Membaca buku “Merapi
Omahku” yang ditulis oleh Elizabeth D. Inandiak dan Heri Dono membuat saya
ingin mengenal sosok Mbah Marijan. Buku ini menulis tentang mitos di sekitar
gunung merapi. Dan hubungan yang terjadi antara manusia dan alam. Saya membaca
buku ini dalam perjalanan saya ketika naik damri, alasannya: buku ini tipis.
Ringan untuk dibawa kemana-mana. Dan saya suka ilustrasinya.
Elizabeth menulis tentang sosok
Mbah Marijan atau Simbah. Membuat saya penasaran. Saya hanya mengenal Simbah
dari iklan minuman penambah tenaga yang saya lihat di tivi. Sosok yang
bersahaja menurut saya. Tapi ketika membaca buku ini yang ingin saya tanyakan
kepada Simbah adalah “apa itu kepercayaan?” dan “apa itu keyakinan?”
Rese juga ketika berpikir
bahwa, kalau nantinya saya bisa mengobrol dengan Simbah saya harus menggunakan
bahasa Jawa. Lalu saya mulai menghayal, saya datang ke Kinahrejo, minum teh kental manis dengannya. Simbah akan bercerita
kepada saya seperti seorang kakek kepada cucunya. Beliau akan mendongeng
tentang mitos yang terjadi di sekitar gunung Merapi. Dimulai dari kisah Barata,
manusia yang pernah menjadi pemburu di sekitar gunung Merapi, yang kemudian
bersahabat dengan seekor gajah. Kemudian si gajah itu sendiri dimantrai-nya
hingga menjadi sebuah pohon. Kemudian kita kenal dengan Pohon Beringin Putih. Lalu Simbah juga akan bercerita kepada saya tentang makhluk-makhluk yang tak kasat mata yang hidup
di dalam perut gunung Merapi.
Saya masih menghayal, ketika tiba-tiba
di depan saya kini muncul sosok itu ...
“Mungkin, kamu harus belajar
melihat mengunakan mata batin kamu, The.” Kata-kata itu keluar dari mulut
Simbah begitu saja.
“Maksudnya, mata batin Mbah?”
saya bertanya dengan muka bingung.
“Kamu harus punya keyakinan
diluar kepercayaan kamu. Ini tidak bicara soal Agama atau siapapun yang kamu percaya.
Hanya saja meyakini sesuatu, tidak harus sejalan dengan apa yang kamu percaya.
Keyakinan selalu bicara tentang soal yang lebih dalam.”
“Oh.” Hanya itu yang keluar dari mulut saya. Sambil masih
mencerna semua kata-katanya.
“Saya percaya kepada Tuhan, Sri
Sultan, dan Gunung Merapi. Tuhan yang paling pertama dan utama. Lalu kemudian
saya meyakini, apapun juga yang diciptakan oleh Tuhan. Yang diciptakan akan
kembali. Saya meyakini itu. Termasuk
saat ini, saya kembali kepada-Nya.” Ia tidak melanjutkan kata-katanya.
Ia lalu pergi. Menghilang
begitu saja. Meninggalkan saya yang bingung dengan pertemuan singkat itu.
Betul kan, ia seperti kakek. Saya bahkan tak sempat mencium tangannya. Dan ini mungkin bukan kesimpulan: kepercayaan diciptakan. Sedangkan keyakinan tidak. Begitu?
Ah Simbah, semoga tenang di alam
sana.
*saya selalu tertarik dengan
Jawa, keragaman mitosnya. Toh, kamu tidak perlu meyakininya juga. Bagi saya
mitos tentang Jawa, ada atau tidak ada. Selalu menarik. Selalu hidup.
Saya berdarah Jawa, Theo (mencoba untuk memanggilmu dengan akrab :D maaf apabila lancang).
ReplyDeleteSaya sendiri tidak begitu tahu tentang mitos2 di suku yang darahnya mengalir di tubuh saya. Ketika kamu bilang, kamu tertarik dengan Jawa dan mitos2nya, saya merasa seperti ditelanjangi.
Tapi, Jawa memang kaya dengan mitos dan ragam budayanya. Sampai saya berakhir dengan ketidak mengertian saya. Dan kadang, memang semuanya tidak harus dimengerti. "Pake mata bathin," mungkin begitu kata Simbah.
Ah, saya juga suka Jawa. Karena itu selalu di Jawa. :D
ReplyDeletebuku ini masih beredar kah?penasaran ingin membaca ceritanya.saya sangat tertarik dengan ilustrasi, sesuai bidang pekerjaan saya.
ReplyDelete