Aku menunggu hujan.
Ia tak kunjung datang. Aku menengok kalender layu di dinding, yang tanggal-tanggalnya sudah kering dan berwarna kuning. Dengan hanya enam hari, Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Minggu. Ya, loncat Minggu. Sabtu raib.
Tak puas berdiri di rumah, aku keluar. Menengok ke langit. Hey, aku melihatnya. Aku melihat hujan nyumput di balik awan. Rambutnya tergerai panjang menusuk bulan. Bulan kesakitan. Tapi tak mengeluh.
Hey hujan, aku menunggumu. Bukankah kita akan menikah. Aku sudah beli gaun ungu. Aku sudah siapkan penghulu untuk ijabkabul kita. Ya, dan ini bulan Juni. Kau berjanji, akan menikahiku di bulan Juni.
Aku mengambil gaun ungu. Memakainya persis di bawah awan hitam. Membawa buket bunga di tangan. Kemudian duduk di bangku taman yang renta. Siapa tahu hujan akan datang, pikirku dalam hati.
Aku masih di sini, menunggu hujan.
Jauh di atas sana. Awan menangis, make-upnya luntur, berjalan di samping keranda.
Di pertengahan Juni, hujan mati.
16.06.2010; 15:01
Turut berduka cita, Theo ...
ReplyDeleteTampilan baru blospotnya ok. Fresh ... =)
Terima kasih Dea, hihihi.
ReplyDeleteKakak theo, ini hanya sajak atau kenyataan?
ReplyDelete