Ada bekas lipstik di cangkirmu.
“Bekas siapa?” tanya saya.
Kamu tidak menjawab pertanyaan saya. Matamu menerawang jauh. Menyulut rokok dalam-dalam. Dan mengetukkan jari-jarimu ke meja yang ada di depan. Kamu masih diam. Banyak sekali pertanyaan di kepala saya saat ini yang ingin saya tanyakan. Tetapi saya tahan.
“Saya berniat untuk tinggal di
Ubud. Mungkin beberapa bulan. Saya butuh sendiri.” kata saya kemudian memecah
keheningan kami. Kali ini akhirnya kamu mengangkat muka dan menatap saya.
“Untuk apa ke Ubud?” akhirnya
itu yang keluar dari mulut kamu. Lalu melanjutkan menyulut rokokmu semakin dalam. Ada
perih sekilas dari matamu. Pertanyaan itu akhirnya membuat saya terdiam. Saya
sendiri tidak berani menjawab.
“Saya
ingin meninggalkanmu. Saya ingin kamu bahagia.”
Ingin sekali saya menjawab begitu. Tapi saya tahan. Karena jawaban itu seperti membunuh diri saya sendiri.
Membunuh rasa cinta yang telah saya simpan sudah berapa lama. Entah. Seharusnya
saya jujur saja. Seharusnya saya mengatakan perasaan saya yang sebenarnya.
Bahwa hubungan kita ini seharusnya sudah lebih dari sekedar berteman dan tidur bersama.
Hubungan macam apa ini?
Hubungan macam apa ini?
Saya menatap matanya lagi.
Berharap saya berani mengungkapkan yang sebenarnya.
“Saya
sayang sama kamu. Saya sebenarnya tidak ingin ke Ubud. Saya ingin di sini saja.
Menemani kamu menyelesaikan pameran gila kamu itu. Dan setelah itu kita
merencanakan pernikahan kita. Saya ingin kejelasan. Saya ingin punya pasangan.
Sahabat sekaligus teman tidur yang menyenangkan. Dan itu adalah kamu.”
Tapi tidak. Bukan
kalimat-kalimat itu yang keluar.
“Ubud itu mimpi saya. Sudah
lama saya ingin dan harus ke sana. Karena galeri ayah sudah harus ada yang
mengurusinya. Saya sudah menunda ini terlalu lama.”
Kamu masih menatap saya.
Tatapanmu seakan meminta penjelasan lebih lanjut. Tapi saya sendiri gagu.
Tidak bisa meneruskan kata-kata saya. Saya memutar mata melihat sudut ruangan.
Letak tempat tidur yang masih sama. Buku-buku yang berantakan pada karpet di
bawahnya. Asbak dengan puntung rokok yang tergeletak begitu saja. Ruangan ini
tampak sudah lama tidak dibersihkan. Lalu pada pojok tempat tidur sebelah kiri,
seonggok lingerie tergeletak.
“Punya istri saya. Hm, maksud
saya mantan. Semalam ia mampir.” katamu kemudian. Seperti menjawab pertanyaan
yang tiba-tiba muncul di kepala saya.
DEG! seperti ada yang luruh dalam hati saya.
Kebohongan apa lagi ini. Saya bahkan tidak tahu bahwa selama ini kamu punya istri. Bahkan mantan istri.
OH TIDAK! ingin rasanya saya berteriak kencang-kencang.
Kebohongan apa lagi ini. Saya bahkan tidak tahu bahwa selama ini kamu punya istri. Bahkan mantan istri.
OH TIDAK! ingin rasanya saya berteriak kencang-kencang.
“Oh, kamu tidak pernah bilang
bahwa kamu punya is..” kata-kata saya terpotong ketika melihat seorang
anak kecil, dengan rambut acak-acakan seperti baru bangun tidur kini berdiri di
depan pintu. Tidak jauh dari meja tempat kita berdua duduk.
“Papa..”