...
ReplyDelete