Saya menyukai suasana kapel. Bangku-bangku tua. Lantai batu yang kokoh. Beberapa pilar di sana-sini. Lalu ada patung Bunda Maria dan Yesus di kejauhan. Suara berbisik-bisik. Suara langkah kaki. Bunyi samar-samar organ—nyanyian di keheningan.
Di kapel sore menjelang malam itu berdiri sebuah pilar di depan podium. Dengan balutan kaos hitam dan rambut tergerai, ia berbicara persis di depan mic. Saya berpikir ia akan berbicara dengan lantang, ternyata tidak.
Ia sangat anggun.
Berbicara tentang siapakah saya? pertanyaan yang cukup menghenyakkan, paling tidak untuk saya yang malam itu di kursi yang paling belakang. Saya kira ini pertanyaan mendasar bagi setiap orang yang hadir pada malam itu.
Lalu, ia melanjutkan tentang bagaimana menjadi Katolik adalah kelompok minoritas dan apa resiko terlanjur menjadi seorang minoritas. Saya senang dibaptis ketika masih bayi, karena ketika dibaptis ketika bayi saya tidak perlu belajar—begitulah celotehnya.
Ia juga menyentil tentang bagaimana menjadi minoritas juga membawa kepada beberapa penganiyaan termasuk di dalamnya pembantaian jemaat Ahmadiyah, percecokan yang terjadi di Temanggung, sampai kepada penolakan pembangunan gereja GKI Yasmin di Bogor.
Kemudian setelah rentan penganiyaan, ia juga membeberkan resiko lain menjadi minoritas yaitu kita dapat menjadi garam dunia. Hal ini tercatat pada Alkitab khususnya pada Mat 5:13. Garam kan tidak perlu banyak-banyak, cukup sedikit saja. Dan belakangan saya mengetahui bahwa ini adalah ayat favoritnya setelah ayat favorit lainnya adalah yang mengenai Iman, pengharapan, dan kasih.
Lalu saya sampai dimana ini adalah moment favorit saya ketika ia menceritakan perihal warisan. Bagaimana segala penjelasan yang ada sampai pada suatu kesimpulan bahwa sebagai anak yang telah mendapatkan warisan, sudah sepatutnya untuk mewariskannya lagi kepada orang lain.
Pertanyaannya adalah bukan hanya berakhir pada siapa saya tetapi apa yang bisa saya lakukan setelah tahu bahwa saya terlanjur menjadi seorang Katolik. Ia mengakhiri penjelasan hampir empat puluh menit itu dengan menceritakan kisah temannya yang akhirnya memutuskan menjadi Pastor karena hanya tergerak melihat gelandangan yang berebutan makanan dengan anjing.
Tidak hanya berakhir ketika kita mengetahui siapakah saya? tetapi apa yang bisa saya lakukan dengan menjadi saya?
Belajar dari seorang pilar. Ia si parasit lajang. Yang suka sekali membayar pajak.
Mungkin itu yang saya lakukan pada malam itu. Saya rasa satu pilar untuk membangun gereja saja tidak akan cukup kuat. Ah, tentu saja gereja yang saya maksud di sini bukan bangunan. Satu pilar dua pilar tiga pilar yang lalu menguasai teknik mewariskan sedang dibutuhkan saat ini.
Lalu saya menyukai ide menjadi garam dunia. Ah, toh bentuk garam pun tidak pernah sempurna. Ia pecah-pecah. Tapi jangan pernah macam-macam dengan asinnya.
*ketika Ayu Utami menjadi pembicara di kapel Gema Aloysius, Rabu malam kemarin.
oke nih the...
ReplyDeletesuka deh ih
tp kenapa ada tas-ku yg kutitipkan padamu ujug2 dibawakan octa? hihi
bravo perempuan sore