: “Inspirasi
hilang ketika gue memutuskan untuk tidak—lagi—jatuh—cinta.”
Friday, September 30, 2011
Pertanyaan.
Jatuh
cinta tanpa getaran itu seperti?
Tak ada jawaban yang keluar
dari mulut kamu.
Kamu diam saja ditanya begitu. Malah kali ini kamu memandang keluar jendela—jauh ke arah gerimis tipis yang belum habis. Saya persis di sampingmu. Setelan andalan saya, sweter kamu, walaupun kebesaran di badan kurus saya. Tapi saya suka.
Saya masih tidak mengerti jalan
pikiranmu. Karena menjalani segala sesuatu tanpa “getaran” itu sulit. Saya akan
menjadi orang yang paling penakut. Saya tidak bisa maksimal—mencintai apapun
yang saya lakukan tanpa ada getaran.
Mencintai kamu—lalu akan
menjadi penakut. Jelas saya tidak mau.
Karena ketika saya mencari getaran itu. Ia sembunyi. Saya
tidak menemukannya. Bukankah itu bisa menjadi sebuah alasan kelak untuk sebuah
perpisahan.
Tentu saja saya tidak menginginkannya.
Kamu masih diam.
Saya lalu memelukmu dari belakang. Kamu memalingkan wajahmu dan kini kita saling melihat—saya menatap matamu yang dalam. Mencari getaran itu di sana. Siapa tahu selama ini kamu menyembunyikan getaran itu di sana.
Saya lalu memelukmu dari belakang. Kamu memalingkan wajahmu dan kini kita saling melihat—saya menatap matamu yang dalam. Mencari getaran itu di sana. Siapa tahu selama ini kamu menyembunyikan getaran itu di sana.
....
Belum ketemu.
Atau lebih tepatnya—tidak ketemu.
Dago
349. 30 Sept 2011. 00:55—ketika yang tersisa hanya susu coklat.
Wednesday, September 21, 2011
Arok Dedes
Saya suka dengan cara Pramoedya
Ananta Toer menggambarkan Dedes dalam buku ini. Bukan berarti Arok dan tokoh
lainnya tidak penting. Tapi seorang Pramoedya berhasil merasuk emosi saya
sebagai seorang perempuan untuk lebih paham apa arti cinta yang terbelah
menjadi dua sekaligus patah hati.
Dedes terkenal akan
kecantikannya. Menurut cerita bahkan di seantero muka bumi kerajaan Tumapel dan
Kediri-pun. Tidak ada yang secantik Dedes. Dedes atau juga yang mendapat gelar Ken oleh Yang Suci Belangkangka. Dan
semua orang yang mengenalnya memiliki kisah cinta yang unik. Ia yang diculik
oleh Tunggul Ametung dan dinikahi secara paksa—kemudian dijadikan sebagai
Paramesywari di kerajaan Tumapel mendampingi Tunggul Ametung sebagai Akuwu pada
zaman itu.
Pernikahan yang tidak dilandasi
dengan cinta tersebut kemudian tidak berhasil dengan rukun. Dedes tumbuh
menjadi seorang perempuan yang hanya menjalankan perintah suaminya sebagai
formalitas. Ia menjalankan kehidupannya sebagai Paramesywari di Tumapel dengan
titah dan kekuasaan yang ia miliki. Kapan saja ia menurunkan titah maka semua
akan menjalankannya.
Tak ada cinta kepada Tunggul
Ametung. Dedes hanya kebetulan dipilih. Semacam ada kehidupan yang digariskan
kepadanya oleh Jagad Dewa—kekuasaan tertinggi untuk di kemudian hari bertemu
dengan cintanya yang sebenarnya—Arok.
Dalam hal ini saya mengerti
bahwa di dalam perjodohan ada pertemuan yang—sengaja—diatur oleh kekuasaan
tertinggi. Walaupun mengalami kawin paksa dengan Tunggul Ametung akhirnya saya
paham bahwa Dedes pun akhirnya oleh kekuasaan tertinggi dipertemukan dengan
Arok. Arokpun sengaja dipilih. Untuk kemudian jatuh cinta kepada Dedes. Tetapi
dikala waktu itu datang, Arok telah menikahi Umang.
Saya pun terlibat emosi antara
kisah cinta Dedes—Tunggul Ametung—Arok—dan Umang. Saya berpikir bahwa terkadang
saya seperti Tunggul Ametung, memaksa orang lain untuk mencintai saya. Lalu
saya juga merasa seperti Dedes yang akhirnya jatuh cinta lantas patah hati
karena merasa diduakan. Kemudian saya akan seperti Arok, tidak bisa memilih
karena hidupnya telah digariskan. Dan saya pun adalah Umang—gadis yang jattuh
cinta terhadap Arok sejak ia masih kanak-kanak, menikahinya ketika dewasa.
Betapa kayanya pemikiran
seorang Pramoedya. Buku ini mengajarkan kudeta sekaligus cinta. Atau memang di
dalam cinta pun kita harus belajar strategi kudeta—menggulingkan seseorang dulu
baru mendapatkan yang kita inginkan.
Ah, ini bukan ide yang bagus
teman.
Toh, kalau Dedes betul-betul
menginginkan Arok—sudah semestinya ia bisa menggulingkan Umang sebagai
Paramesywari ke dua di Tumapel.
Tapi Dedes tidak melakukannya.
Ia patah hati—tapi tidak melakukannya.
Di
salah satu coffee shop. Siang ini. 15:20
Ayah. Daddy. Papa.
Sebagai anak—perempuan—saya terlalu yakin bahwa tidak ada
yang akan mencintai kami anak perempuan lebih baik daripada ayah mencintai
kami.
Saya punya hubungan lucu dengan ayah. Karena jarak kami yang
jauh. Saya di Bandung dan ayah di Ambon. Tetapi ayah seperti selalu ada untuk
saya, bahkan di masa-masa yang sulit sekalipun. Ketika cerita maupun tidak
cerita, ayah seperti tahu—ia hanya tahu.
Beberapa minggu terakhir ini, saya sedikit rungsing. Sedang
mengerjakan beberapa hal yang menumpuk dan mendadak gelisah, sedikit ragu
pekerjaan ini bisa selesai apa tidak. Dalam kondisi seperti ini biasanya saya
butuh seseorang untuk diajak bicara. Ayah yang terbaik. Kadang kita hanya
saling menelepon dan bertukar kabar. Cerita-cerita yang tidak penting seperti
kegiatan hari itu. Atau sekedar bertanya “sedang apa.” Sampai urusan pria—saya
tahu ayah sangat bisa diandalkan.
Tapi kali ini, saya belum bisa cerita. Ada kondisi yang buat
saya harus menahan diri. Mungkin nantinya akan cerita, tapi bukan sekarang. Dan
begitulah ayah, ia selalu tahu—ketika saya tidak cerita sekalipun.
Tadi malam seperti tahu—tiba-tiba ayah menelepon dan
menanyakan kabar saya. Di telepon ia bertanya apakah saya baik-baik saja.
“Saya
sedang tidak baik ayah. Tapi tenang saja, karena saya akan melewati ini dengan
baik.”
Ketika menerima telepon darinya saya katakan bahwa saya
baik. Supaya ia tidak perlu kuatir. Tapi ayah pasti tahu ada sesuatu yang
tidak beres.
Oh, saya punya ayah yang keren. Love you Daddy!
Kalau sudah begini, tidak ada alasan untuk tidak jatuh cinta
pada ayah. Karena ayah pasti tidak akan buat saya—anak perempuannya patah hati.
Paling tidak saya mengalaminya.
Saya dan ayah sama-sama suka sore. Karena disitulah tempat
kita biasa duduk di teras rumah dan bercerita.
Semoga harimu menyenangkan, hey anak-anak perempuan :)
LOVE,
The.
Sultan
Agung. 21 September 2011. 12:25—sekarang sering mendung di Bandung ayah.
Thursday, September 15, 2011
Ruang Tivi
Ketika itu saya
masih suka pipis di celana. Belum kenal cinta itu apa. Dan di ruang tivi dengan
gelaran tikar di lantai. Disanalah Cerita-cerita dan rasa ngantuk dimulai.
Tebak, saya yang
mana?
Wednesday, September 14, 2011
New York
Seperti lirik dan melodi. Saling mengisi dan
melengkapi. Membentuk komposisi yang klop—pas di hati. Membuat setiap orang
yang mendengarkan menjadi syahdu. Terkadang mereka menangis. Terkadang mereka
senyum-senyum sendiri. Mungkin seperti itulah—saya dan kamu.
Ini bukan cinta. Melainkan sebuah rasa. Ia
mengalir begitu perlahan. Karena terus terang, saya ini sedang bosan jatuh
cinta. Jika saya bisa memakai salah satu istilah—saya akan bilang bahwa saya
sebenarnya sedang cuti jatuh cinta.
Tidak usah tertawa membaca kalimat-kalimat di atas. Seseorang yang sedang cuti, butuh rehat sejenak. Butuh “me time”
untuk dirinya sendiri. Butuh “break” sesaat. Siapa tahu setelah cuti panjang
ini, saya akan kembali mencintai.
Mungkin saat ini, kamu bertanya: kenapa saya
bisa bosan jatuh cinta? lalu saya akan menjawab: tentu saja saya bosan, karena
pengalaman cinta saya yang terakhir tidak dibawa kemana-mana. Saya hanya
ditinggal begitu saja. Dan akhirnya saya berpikir bahwa laki-laki itu brengsek.
Tapi pertanyaan selanjutnya adalah: kenapa
perempuan seperti saya bisa mencintai laki-laki yang brengsek.
Jawabannya: tidak ada.
Saya tidak akan menyimpulkan apa-apa. Karena
jatuh cinta itu seperti candu. Selepas patah hati, yang terjadi adalah saya
ingin jatuh cinta lagi dan lagi. Saya ingin punya perasaan yang utuh terhadap
seseorang. Dan tidak ingin selingkuh. Karena bagi saya selingkuh itu tidak adil
untuk hati dan pasangan saya.
Kemudian ketika menulis ini, akhirnya kamu
berpikir bahwa “oh, bosan jatuh cinta karena pernah diselingkuhi?”
“Hmm. Tidak juga.” Begitu saya menjawab.
Toh selingkuh tetap adalah keputusan dan itu
bukan kesalahan. Karena hal tersebut dilakukan dengan sadar. Dan segala sesuatu
yang dilakukan dengan sadar memerlukan akal sehat. Pertanyaannya: jika akalnya
sehat, berarti hatinya yang sakit?
Yang satu ini tak usah kamu jawab. Biar yang
bersangkutan yang menjawab.
Saat ini, saya hanya kepingin bertemu
denganmu. Karena saya punya rasa yang sedang tumbuh—saya tidak mau bilang ini
cinta. Terlalu terburu-buru. Saya takut salah.
Ketika kita bertemu nantinya, saya akan
bertanya begini kepadamu:
“Hey, saya ingin berlari di sepanjang
jalan-jalan di New York, menerbangkan balon warna-warni dengan kaki telanjang.
Kamu mau ikut?”
Dago 349. 14
Sepetember 2011. 00:33
Thursday, September 8, 2011
Sweter Tua
Tak bisa tidur. Entah karena
dingin—entah karena banyak bintang yang absen malam ini. Celana pendek lusuh
kesukaan dan sweter tua favorit teronggok. Kamu pasti akan protes sama saya,
karena bahkan untuk urusan tidur saja, saya harus fashionable. Saya harus punya
baju tidur yang matching, walaupun itu nantinya hanya akan berakhir kepada kaos
longgar dan celana paling pendek.
Oh saya tak suka lingerie—belum
suka. Saya tidak mau sompral. Siapa tahu nanti saya berubah pikiran. Tapi kali
ini—seperti biasa, saya menggosok gigi, mengepang rambut. Krim malam saya
habis. Tak masalah. Toh, saya masih awet muda. Seperti yang sering kamu
katakan. Tapi mungkin itu rayuan kamu.
Lalu di sana. Ada sweter tua
itu. Warnanya biru tua. Sudah ada beberapa bolong disana-sini. Tapi saya suka.
Memakainya selalu membawa sensasi sendiri bagi saya. Saya akan membuatnya
sebagai ritual tidur saya. Sebelum memakai sweter itu, saya akan menciumnya—mengingat
lagi bau tubuhmu.
Semoga kamu tidak keberatan.
Jadi saya tidak perlu
repot-repot lagi menulis surat cinta untukmu. Yang perlu saya lakukan adalah
membekukan bau tubuhmu ke dalam amplop merah muda dan mengirimkannya untukmu.
Pak pos akan mengantarkan ke alamat kantormu. Ketika kamu buka, kamu akan
sumringah—pipi itu yang selalu buat saya gemas akan memerah.
Bahwa saya sayang kamu.
Kali ini saya meniduri swetermu
dulu. Kelak, kalau sudah waktunya kita—mungkin akan tidur bersama. Bemimpi
nyenyak di bawah selimut.
Sultan
Agung. 8 September 2011. 13:19
Wednesday, September 7, 2011
Nasihat
Jelas sekali kalau patah hati
bukan melulu tentang air mata yang jatuh di pipi. Atau jatuh cinta bukan hanya
tentang perut yang berbunga-bunga. Mereka adalah siklus. Seperti ayah bertemu
ibu. Dan kini terulang saya bertemu dengannya.
Misterius.
Tidak ada yang
pernah bisa memprediksi apa-apa. Jatuh cinta dan patah hati berlaku kepada
siapa saja, pria baik-baik maupun pria brengsek sekalipun. Jatuh cinta—patah
hati—sepaket. Seperti parsel lebaran.
Tapi lebaran kini telah usai. Remah-remah nastar dan kastengel mungkin masih ada di dalam kotak kue dan belum sempat dibersihkan. Ayah yang sibuk dengan tanaman-tanaman di belakang rumah. Ibu yang sibuk dengan mengetik. Dan saya yang mungkin saat itu masih kecil, belum paham apa itu jatuh cinta dan patah hati.
Ketidakpahamanan membuat saya penasaran. Ingin mencoba seperti apa
jatuh cinta dan patah hati itu. Saya tidak bisa hanya memilih satu.
Keduanya seperti sendal jepit lusuh yang berjalan beriringan. Keduanya tak bisa
dipisahkan. Seperti ayah dan ibu. Saya tak bisa memilih hanya jatuh cinta
kepada ayah atau ibu saja.
Ketika jatuh cinta kepada ayah,
adakalanya saya patah hati. Sebaliknya ketika patah hati kepada ibu—bisa jadi
ayah yang memberikan saya cinta. Lalu patah hati yang lain pun menyusul dalam
keadaan yang berbeda. Sayang sekali ayah tidak pernah bilang, bahwa saya harus
mencintai pria yang seperti apa.
Tapi ayah berpesan bahwa,
ketika hidup—hiduplah dengan tulus-tulus saja. Pesan singkat yang tidak bisa
saya lupa. Di satu sisi saya mengartikan ayah menginginkan saya hidup—mencintai
seperti merpati. Dan di sisi lainnya, saya mengartikannya sebagai
hidup—dan patah hatilah dengan tulus.
Tidak bisa memilih hanya satu.
Konsekuensi adalah bayanganmu sendiri. Mengikuti kemanapun kakimu pergi. saya
ingin menelepon ayah dan mengajaknya makan siang. Bercerita tentang pria. Hanya
saja beliau jauh. Bahkan antara saya—cinta anak perempuannya dengannya pun
terhalang jarak.
Kalau sudah begini, yang dapat
saya lakukan adalah mengingat-ingat nasihatnya. Dan menjalani kehidupan saya
hari ini dengan tulus. Baik dalah keadaan jatuh cinta maupun patah hati.
Dago
349. 6 September 2011. 13:03
Bau Hujan
Saya misterius. Seperti Bau Hujan.
Mereka menyebutnya petrichor. Datang tiba-tiba
ketika hujan pertama. Menggoda hidungmu dengan segala rupa. Lalu membekukannya
di sana. Tak ada parfum yang persis sepertinya.
Tentu saja, ketika itu saya begitu belia.
Hanya mengenal diary sebagai tempat curhat. Saya bahkan pusing kalau hendak
bercerita kepada Mama. Atau kepada dua kakak perempuan. Saya ingat pernah
menerima kartu ucapan ulang tahun di usia saya yang ke sepuluh kalau tidak
salah.
Diberikan oleh kakak perempuan saya yang
pertama, selisih umur kami sepuluh tahun. Berarti ketika itu ia sudah berumur
dua puluh. Saya lupa isi kartu itu apa, tapi seingat saya. Ia merayakan usia
saya yang ke sepuluh, dan bilang bahwa sebentar lagi saya akan jadi
“nona-nona.” Sebutan kepada perempuan yang sebentar lagi dewasa.
Kartu itu mungkin sudah hilang. Mengingat saya
dan keluarga sempat berpindah rumah beberapa kali. Tapi mendapatkan kartu
ucapan itu romantis. Sama halnya ketika saya mendapat surat cinta pertama kali,
ketika umur saya dua puluh atau dua puluh satu. Surat sepanjang 7 lembar itu
berisi ungkapan cinta dan ayat Alkitab. Untunglah si pengirim tidak mengirimkan
saya isi kitab Kidung Agung. Pastinya saya akan malu, setengah mati.
Yang saya ingat adalah saya membalas surat
cinta itu dengan ogah-ogahan. Karena terus terang saya tidak tertarik kepada si
pengirim. Lalu bahkan saya tidak mengingat dia sebagai cinta pertama. Saya
hanya mengingat dia sebagai si pengirim “surat cinta” pertama. Walaupun jika
hendak jujur, menerima surat cinta darinya, berhasil membuat saya deg-degan.
Sampai-sampai tak bisa tidur. Itu perasaan yang menyenangkan.
Hari ini saya bertemu lagi dengan Bau Hujan.
Bau misterius. Kesukaan saya. Tak ada parfum yang bisa menyamainya. Tapi kini
saya tak lagi misterius. Saya begitu lugas. Persoalan hati akan dengan gamblang
saya ceritakan. Tetapi hanya kepada orang tertentu yang saya percaya.
Berbahagialah orang-orang itu. Karena untuk urusan yang satu ini, saya tidak
banyak berurusan dengan banyak orang. Sangat pemilih.
Seperti Bau Hujan. Ia hanya memilih orang yang peduli akan kehadirannya.
Dan seperti menemani, ia datang menghampiri
saya. Hari ini, saya duduk-duduk dengannya. Di atas meja, ada buku kumpulan cerpen
Y.B. Mangunwijaya dan kopi yang sudah hampir dingin. Bau Hujan lalu bercerita.
Awalnya, saya tidak terlalu mempedulikannya. Tapi lama-lama ceritanya begitu
menarik.
Ketika mendengarkan seseorang bercerita, saya
biasanya akan memandang ke dalam mata orang itu. Dan mencoba merasakan apa yang
ada di kepalanya. Memperhatikan ucapan yang keluar dari mulutnya. Bau Hujan
lalu begitu cerewet. Ia bilang ia sedang jatuh cinta pada seseorang yang sulit.
Saya diam lalu merenungkan kalimat itu “jatuh
cinta pada seseorang yang sulit” yang sulit itu cintanya atau orangnya?
Akhirnya saya bertanya begitu. Bau Hujan juga tampak bingung hendak menjawab
pertanyaan saya. Kalau urusan cinta, bukan rasanya yang sulit saya kira. Tapi
lebih kepada pribadi kita. Akhirnya kalimat-kalimat itu meluncur dari bibir
saya. Saya tak berani menatap wajahnya. Saya takut kalau-kalau Bau Hujan
menangis. Lalu nantinya ia tak wangi lagi.
Oh, betul saja. Sesuai perkiraan saya, ia pun
menangis. Ada air mata jatuh di pipinya. Bening sekali. Jatuh di pipinya yang
empuk. Saya merasa tidak enak. Karena sama sekali tidak dapat membantu
persoalannya. Tak lama kemudian ia pamit.
Untuk pertama kalinya, ketika saya bertemu Bau
Hujan seperti mendapat surat cinta. Isinya pernyataan dan air mata—juga untuk
pertama kalinya saya menghirup Bau Hujan dalam-dalam, menghirup air matanya
yang ternyata ... wangi.
Jalan Tasik. 3
September 2011. 16:07
Friday, September 2, 2011
Balon
seperti balon
terbang dari tangan mang Ujang
ke udara
tubuhku berkibar ke kanan dan
kiri
tertiup. poni rambutku
terhempas,
pinggulku yang tidak gemuk
tidak juga kurus
bergoyang-goyang. seperti lenong.
aku balon di udara. memilih
hendak terbang kemana.
tubuhku terlalu ringan. bebas
melayang.
jangan pegang aku erat.
terlalu mudah pecah—mudah lepas.
Thursday, September 1, 2011
Pencuri
Saya selalu suka kalau jendela terbuka lebar begini.
Supaya saya bisa mengendap-endap ke kupingmu dan berbisik kata "I LOVE
YOU." Itu kata menggelikan yang saat ini gampang buat perut saya mulas.
Saya akan menelusuri anak-anak rambutmu dengan jari-jari
mungilku, lalu turun sebentar ke pelipismu. Menatap matamu dalam-dalam.
Menelusuri pupil matamu, mencari binar cinta di sana.
Memangnya kalau jatuh cinta, harus ada binar di mata.
Saya tidak tahu. Yang saya tahu ada binar di hati. Sebenarnya saya takut kalau
ketahuan sedang jatuh ... cinta. Saya malu dengan keyboard dan layar di depan
saya.
Karena mereka pasti tahu pipi saya sedang merah ketika
menulis ini. Bukan hanya itu, tapi saya cenderung senyum-senyum terus. Eh, tapi
buat kamu yang tahu jangan bilang-bilang ya, saya kan jadi malu.
Belum lagi sekarang saya dengar lagu "The Closer I
Get To You" terus saya bertanya, kenapa sih kalau cinta itu harus
dekat-dekat? ya iya dong, kalau jauh lagi, nanti saya harus jadi pencuri.
Saya bakal mencuri hatimu lama-lama. Terus nanti saya
disalahkan. Saya dituduh untuk mengembalikan hatimu. Padahal jelas-jelas, saya
hanya ... oke deh saya ngaku, saya memang ingin hatimu utuh.
Bukan setengah-setengah. Bukan seperempat. Tapi utuh.
Semoga kamu tidak keberatan. Seperti nanti ketika saya
pergi, tutup lagi jendelamu rapat-rapat seperti tidak ada apa-apa.
Kamu mengerti maksud saya kan?
Ruang Siaran. 31 Agustus 2011. 14:31 -- selalu bersyukur
ada notepad dan layar besar di depan saya.
Subscribe to:
Posts (Atom)
Featured Post
Sebuah Catatan Tidak Kreatif Tentang Cara-Cara Tidak Kreatif Untuk Mencintai
Cara-cara Tidak Kreatif Untuk Mencintai, adalah sebuah buku yang sedang kamu tunggu. Ia lahir sebentar lagi, tepat di 16 A...