Pada hari Rabu, 9 Mei 2018 lalu, kami mengadakan peluncuran
buku "Cara-cara Tidak Kreatif untuk Mencintai" di Kafe Cindy's,
Salatiga. Pada kesempatan itu kami menghadirkan dua pembahas, Izak. Y.M.
Lattu dan Jessy Ismoyo. Keduanya adalah dosen di Universitas Kristen Satya
Wacana, sahabat kami sekaligus teman diskusi yang menyenangkan. Diskusi yang
panjang itu akan dipublikasi dalam beberapa bagian supaya tetap bisa dinikmati
dengan santai: (1) Perihal Buku Cara-cara Tidak Kreatif untuk Mencintai; (2)
Perihal Ciuman; (3) Perihal Puisi Kesukaan dan Rindu; (4) Perihal Cinta &
Puisi. Selamat membaca!
Bagian II: Perihal
Ciuman
Christian melanjutkan, “Ada
isu apa di balik puisi Ciuman yang Menjaga Sebuah Bangsa?” Theo atau Weslly
yang lebih dulu, silakan.
“Awalnya
puisi ini hanya mau bercerita tentang ciuman tetapi karena menulis apa pun,
termasuk menulis puisi, adalah kegiatan yang tidak mungkin terisolasi dan
bersifat dialektis, maka ‘obrolan’ saya dan Theo tentang ciuman itu akhirnya menyentuh juga
pengalaman-pengalaman lain di sekitar kehidupan kita. Saya percaya bahwa semua
kita punya ingatan manis tentang bangsa ini, walaupun itu tidak lalu berarti
mengabaikan berbagai persoalan hidup bersama sebagai bangsa yang kerap muncul
pada hari-hari belakangan ini. Puisi ini ditulis dan meluas dalam tegangan itu.
Pada dasarnya, ciuman di dalam puisi ini adalah usaha menyeberangi keterasingan
yang terbentang antara manusia yang satu dengan manusia lainnya,” jawab Weslly.
Sementara
menurut Theo, “puisi Ciuman yang Menjaga Sebuah Bangsa adalah titik tenang
untuk memandang dan memahami diri sendiri juga hubungan-hubungan manusia dalam
kehidupan bersama sebagai sebuah bangsa. Membaca berita pada hari-hari
belakangan kadang membuat hatimu cukup patah. Puisi adalah ruang untuk kemudian
mengingat lagi hal-hal manis tentang bangsa ini dan tempat di mana
harapan-harapan baik dan kebaikan-kebaikan itu dijaga dan dibiarkan untuk terus
bertumbuh.”
“Awalnya puisi ini hanya mau bercerita tentang ciuman tetapi karena menulis apa pun, termasuk menulis puisi, adalah kegiatan yang tidak mungkin terisolasi dan bersifat dialektis, maka ‘obrolan’ saya dan Theo tentang ciuman itu akhirnya menyentuh juga pengalaman-pengalaman lain di sekitar kehidupan kita,” ujar Weslly Johannes.
“Puisi
Ciuman yang Menjaga Sebuah Bangsa —kalau kita bicara tentang semiotika— adalah tanda dari
betapa kita merindukan intimasi pada sebuah bangsa,” demikian Izak Lattu. “Kita
merindu pada saat intimasi itu hilang. Kita merindu pada apa yang membuat kita
menjadi bangsa, yaitu rasa paling dalam. Dalam konteks itu, bangsa tidak hanya
bisa diikat oleh hukum. Dalam buku ‘Menolak Narasi Tunggal’, saya juga pernah
bilang, kalau bangsa yang cuma diikat oleh hukum saja, itu namanya persatean;
kalau bangsa diikat juga oleh rasa, itu namanya persatuan. Oleh karena itu,
cinta menjadi kekuatan berbangsa di dalam puisi ini. Tidak ada orang yang bisa
menjadi warga bangsa yang baik, kalau dia belum pernah mencium dan mencintai.
Hanya orang yang mencium dan mencintai yang bisa merasakan arti sebuah bangsa.”
“Mencium
dan mencintai itu bukan kekuatan fisik, tetapi kekuatan rasa yang paling dalam
dan kita ingin, dalam konteks bersatu sebagai bangsa itu seperti orang menikah,
misalnya. Cinta itu tidak membutuhkan pengorbanan, sebab ketika kita sudah
merasa berkorban, kita sudah tidak lagi mencintai, tetapi berinvestasi,
melainkan kita betul-betul ingin membangun ikatan dengan saling mengaitkan kedekatan
kita pada orang lain dan itu yang kemudian membuat kita menjadi bangsa. Kembali
pada konteks ‘persatean’ tadi. Kita tidak mau bangsa ini hanya terikat karena
hukum belaka. Kita punya pancasila, tetapi pancasila itu akan tidak ada
artinya, jika orang tidak belajar untuk saling mencintai pada level keseharian.
Level keseharian ini yang bisa memperkuat bangsa. Bangsa ini punya kekuatan
untuk saling terikat kalau kita belajar mencintai, kalau orang boleh mencium
(intimasi), saling berpelukan, dalam arti ‘menghapus jarak’. Jika kita mau
menjadi bangsa, kita harus bisa menghapus ‘distance’ antara kita dengan
orang lain,” tutur Izak Lattu.
“Ciuman
yang nasionalis,” ucap Christian sambil tertawa, “membuat kita sadar bahwa
bangsa ini masih memiliki sesuatu yang manis untuk menjadi kekuatan yang
mengikat kita.”
(bersambung)
No comments:
Post a Comment