gambar dari miss google.
Timbangan berkel tua mengamatiku dari jauh. Kerut kerut pipinya tak bisa disembunyikan sepuh tidak rapuh. Mungkin sepanjang hidupnya ia menimbang cinta di antara biji biji kopi di kepalanya. Tidak lelah menimbang dan terus menimbang. Kepalanya terus bergoyang, mengangguk-angguk—Entah. seperti setuju dengan isi kepalaku atau apa. Atau justru ia sendiri sedang menimbang-nimbang isi kepalaku.
Bagaimana tidak. Ia adalah saksi. Aku kecil, berlari-lari di sekitar ruangan itu hanya dengan memakai celana dalam tanpa malu. Kaki-kaki kecilku terkena ampas kopi dan aku tidak peduli. Terkadang ampas kopi itu singgah di pipi gembilku. Aku juga tidak peduli, aku suka mereka di sana. Ampas kopi itulah yang akhirnya menemukan cintaku untukmu.
Sayang sekali di muka bumi ini, tak ada cinta sejati. Cinta sejati senang keluyuran. Terpeleset. Jatuh entah kemana. Lenyap. Begitu saja, tidak kokoh seperti timbangan berkel itu. Yang bertahun-tahun tetap setia di atas meja kayu. Tidak bertahan lama. Mungkin ia cepat bosan, seperti halnya pembeli kopi yang mengantri. Ada yang menelepon dan berbicara keras-keras. Ada yang berdiri sambil goyang-goyang kaki. Ada yang mengetuk-ngetukan jari ke meja.
Cinta sejati terlalu gesit. Atau mungkin terlalu rumit. Tidak selamanya begini: aku cinta kepadamu. Aku bersamamu. Cinta sejati kebanyakan aku cinta kepadamu. Kita berpisah. Selesai. Tidak tahu aturan. Tidak tahu malu. Seperti tidak punya keyakinan. Seperti tidak punya Tuhan. Ah sudahlah! Mungkin Tuhan sendiri tak cukup punya waktu untuk mengurusi hal macam begini.
Ampas kopi yang mempertemukan. Ampas kopi juga yang memisahkan. Kaki-kaki kecilku masih bermain-main. Kasar menginjak lantai tua. Menggendong anak perempuan kecil yang nantinya akan tumbuh dewasa. Punya susu, mens pertama—mengajarkan pakai pembalut. Kemudian aku akan mengajarkannya percaya kepada cinta sejati.
Timbangan berkel di depanku tidak banyak bicara. Mengangguk-angguk seperti setuju dengan perkataan di kepalaku—bahwa ketika seseorang punya cinta, ia harus berani memperjuangkannya. Atau itu sama saja dengan mati. Tidak peduli warna kulitnya apa. Cinta sejati tidak diukur dari situ. Aku yang putih mencintaimu. Mencintai kulitmu yang seperti ampas kopi. Dan itu adalah alasan kenapa kita berpisah.
Persetan dengan cinta sejati! Itu omong kosong. Timbangan berkel berhenti menggangguk. Mungkin tak setuju. Karena sampai kapanpun, ia ada. Berdiri di atas meja kayu itu, mengintip pelanggan dari jauh. Mengantri untuk membeli kopi hitam pekat—pahit. Refleksi dari kehidupan yang tidak selalu manis.
*selesai ditulis 4:50 pagi ini untuk Kopi Aroma di Jalan Banceuy. Dibuat setelah saya jalan-jalan random ke sana kemarin sore.
No comments:
Post a Comment