Dua puluh satu April selain ulang tahun Ayah saya. Juga selalu menjadi jadwal tetap saya menjadi MC pada acara apapun yang mengaku memperingati hari Kartini. Seperti yang terjadi beberapa tahun belakangan ini, saya adalah langganan MC (baca: Em Ce :D) di gedung merdeka sehubungan dengan rangkaian ulang tahun Konperensi Asia Afrika juga.
Sedikit cerita, rangkaian acara tersebut selalu diadakan selama seminggu. Dan diisi dengan berbagai macam kegiatan—diskusi, talkshow, pameran foto, pemutaran film, tempat berkumpulnya komunitas Bandung, sampai kepada Asian African Woman and Youth Gathering.
Acara terakhir yang saya sebutkan jatuh pada tanggal dua puluh satu, dan ini adalah tahun kedua saya selalu ditunjuk menjadi MC pada acara ini. Pak Isman Pasha, selaku kepala Museum Konperensi Asia Afrika, adalah orang di belakang layar yang saya tahu punya semangat yang cukup tangguh untuk mengembalikan Museum kepada rakyat. Semangat ini perlu ditegaskan, karena Museum selama ini, selalu identik dengan milik pejabat.
Saya suka dengan semangat ini. Singkat cerita—Asian African Woman and Youth Gathering pun terselenggara. Ketika dikonfirmasi, saya langsung menyatakan bersedia. Ada sedikit catatan kecil dari paniti bahwa saya harus menggunakan baju daerah itupun kalau punya. Dengan catatan kalau saya tidak punya pun seharusnya itu bukan masalah.
Oke, seingat saya untuk kebaya saya memang hanya punya atasan. Tetapi kain atau bawahan, saya tidak punya. Kalau mau diusahakan pun masih sangat bisa—entah itu dijahit atau dipinjam. Tapi terlalu mepet juga. Jadi saya memutuskan untuk memakai kain batik biasa saja, dengan sepatu hak tinggi songket oranye andalan saya, kemudian aksesoris yang cukup lumayan. Dengan dandanan yang cukup lumayan juga. Saya tidak suka yang terlalu menor.
Acara berlangsung dengan khidmat. Banyak pagelaran kesenian. Juga diisi oleh beberapa pembicara yang cukup menarik dan antusiasme audiens yang hadir dikatakan senang. Teman-teman dari negara asing ikut menyumbang menari dengan iringan lagu manuk dadali, lalu menyanyikan lagu tentang persatuan. Itu adalah penampilan terakhir yang cukup membuat saya merinding sekaligus takjub melihat mereka.
Saya tidak menyangka bahwa mereka begitu antusias membawakan tarian daerah. Ada yang mengenakan kimono, baju daerah Zimbabwe, Timor Leste, Laos, dan beberapa lainnya yang saya tidak cukup kenal. Intinya kesatuan bukan dilihat dari keseragaman baju daerah yang kamu pakai, tapi dari berpegangan tangan dan menyatukan hatimu untuk menjunjung langit dimanapun kamu berada. Persoalan tidak sampai di situ—ketika selesai memandu acara tersebut saya mendapat beberapa ucapan terima kasih dari beberapa pihak penyelenggara yang cukup puas dengan acara yang saya bawakan.
Kemudian ada pula acara ramah tamah, di sekitar halaman Museum Konperensi Asia Afrika banyak sekali terdapat jajanan Bandung yang memang disediakan kepada para undangan untuk icip-icip sekaligus menikmati sore di sana.
Tiba-tiba gongnya adalah ketika saya hendak pulang, ada Ibu-Ibu yang samperin saya dan berbisik di kuping saya Mbak, ngemsi-nya bagus. Tapi lain kali mbok ya, pakai baju daerah biar nggak jomplang. Saya agak kaget juga, sedikit mengernyit ke Ibu tadi—kemudian saya mengeluarkan jurus jitu saya senyum yang paling lebar, sambil berbisik kepada diri sendiri santai, The. Bilang terima kasih saja..
Persis. Itu yang saya lakukan. Saya menatap Ibu tadi dengan senyum paling lebar yang saya punya dan bilang Terima kasih, Ibu. Iya, lain kali saya pakai baju daerah deh..
Bukan masalah jomplang dan tidaknya. Ini hanya stereotipe yang terlanjur terbangun di masyarakat bahwa hari Kartini identik dengan baju daerah sehingga lupa pada esensinya. Bagi saya, bukannya jasa Kartini tetap penting untuk dihargai—dan tidak akan bahas Kartini lebih lanjut.
Tapi lebih daripada itu harusnya kita sadar bahwa selama ini kita dibutakan oleh penyeragaman sikap dan respon kita kepada tanggal-tanggal tertentu. Momen tertentu. Kita lupa bahwa momen bisa diciptakan.
Menyatukan yang di dalam kadang lebih sulit daripada yang di dalam. Kenyataanya, seragam di luar, belum tentu seragam di dalam.
Ah, paling tidak saya boleh berbangga. Ibu tadi mengakui kualitas saya bukan dari apa yang saya pakai, betul?
Lalu pertanyaan saya, kenapa pula memakai baju daerah hanya pada hari Kartini. Harusnya ada peraturan pemerintah yang mulai menyadari hal ini, kemudian menetapkan memakai baju daerah pada hari tertentu dalam seminggu. Bukan hanya memakai batik.
Rada ribet. Tapi pasti seru, karena saya membayangkan pria-pria ganteng di luaran sana memakai koteka.
*pic by Yudi Suhairi.
Hai hai hai ... Theo kalau menurut pandangan ku even kau tidak menggenakan pakaian daerah lengkap, tapi atribut yang dipakai saat itu setidaknya memperlihatkan sebuah usaha untuk tetap mencirikan Indonesia.
ReplyDeletePemakaian batik ikat itu pun sudah mewakili perasaan seorang manusia terhadap sebuah pemikiran ciri kebangsaan.
Sesuai dengan perkembangan dimana trend batik dan kebaya tak lagi mengikuti alur2 tradisional. dalam kekini-an mereka diangkat sebagai sesuatu yang terlihat simpel namun tetap elegan.
Sinar itu akan tetap menempel pada sesorang ketika ia mengerti apa yang ia yakini tentang sesuatu yang hakiki bukan sekedar penghargaan karena sebuah keberadaan yang diikuti.
Dan hey Theo! Dirimu memang bersinar bukan :)
Salam
Belu (^_^)
I like this post. Semangat, The =)
ReplyDeleterespon yang sanagat apik atas pernyataan ibu tsb, kak :)
ReplyDeleteyou did great with your own way! satu kata terbaik yang menggambarkan kakak selain sexy atau cantik, adalah UNIK :D
kangen liat ka Theo ngemsi lagi,hehe..terakhir liat pas konser Glorify: Faith, Hope, and Love.
semangat buat tiap aktivitas kakak *hugs*
:)