Lama sekali tidak ke Bioskop.
Oh, jangan ketawain saya. Film terakhir yang saya tonton di bioskop adalah The
Amazing of Spider Man. Yap, si sexy Peter Parker. Entah mengapa saya memang
bukan tipe yang rajin pergi ke bioskop.
Kalau berbicara soal menonton,
saya lebih suka pergi ke Kineruku dan menonton film-film yang diputar di sana.
Dan akhirnya menjawab kegelisahan diri saya sendiri untuk pergi menonton Life
of Pi.
Maka Senin malam saya pergi
menontonnya bersama seorang teman. Saya tidak akan memberikan spoiler kepadamu
tentang film Life of Pi. Saya hanya ingin menceritakan kepadamu. Bagaimana film
Life of Pi merefleksikan sesuatu kepada saya.
Dua tokoh utama dalam film itu
adalah Richard Parker (seekor macan Bengali) dan Pi. Terapung-apung di laut
selama berpuluh-puluh hari. Di film itu digambarkan bagaimana Pi bersusah payah
untuk menaklukan ketakutannya sendiri atas Richard Parker. Lalu bagaimana
mereka berdua bertahan melewati hari-hari yang sangat sulit di lautan. Hanya
berdua saja. Dengan semesta.
Di awal film ini Pi mengatakan
kepada penulis yang hendak mengisahkan ceritanya ke dalam buku bahwa: ceritanya
adalah perjalanan untuk menemukan Tuhan.
Dan coba tebak, apakah memang
Tuhan bisa ditemukan dalam ceritanya.
Oh, ada sesuatu yang
direfleksikan kepada saya seusai menonton film itu. Sepanjang angkot ketika
saya pulang. Saya terus menerus dihantui oleh sebuah statement yang diucapkan
oleh Pi,
All
of life is an act of letting go but what hurts the most is not taking a moment
to say goodbye.
...
What hurts the most is not taking a moment to say goodbye.
Pernyataan ini begitu
menghantui saya.
Saya melihat hubungan Richard
Parker dan Pi dalam film ini seperti hubungan laki-laki dan perempuan. Terserah
yang mana yang menjadi laki-laki dan yang mana yang menjadi perempuan. Tetapi
ini terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari. Ketika kita memilih atau (tidak
sengaja) dipilih untuk bersama seseorang. Setuju atau tidak setuju. Punya
intensitas yang cukup tinggi dengan orang tersebut. Suka maupun tidak suka.
Tetapi bersama.
Di dalam kebersamaan banyak hal
yang terjadi. Ada perasaan utuh ketika kita bersama seseorang. Dan ada yang
diambil ketika kita (tidak sengaja) berpisah atau dipisahkan dari orang
tersebut. Dan ini pun yang kemudian dialami oleh Pi, ketika Richard Parker
pergi dari dia tanpa sedikitpun menengok ke belakang bahkan hanya untuk
mengucapkan selamat tinggal.
Ah, Pi patah hati.
Sampai di sini saya berpikir
bahwa, persoalannya bukan ketika ditinggalkan atau meninggalkan. Persoalannya adalah
ketika hendak meninggalkan paling tidak kita dengan berani menatap mata
pasangan kita dan bilang "selamat tinggal."
Karena yang paling sakit adalah
ketika kita tidak berani bilang selamat tinggal.
Saya begitu masuk ke dalam
perasaan Pi sehingga saya tidak memikirkan perasaan Richard Parker. Oh Richard Parker
ternyata punya cara lain untuk bilang “selamat tinggal” ia berjalan ke arah
hutan dengan tubuhnya yang kurus, berhenti sejenak di ujung rumput sebelum
masuk ke hutan ... diam, baru kemudian berlari ke dalam hutan.
Ia memang tidak menengok ke
arah Pi. Ia hanya diam. Dan itu adalah caranya mengucapkan “selamat tinggal.”
Oh yang ini lain pembahasan, tapi saya mau bilang bahwa saya menemukan Tuhan dalam film ini.
Tuhan menjelma menjadi seekor
macan. Richard Parker namanya. DIA tidak membiarkan Pi sendirian di tengah
lautan lepas itu. DIA tidak melihat Pi dari jauh. DIA melihat Pi dari dekat. Bahkan
sangat dekat.
Doubt
is useful, it keeps faith a living thing. Afterall, you cannot know the
strength of your faith until it is tested.
Kadang kita seperti ragu, dan merasa ditinggalkan. Tuhan seperti mengucapkan "selamat tinggal" Padahal kita tidak pernah tahu, Tuhan bisa begitu dekat. Sangat dekat.