Saya suka dengan cara Pramoedya
Ananta Toer menggambarkan Dedes dalam buku ini. Bukan berarti Arok dan tokoh
lainnya tidak penting. Tapi seorang Pramoedya berhasil merasuk emosi saya
sebagai seorang perempuan untuk lebih paham apa arti cinta yang terbelah
menjadi dua sekaligus patah hati.
Dedes terkenal akan
kecantikannya. Menurut cerita bahkan di seantero muka bumi kerajaan Tumapel dan
Kediri-pun. Tidak ada yang secantik Dedes. Dedes atau juga yang mendapat gelar Ken oleh Yang Suci Belangkangka. Dan
semua orang yang mengenalnya memiliki kisah cinta yang unik. Ia yang diculik
oleh Tunggul Ametung dan dinikahi secara paksa—kemudian dijadikan sebagai
Paramesywari di kerajaan Tumapel mendampingi Tunggul Ametung sebagai Akuwu pada
zaman itu.
Pernikahan yang tidak dilandasi
dengan cinta tersebut kemudian tidak berhasil dengan rukun. Dedes tumbuh
menjadi seorang perempuan yang hanya menjalankan perintah suaminya sebagai
formalitas. Ia menjalankan kehidupannya sebagai Paramesywari di Tumapel dengan
titah dan kekuasaan yang ia miliki. Kapan saja ia menurunkan titah maka semua
akan menjalankannya.
Tak ada cinta kepada Tunggul
Ametung. Dedes hanya kebetulan dipilih. Semacam ada kehidupan yang digariskan
kepadanya oleh Jagad Dewa—kekuasaan tertinggi untuk di kemudian hari bertemu
dengan cintanya yang sebenarnya—Arok.
Dalam hal ini saya mengerti
bahwa di dalam perjodohan ada pertemuan yang—sengaja—diatur oleh kekuasaan
tertinggi. Walaupun mengalami kawin paksa dengan Tunggul Ametung akhirnya saya
paham bahwa Dedes pun akhirnya oleh kekuasaan tertinggi dipertemukan dengan
Arok. Arokpun sengaja dipilih. Untuk kemudian jatuh cinta kepada Dedes. Tetapi
dikala waktu itu datang, Arok telah menikahi Umang.
Saya pun terlibat emosi antara
kisah cinta Dedes—Tunggul Ametung—Arok—dan Umang. Saya berpikir bahwa terkadang
saya seperti Tunggul Ametung, memaksa orang lain untuk mencintai saya. Lalu
saya juga merasa seperti Dedes yang akhirnya jatuh cinta lantas patah hati
karena merasa diduakan. Kemudian saya akan seperti Arok, tidak bisa memilih
karena hidupnya telah digariskan. Dan saya pun adalah Umang—gadis yang jattuh
cinta terhadap Arok sejak ia masih kanak-kanak, menikahinya ketika dewasa.
Betapa kayanya pemikiran
seorang Pramoedya. Buku ini mengajarkan kudeta sekaligus cinta. Atau memang di
dalam cinta pun kita harus belajar strategi kudeta—menggulingkan seseorang dulu
baru mendapatkan yang kita inginkan.
Ah, ini bukan ide yang bagus
teman.
Toh, kalau Dedes betul-betul
menginginkan Arok—sudah semestinya ia bisa menggulingkan Umang sebagai
Paramesywari ke dua di Tumapel.
Tapi Dedes tidak melakukannya.
Ia patah hati—tapi tidak melakukannya.
Di
salah satu coffee shop. Siang ini. 15:20
mbak, udah baca Arus Balik?
ReplyDelete