Saya misterius. Seperti Bau Hujan.
Mereka menyebutnya petrichor. Datang tiba-tiba
ketika hujan pertama. Menggoda hidungmu dengan segala rupa. Lalu membekukannya
di sana. Tak ada parfum yang persis sepertinya.
Tentu saja, ketika itu saya begitu belia.
Hanya mengenal diary sebagai tempat curhat. Saya bahkan pusing kalau hendak
bercerita kepada Mama. Atau kepada dua kakak perempuan. Saya ingat pernah
menerima kartu ucapan ulang tahun di usia saya yang ke sepuluh kalau tidak
salah.
Diberikan oleh kakak perempuan saya yang
pertama, selisih umur kami sepuluh tahun. Berarti ketika itu ia sudah berumur
dua puluh. Saya lupa isi kartu itu apa, tapi seingat saya. Ia merayakan usia
saya yang ke sepuluh, dan bilang bahwa sebentar lagi saya akan jadi
“nona-nona.” Sebutan kepada perempuan yang sebentar lagi dewasa.
Kartu itu mungkin sudah hilang. Mengingat saya
dan keluarga sempat berpindah rumah beberapa kali. Tapi mendapatkan kartu
ucapan itu romantis. Sama halnya ketika saya mendapat surat cinta pertama kali,
ketika umur saya dua puluh atau dua puluh satu. Surat sepanjang 7 lembar itu
berisi ungkapan cinta dan ayat Alkitab. Untunglah si pengirim tidak mengirimkan
saya isi kitab Kidung Agung. Pastinya saya akan malu, setengah mati.
Yang saya ingat adalah saya membalas surat
cinta itu dengan ogah-ogahan. Karena terus terang saya tidak tertarik kepada si
pengirim. Lalu bahkan saya tidak mengingat dia sebagai cinta pertama. Saya
hanya mengingat dia sebagai si pengirim “surat cinta” pertama. Walaupun jika
hendak jujur, menerima surat cinta darinya, berhasil membuat saya deg-degan.
Sampai-sampai tak bisa tidur. Itu perasaan yang menyenangkan.
Hari ini saya bertemu lagi dengan Bau Hujan.
Bau misterius. Kesukaan saya. Tak ada parfum yang bisa menyamainya. Tapi kini
saya tak lagi misterius. Saya begitu lugas. Persoalan hati akan dengan gamblang
saya ceritakan. Tetapi hanya kepada orang tertentu yang saya percaya.
Berbahagialah orang-orang itu. Karena untuk urusan yang satu ini, saya tidak
banyak berurusan dengan banyak orang. Sangat pemilih.
Seperti Bau Hujan. Ia hanya memilih orang yang peduli akan kehadirannya.
Dan seperti menemani, ia datang menghampiri
saya. Hari ini, saya duduk-duduk dengannya. Di atas meja, ada buku kumpulan cerpen
Y.B. Mangunwijaya dan kopi yang sudah hampir dingin. Bau Hujan lalu bercerita.
Awalnya, saya tidak terlalu mempedulikannya. Tapi lama-lama ceritanya begitu
menarik.
Ketika mendengarkan seseorang bercerita, saya
biasanya akan memandang ke dalam mata orang itu. Dan mencoba merasakan apa yang
ada di kepalanya. Memperhatikan ucapan yang keluar dari mulutnya. Bau Hujan
lalu begitu cerewet. Ia bilang ia sedang jatuh cinta pada seseorang yang sulit.
Saya diam lalu merenungkan kalimat itu “jatuh
cinta pada seseorang yang sulit” yang sulit itu cintanya atau orangnya?
Akhirnya saya bertanya begitu. Bau Hujan juga tampak bingung hendak menjawab
pertanyaan saya. Kalau urusan cinta, bukan rasanya yang sulit saya kira. Tapi
lebih kepada pribadi kita. Akhirnya kalimat-kalimat itu meluncur dari bibir
saya. Saya tak berani menatap wajahnya. Saya takut kalau-kalau Bau Hujan
menangis. Lalu nantinya ia tak wangi lagi.
Oh, betul saja. Sesuai perkiraan saya, ia pun
menangis. Ada air mata jatuh di pipinya. Bening sekali. Jatuh di pipinya yang
empuk. Saya merasa tidak enak. Karena sama sekali tidak dapat membantu
persoalannya. Tak lama kemudian ia pamit.
Untuk pertama kalinya, ketika saya bertemu Bau
Hujan seperti mendapat surat cinta. Isinya pernyataan dan air mata—juga untuk
pertama kalinya saya menghirup Bau Hujan dalam-dalam, menghirup air matanya
yang ternyata ... wangi.
Jalan Tasik. 3
September 2011. 16:07
Theooo... tulisannya memang selalu menyentuh! ughh... yang salah cintanya atau orangnya? Ternyata cinta ga pnrh salah y? *lho. wkwkw..
ReplyDeletebaca ini saya semakin kangen hujan.... ah, musim ini dia terlambat datang di kotaku
ReplyDeletewangi hujan memang bikin hmmm.... ;)
ReplyDelete