Membaca tulisan Taufiq Rahman di Jakartabeat.net, mengubah pemahaman saya dalam beberapa hal tentang memasuki usia 30. Ya, saya sebentar lagi akan memasuki usia 30. Tetapi belum, masih ada beberapa bulan lagi.
Saya
yang di tahun ini sedang berencana untuk melakukan banyak hal. Saya yang tidak
berhenti bermimpi. Saya yang kini setiap bangun pagi berpikir bahwa saya bisa
melakukan banyak hal untuk banyak orang di luar sana. Saya seorang impulsive,
yang menyenangi hal-hal yang kebalikan dari orang-orang sesusia saya. Dan saya
masih tetap naik angkot dan pergi makan di warteg.
Saya
juga memuji kebiasaan mengopi perlahan. Dan merenung dalam-dalam. Jika
mengamati kebiasaan orang-orang di sekitarmu, saya bahkan melihat bahwa
kecenderungan orang-orang yang begitu aktif di social media seperti twitter dan
facebook. Hanya untuk memamerkan sesuatu. Kita gampang mengadili orang lain.
Dan kita gampang sekali berkata-kata kasar terhadap orang lain.
Social
media seperti membuat saya dan kamu memiliki dua kepribadian. Kita menjadi
sangat ramah ketika bertemu dengan boss di kantor. Dan memaki-maki boss kita di
status yang kita buat (twitter, facebook, bbm.)
Atau
dengan akun-akun fiktif yang kita buat, kita seperti menjadi orang lain.
Menjual seksualitas/porno sebagai sesuatu yang sangat santai untuk dilakukan.
Ketika menulis ini saya sama sekali tidak bermaksud untuk menyinggung soal
moral. Tetapi saya menyinggung value saya dan kamu ketika diciptakan sebagai
manusia.
Manusia-manusia
digital. Yang lupa akan hal-hal sederhana. Termasuk lupa pada bagaimana
menertawakan diri sendiri. Juga lupa akan keindahan titik-titik hujan di
jendela.
Saya
dan kamu, terlalu sibuk untuk mengejar sesuatu yang sifatnya fana dan dangkal.
Dan kita lupa bahwa, di dalam diri kita ada nilai kekekalan.
Beberapa
waktu ke belakang, ketika pergi makan malam dengan beberapa teman, saya
menerapkan rules: no handphone while
dinner. Dan aturan itu dilanjutkan dengan, mari kita mencari topik-topik
sederhana yang akan kita obrolin ketika makan malam. Belum berjalan seutuhnya,
karena beberapa teman saya masih gatal untuk mengecek handphone mereka.
Ketika
hampir tiga minggu, saya menghabiskan waktu saya Liburan Natal bersama keluarga
saya di rumah. Saya begitu bangga, karena saya bisa menghabiskan banyak waktu
saya untuk mengobrol dengan ayah saya. Kami bahkan berdiskusi tentang banyak
hal. Tidak ada handphone. Hanya mengobrol.
Dan
ketika kembali ke Bandung, saya menjadi orang yang kosong lagi. Ketika waktu-waktu
saya banyak dihabiskan di social media tanpa esensi. Sebaiknya kita pikir-pikir
lagi esensi kehidupan kita, sebelum segala sesuatunya menjadi terlambat.
Dalam
hal ini, saya setuju dengan tulisan Taufiq Rahman yang mengatakan: Bagaimana jika
pilihan untuk generasi 30-an sekarang adalah untuk berjalan lebih pelan. Bangun
siang, membaca buku lebih sering, menikmati musik dan lebih banyak berdiam dan
berpikir.
No cell phone while dinner is great....
ReplyDeleteIstri saya selalu menerapkan hal itu di rumah...
thanks for sharing....
nice post mbak! di era globalisasi kayak gini semua orang pada butuh hape, netbook, socmed dsb. katanya kalo nggak punya dianggap gak G.A.H.O.L :P
ReplyDeletebanyak sih sisi positif yang bisa kita ambil, tapi kadang2 socmed bisa bikin anti-sosial.