Rumah bagi saya, bukan hanya tempat tinggal. Rumah bagi saya adalah buku cerita. Saya selalu membayangkan rumah itu seperti halaman-halaman buku kosong, yang dapat diisi oleh siapapun saja yang pernah menyinggahinya. Siapapun, kapanpun yang pernah singgah, pasti meninggalkan sesuatu dan cerita.
Saya pribadi sangat concern dengan tempat tinggal, bukan bersama siapa saya tinggal. Karena bagi saya tempat tinggal adalah representasi kehadiran. Kehadiran saya di tempat itu, dari manapun saya berasal, akan menjadi sejarah. Sedangkan tinggal bersama siapapun, itu bukanlah masalah, toh masalah berhubungan dengan orang lain, itu masalah seumur hidupmu bukan?
Sejak kecil saya beberapa kali menikmati rumah dengan kondisi yang berbeda. Rumah pertama adalah rumah tua (rumah keluarga) kami, ini adalah rumah peninggalan Opa saya dimana saya dan keluarga besar (Oma, Oom, Tante, para sepupu) kami tinggal. Rumah kedua adalah rumah Tante (adik Papa) saya, dimana saya biasa dititipkan ketika orangtua saya harus bertugas keluar kota. Rumah ketiga adalah rumah dinas pertama ketika orang tua saya bertugas pertama kalinya di Ambon. Dan rumah terakhir adalah rumah dinas kedua, yang terakhir kali kami tinggali sebelum akhirnya hancur akibat kerusuhan yang melanda Ambon di tahun 1999.
Sebelum merantau ke Jawa, saya dan keluarga untuk sementara waktu menumpang di rumah tua keluarga kami dan akhirnya sekarang orang tua saya telah menempati rumah mereka sendiri di daerah perbukitan di daerah Ambon, dengan pemandangan kota dan laut dari depan teras rumah.
Saya sendiri melanglangbuana dari kos yang satu ke kos yang lain. Dimulai dari kota Jogjakarta dan Bandung. Saya sangat menikmati tinggal bersama orang lain, juga sangat menikmati tiap tempat yang pernah saya tinggali selama di Bandung. Saya mulai menyukai rumah tua. Saya menyukai kesan sepi yang biasanya ada di setiap rumah tua. Dan entah mengapa saya percaya bahwa setiap rumah tua akan bercerita kepada saya, mereka senang didengarkan. Dan itulah yang saya lakukan, saya senang sekali mendengarkan mereka.
Saya tipe setia. Selama ngekos di Bandung, saya hanya baru tiga kali pindah. Itupun setelah tinggal hampir tiga tahun, begitupun dengan kos yang sekarang (sebentar lagi saya akan pindah) ini juga telah memasuki tahun ketiga. Kos terakhir saya ini, saya dapatkan dengan perjuangan. Perjuangan mengeceng dan menunggu. Ini kos yang pertama kali membuat saya jatuh cinta. Sedikit gambaran, kos ini adalah paviliun rumah tua, pintu dan jendela besar, dengan teras belakang dan halaman yang cukup luas. Kamarnya sendiri tidak cukup besar, tapi lumayan menampung barang-barang saya yang kebanyakan baju dan buku.
Saya betah, saya kreatif, saya banyak menulis di kos ini. Bukan hanya itu, banyak kenangan yang ada di setiap sudutnya, yang membuat saya seperti agak berat kalau harus meninggalkannya. Ada keterikatan yang tidak terlihat, yang sudah terbangun diantara kami. Pagi ini saya mencuci baju dan menjemurnya di halaman, ada teras, kursi-kursi tua, dan rerumputan. Entahlah, mereka juga sepertinya sedih sekali karena sebentar lagi saya akan meninggalkan mereka.
Mencari kos baru, sulit. Saya pemilih. Saya betul-betul memiliki kriteria khusus untuk tempat tinggal saya. Kalau ditanya standarnya seperti apa: ya, paling tidak seperti kos yang sebelumnya. Banyak teman saya yang mulai menyerah, karena untuk selera saya yang satu ini, mereka tidak bisa memenuhinya.
Kemarin, saya sengaja menyusuri daerah Jalan Aceh dan sekitarnya (Lombok, Patra Komala, Manado, Tongkeng, Sabang, Pulo Laut, Cihapit) tapi beberapa diantaranya penuh. Saya merasa, untuk mencari tempat tinggal, saya harus jalan sendiri, masuk satu-satu, mencium bau rumahnya, dan mengintip apa di dalam rumah yang akan saya tinggali itu ada teras dan halaman kecilnya atau tidak.
Beberapa waktu lalu saya juga sempat mengumumkan di status facebook saya, dibutuhkan kos baru daerah dago dan sekitarnya, rumah tua dengan jendela dan pintu yang besar, tidak di gang kecil, sirkulasi udara bagus, dan ini yang paling penting: harus ada teras belakang dan halamannya sedikit.
Ketika saya menulis ini, saya menyadari satu hal. Ternyata bukan rumah tua saja yang membuat saya tergila-gila, tetapi teras dan halaman. Teras untuk duduk-duduk, ngopi dan menulis dengan pemandangan halaman yang penuh rumput hijau. Alasannya, mereka menyembuhkan.
Ya, itu sudah semacam obsesi. Saya tidak perlu rumah besar. Cukup rumah mungil dengan teras dan halaman. Karena saya suka duduk-duduk di sana, mendengarkan ia bercerita, kemudian saya menuliskannya kembali.
(hei, ada yang mau menghadiahkan saya rumah ketika ulang tahun nanti? Atau bagaimana kalau pesta kebun? :-p)
dear teras belakang, sampai bertemu lagi :)