Kali ini aku banyak melamun. Tidak ada tulisan yang berarti. Tidak ada puisi sama sekali. Hanya aku ditemani dengan puntung-puntung rokok, yang mulai berserakan dimana-mana. Ah, ruangan ini sudah mulai jorok. Kau pasti tidak akan suka.
Apa yang hendak kukatakan, kalau kau pulang nanti dan mendapati aku seperti ini, kau pasti akan marah besar. Sementara aku menulis ini, gerimis mulai tua di luar, tetesannya pun tinggal satu-satu.
Aku merogoh satu dari tumpukan buku-buku yang ada, dan aku melihat ada kamus besar. Ah, ini dia yang aku cari, pikirku dalam hati. Mataku langsung meneliti dengan cepat, inisial huruf R untuk kata rindu.
Mataku terus membaca definisi yang satu ke definisi yang lain, tidak ada yang keren. Kamus ini terlalu kaku. Aku menutup kamus, dan kembali menghisap batang rokokku yang hampir habis dalam-dalam.
kuhisap rindu hambar
dari ujung yang satu
dan kubiarkan gelisahku terbakar
dari ujung yang lain
dari ujung yang satu
dan kubiarkan gelisahku terbakar
dari ujung yang lain
Demikian aku menulis. Terserah kau mau menilai itu seperti apa. Bagiku itu bukan puisi. Itu hanya sebatang rokok yang kini hampir habis diantara ke dua jemariku.
menunggu ini sudah terendap lama
asapnya hendak kuhembuskan saja
supaya ia berlari lupa
bahwa cinta ini pernah luka
asapnya hendak kuhembuskan saja
supaya ia berlari lupa
bahwa cinta ini pernah luka
Aku berhenti menulis. Mataku berair, aku betul-betul tidak bermaksud untuk menulis sesuatu yang pahit sebenarnya. Tapi, ya sudahlah, aku ini hanya penulis amatiran. Toh, kau juga tidak tertarik untuk membaca tulisan-tulisanku. Apalagi puisi, kau sama sekali tidak mengerti puisi.
kekasih, adakah kau tahu
bahwa rindu itu hanya milik mereka yang kesepian
kelak ia akan menuju asbak
menjadi abu
bahwa rindu itu hanya milik mereka yang kesepian
kelak ia akan menuju asbak
menjadi abu
Aku rasa cukup untuk hari ini. Aku bersihkan puntung-puntung rokokku. Kurapihkan kembali buku-buku yang tadi berserakan di lantai.
Dan menunggumu. Menunggu kau yang tidak pernah pulang.
"kuhisap rindu hambar
ReplyDeletedari ujung yang satu
dan kubiarkan gelisahku terbakar
dari ujung yang lain"
Bagus, The analoginya ...
Perfecto!
ReplyDelete