The
best teachers teach from the heart, not from the book. ~Author Unknown
Hari guru baru lewat beberapa
hari yang lalu. Tapi saya ingin menulis tentang dua orang guru yang memberikan
inspirasi banyak kepada saya ketika saya masih bersekolah di SMA Negeri I
Ambon. Sekolah idaman, begitulah sebutannya ketika jaman itu. Saya bukan
termasuk murid yang pintar-pintar amat di sekolah. Malah dalam beberapa hal,
terbilang murid yang bandel. Pernah dikeluarkan ketika mata pelajaran
Matematika, karena sengaja datang terlambat. Tukang ribut ketika ada beberapa
pelajaran berlangsung. Seperti anak-anak keren lainnya, saya juga pernah bolos
dengan alasan segala rupa, menstruasi lah, beli obat ke depan lah—dan tidak
kembali lagi. Selain itu kebandelan saya yang lain adalah sering sekali membuat
teman saya menangis—yang ini urusannya karena iseng saja.
Tapi kebandelan itu semacam
berhenti ketika saya menemukan dua guru ini. Mereka tidak hanya guru, tetapi
bagi saya mereka adalah pendidik. My muse.
Oli Mustamu, ia guru Bahasa Jerman ketika saya sekolah dulu. Sekaligus wali
kelas ketika saya ada di kelas 3 SMA. Mendampingi kami dengan setia ketika Ambon
sedang rusuh-rusuhnya pada masa itu (awal 1999). Ia sosok yang lembut dan
elegan. Cara berpakaiannya sederhana sekali dengan kacamata dan lipstik
tipis-tipis warna bibir. Rambutnya selalu digerai kebelakang. Kecantikannya
justru ada di dalam kesederhanaannya. Suaranya begitu lembut dan merdu. Ketika
menjadi wali kelas utuk kami murid kelas 3 pada saat itu, ia selalu sabar
mendampingi kami. Pada saat pelajaran tambahan di kelas, ia berdoa di depan
kelas, dan selalu mendukung setiap kami dengan kata-katanya yang mendorong.
Saya yang bandel ini, selalu melihat Ibu Oli bukan sebagai guru. Ia seperti ibu.
Memperlakukan setiap kami seperti anak-anaknya. Memperhatikan setiap detail
kebutuhan kami di kelas. Di dalam hati, saya ingin sekali sepertinya.
Yang kedua adalah Risnawati
Tarabubun. Kami biasa memanggilnya dengan sebutan Ibu Risna. Sosok yang
fashionable. Ia punya selera berpakaian yang bagus. Dengan rok mini sedikit di
bawah lutut, blues longgar, sepatu hak tinggi, lipstik merah. Rambut rapih,
kadang diikat dan kadang digerai. Dengan bentuk muka runcing dan bibir tipis. Ia
sosok yang ayu. Mengajar Bahasa Indonesia. Dan bagi saya ia adalah sosok public speaker yang baik. Oh ya, selain
itu Ibu Risna juga adalah seorang presenter TV lokal Ambon waktu itu. Jadi
mungkin pembawaannya sebagai presenter membuatnya menjadi sosok yang sangat
bersahaja dan ramah ketika sedang ada di luar. Di dalam hati saya mengagumi,
Ibu Risna. Dan kelak saya ingin sekali sepertinya.
Kenangan tentang dua guru tadi
begitu kuat di kepala saya hingga kini. Walaupun saya tidak pernah punya
cita-cita sebagai guru suatu hari nanti. Namun saya punya satu keinginan
terpendam yaitu, suatu ketika saya ingin sekali memiliki kelas public speaking
saya sendiri. Public speaking adalah dunia yang saya sedang geluti sekarang.
Saya telah memulai kelas public speaking angkatan pertama saya di Tobucil. Dan
akan melanjutkan angkatan kedua saya di tahun depan.
Dan ternyata saya senang sekali
mengajar. Hal ini saya rasakan ketika saya mengajar dan berbagi sesuatu ada
kepuasan dan kebahagiaan tertentu yang tidak bisa saya jelaskan dengan
kata-kata. Saya belum percaya bahwa saya adalah seorang pengajar yang baik,
sampai ketika Suwan, seorang murid saya yang tidak lagi muda, berkata begini di
akhir pertemuan kami: Anda sangat
berbakat menjadi pengajar. Saya bisa rasa itu.
Saya berkaca-kaca ketika ia
mengucapkan ini.
Saya belum sampai di sana,
Suwan. Tapi kelak saya ingin. Ketika menulis ini, ada rasa bangga yang begitu
kuat di dalam benak saya untuk memperkenalkan kedua guru diatas tidak hanya
sebagai guru. Tapi mereka adalah pendidik, ibu, dan inspirasi. Semoga kelak
saya juga bisa seperti mereka.
Selamat hari guru :)
wowww, pengajar juga kak? *aku manggilnya apa ya, kak theo, kah..?
ReplyDeleteaku boleh tau, siaran di radio apa?