Suatu malam saya pernah membombardir twitter dengan tweet-tweet saya tentang Ayah. Entahlah tapi saya selalu bangga melakukannya. Saya selalu bangga menulis sesuatu tentang Ayah. Saya adalah anak perempuan yang beruntung punya kebanggan itu. Ayah adalah inspirasi besar saya. Dalam melakukan apapun, ia adalah orang pertama yang saya contoh.
Ketika pulang liburan selama
tiga minggu di rumah. Saya punya waktu mengobrol dengannya. Kami mengobrol
banyak. Kami berdiskusi tentang banyak hal. Kami berbicara seperti rekan. Saya
dengan ide-ide saya. Dan Ayah dengan masukan-masukannya. Termasuk rencana besar
saya untuk membuat perpustakaan dan punya sebuah “pelatihan kreatif” yang bisa
pergi ke daerah-daerah dan berbagi tentang mimpi dan bagaimana menghidupi mimpi
itu.
Ayah selalu menyambut baik
ide-ide saya. Ia seperti percaya sepenuh penuhnya kepada saya, anak
perempuannya yang padat akan mimpi ini. Ia seperti memberikan ruang kepada saya
untuk bisa “melakukan apa saja yang saya mau.” Dan ketika berdiskusi dengannya,
saya tidak pernah merasa bahwa saya adalah anak kecil atau anak kemarin sore.
Melainkan kami adalah teman bicara yang seimbang.
Satu hal yang membuat saya
bersyukur juga adalah: rumah adalah tempat berdiskusi yang menyenangkan. Ketika
kami belajar menerima kritikan tanpa tersinggung dan belajar untuk saling
memberi masukan. Malam terakhir ketika saya dan kakak saya akan kembali ke
Jakarta di keesokan harinya, Ayah menasihati kami untuk: hiduplah dan saling membantu orang lain. Hiduplah dan saling tolong menolong
orang lain.
Nasihat sederhana, tapi begitu
terngiang-ngiang. Saya pikir bukankah itu esensi hidup seorang manusia. Ayah
saya tidak sempurna. Tapi entahlah—saya merasa hidup saya begitu sempurna
ketika pertama kali saya belajar bicara dan memanggil ia, “Papa.”
ayah emang luar biasa..
ReplyDeleteahh... "terharu"
ReplyDeletejadi ingat ayah :')
ReplyDeleteKak theo, tulisannya selalu berhasil menyentuh hati :)
ReplyDelete