Dear Pa.
Terima kasih untuk obrolan singkatnya tadi siang. Saya bagi untuk teman-teman pembaca di sini ya. Hanya sebagian kok, tidak semuanya :D
“Kemarin Papa dengar Nona telpon Mama, tapi nggak mau bicara ah, kalau lagi bicara sama Mama.”
“Iya, abis telpon Papa, nggak diangkat-angkat.”
“Iya, abisnya Papa kadang suka nggak dengar kalau lagi ada bunyi telepon.”
“Hm, ya sudah nggak apa. Sehat Pa?”
“Sehat.”
“Lagi dimana ini?”
“Lagi di (salah satu kerabat) sedang sakit. Lagi doain mereka.”
Dari jaman, saya kecil sampai saya sudah sebesar ini. Papa selalu menjadi contoh paling baik untuk melayani orang lain. Selalu bersemangat mengunjungi orang sakit – mendoakan mereka. Jiwa melayaninya selalu besar. Jiwa membantunya selalu membuat saya terinspirasi.
“Tolong beli Papa sepatu sendal satu. Yang ini sudah mulai rusak-rusak nih.”
“Iya, mau yang model gimana?”
“Pilih saja yang bagus. Yang ini, Papa sudah pakai hampir 7 tahun dan belum pernah ganti.”
(Saya berkaca-kaca.)
“Iya, nanti cari di sini, sabar ya Pa. Mungkin minggu depan baru bisa dikirim.”
“Iya. Danke lai.”
Papa saya seorang konvensional. Setia. Hanya menggunakan sepatu, kemeja yang ia suka selama bertahun-tahun. Tidak pernah mengganti barang kalau memang tidak benar-benar rusak. Tidak pernah minta dibeli barang baru. Tidak pernah macam-macam. Bahkan kalau ada sesuatu yang rusak, diam-diam ia akan menabung lalu membelinya sendiri tanpa harus merepotkan anak-anaknya.
“Kenapa baru telepon sekarang?”
“Sorry Pa, kemarin hape rusak.”
“Hm, tapi janga lupa kirim kabar.”
“Iya.”
“Ingat: jaga diri baik-baik. Bawa diri baik-baik.”
(Selalu dan selalu. Ini nasihat favorit yang selalu saya dengar di telepon)
Lalu ada satu lagi, ini bisa dibilang kalimat penutup yang selalu buat saya berkaca-kaca kalau mendengarnya:
“Hidup itu harusnya jadi berkah untuk orang lain.”
Siang itu, saya berdiri persis di teras kamar kos saya. Bersama pria yang paling saya cintai dalam hidup saya. Bersama pria yang tidak pernah membuat saya sakit hati. Bersama pria yang selalu siap mencintai saya, kala tidak ada orang yang mau mencintai saya. Pria yang kualitas hatinya saya tahu betul, pria yang tidak akan pernah membuat saya berhenti jatuh cinta lagi dan lagi.
Pria yang suaranya, hanya bisa saya dengar dari telepon..
Kelak, anak-anak saya harus tahu bahwa mereka punya Opa yang luar biasa.
I Love you, Pa!
Theoooo ... gue kok jadi ikut sedih, ya, baca ini? Hiks ...
ReplyDeleteberkaca-kaca bacanya.Aku juga pernah merasakan menjadi seorang anak dari papa yang luar biasa, walau dia sekarang sudah kembali keharibaanNya. Membaca tulisan ini membuatku teringat papaku.
ReplyDelete