foto oleh elan budikusumah
Minggu sore (26/11) di Mr. Guan Coffee & Books, Theoresia Rumthe meluncurkan bukunya, "Perempuan Sore." Peluncuran buku itu diawali dengan workshop "Cara-Cara Tidak Kreatif Untuk Menulis Puisi" yang diikuti belasan peserta. Kurang lebih satu jam, Theo mengajak mereka bermain-main dengan kata; mengubah pesan whatsapp menjadi puisi, mengubah aroma dan tekstur biji kopi menjadi puisi, termasuk "mencuri" judul-judul buku untuk membuat puisi.
Dari ruang workshop, bersamaan dengan sore yang tumpah di jendela-jendela tua, kehangatan acara hari itu berpindah ke ruang utama Mr. Guan Coffee & Books. Di situ, percakapan santai seputar penerbitan buku pada penerbit indie dimulai. Mas Ardi dari Bookslife berbagi pengalamannya mengelola penerbitan buku secara online dan offline. Sementara Vinca Callista bercerita tentang pengalaman menerbitkan bukunya, "Travel Mates," secara online di Bookslife yang dikelola oleh suami-istri Ardianto Agung Santoso dan Dewi Fita Suryani.
Sebelum dicetak oleh Penerbit Rak Buku yang dikelola juga oleh suami-istri yang akrab disapa mas Ardi dan mbak Tata, buku "Perempuan Sore" sendiri pernah diterbitkan secara online di Bookslife. Buku Perempuan Sore berisi 26 catatan harian pilihan yang merekam cerita-cerita yang beragam, kecil, dan biasa. Theoresia Rumthe, penulis buku ini, bercerita tentang kata cukup, terima kasih, berbagi, superhero, jalan kaki, waktu, dan sejumlah hal lain. Kadang hal-hal yang terlalu biasa sehingga pembaca barangkali akan dikagetkan dengan apa yang bisa mereka temukan dalam catatan Theo tentang hal-hal yang terlalu biasa itu.
Cerita-cerita tentang hal-hal yang sudah sangat familiar itu, dalam catatan Theo, ternyata menampakkan diri sebagai yang memiliki pengaruh besar bagi manusia sebagaimana dirasakan Theo sendiri. Memang apa-apa yang sudah biasa, kadang tidak disadari kekuatannya. Catatan-catatan harian Theo dalam buku "Perempuan Sore" kembali mengajak pembaca untuk menandainya dengan sadar.
Dalam bincang santai dari sore hingga malam itu, Theo bilang, "Buku 'Perempuan Sore' adalah sebagian dirinya yang sejak malam itu bisa dibawa pulang oleh pembaca." Sebagai sebuah buku, "Perempuan Sore" sudah rampung. Tetapi sebagai yang berasal catatan-catatan harian, "Perempuan Sore" selalu harus dibaca sebagai yang belum selesai.
Lagu-lagu folk yang disuguhkan Jon Kastella, Yudhaswara, dan Ihsan memenuhi ruangan dengan nada-nada yang renyah untuk dinikmati. Di dalam jeda lagu-lagu folk itu, Putri Khansa Elgabi, Teti Diana, Navida Suryadilaga, Wanggi Hoed, dan Kennya Rinonce membagikan kepada pendengar puisi-puisi dari catatan-catatan pribadi mereka.
Malam yang hangat dan menyenangkan. "Menggetarkan," kata Liyo Buna menutup acara peluncuran buku "Perempuan Sore" malam itu.