Monday, October 8, 2018

RUMAH







Ada sebuah kalimat, aku lupa pernah membacanya di mana, mungkin di salah satu buku yang biasa dibaca oleh ibu. Kalimat itu berbunyi begini: Rumah—Ia bukan hanya bangunan, ia mata, jiwa, dan telinga—yang tersembunyi di antara dinding-dinding beton.

Beberapa minggu belakangan ini, aku merasakan ada sesuatu yang aneh. Pada malam-malam saat semua orang sedang tidur, aku sering mendengar ada yang bercakap-cakap. Aku selalu bertanya-tanya, dari mana suara-suara itu berasal. Seperti tadi malam, aku memasang telingaku dengan seksama, sebab kali ini suara-suara itu muncul kembali. Kali ini aku mendengarkan dua atau bahkan tiga suara yang sedang bercakap-cakap. Aku bangkit dari kamar tidur dan berjalan ke luar kamar sambil terus memasang telinga, berharap aku akan menemukan siapa yang sedang bercakap tengah malam tersebut, namun suara-suara itu menghilang seperti ditelan bumi.

Pagi ini kubangun dengan perasaan sedikit ganjil. Ibu sudah menyiapkan sarapan nasi goreng untuk Nicky, anak semata wayangnya. Setiap pagi ibu suka duduk menonton siaran berita di ruang tengah sambil memangku Munah, kucing kampung peliharaannya. Aku duduk diam dengan sebuah kebingungan di kepala. Sembari menghirup aroma kopi dari arah dapur, muncul sebuah ide untuk bertanya kepada ibu, barangkali ia juga mendengar hal yang sama, barangkali semalam dan malam-malam yang lain ia juga memasang telinga untuk suara-suara itu.

Tapi aku sendiri mesti ragu-ragu—di rumah ini hanya ada Nicky dan ibu, ayah sudah meninggal beberapa tahun yang lalu. Rumah peninggalan kakek Nicky, ini memang cukup besar untuk mereka. Nicky sendiri memang sudah punya rencana untuk pindah ke rumah yang lebih kecil, jika kelak ia menikah dengan Melody, ibu juga bersikeras supaya Nicky dan Melody mencari rumah lain saja. Aku sendiri bingung, karena ibu dan Melody memang tak begitu akur. Beberapa kali aku kerap mendengar ibu dan Melody beradu pendapat. Kalau sudah begitu, Nicky sendiri akan lebih banyak diam.

Ibu lebih senang sendiri sejak kepergian ayah, ia seperti mengunci dirinya di dalam rumah besar ini. Sejak ayah meninggal, ia tidak pernah lagi menerima tamu satupun baik keluarga maupun kolega. Padahal dulu sekali ketika ayah masih ada, rumah ini tak henti-hentinya menerima tamu. Berjarak dua ratus meter dari rumah kami memang ada dua rumah berhadapan persis. Satunya adalah rumah Pak Hasyim, ketua RT komplek kami. Dan satu lagi adalah sebuah rumah tua, yang kira-kira umurnya sama denganku.

“Ibu..” sedari tadi ia masih tidak bergerak dari sofa dengan mata yang masih terus menatap televisi. Ia bahkan tidak menjawab panggilanku.

“Ng, saya mau bertanya saja, apa ibu juga mendengar suara-suara seperti orang sedang bercakap-cakap tadi malam?” Ibu mengerutkan alisnya, ia tampak berpikir keras, tapi ia masih tidak menjawab pertanyaanku. Aku nyengir dan menggaruk kepala. Masih merasa bingung dengan pertanyaanku sendiri, aku pun melamun.

*

Sepanjang hari ini berjalan dengan lambat. Aku melihat Mar datang. Mar yang berasal dari kampung sebelah, akan memasak makan siang untuk ibu dan Nicky, tapi tentu saja Nicky akan makan siang di kantor dan akan sampai di rumah larut malam. Mar juga biasanya membantu membersihkan rumah, mencuci pakaian, menyetrika. Jika ibu tidak melihat, Mar biasa membawa pulang bumbu masak, daging beberapa potong dari dalam kulkas, atau uang dalam saku celana Nicky yang biasanya Mar temukan. Mar akan menyumpel barang-barang yang ia ambil tadi di dalam tong sampah di pagar depan rumah. Kemudian ia akan mengambilnya ketika hendak pulang ke rumah. Sementara uang yang ia temukan, dengan sigap langsung ia simpan di beha-nya. Aku ingin sekali mengadu kepada ibu tentang apa yang akan dilakukan Mar, tapi jika Mar tidak lagi bekerja di rumah ini, siapa lagi yang akan menemani ibu.

Pada kali lain, aku juga menyaksikan hal-hal aneh di rumah ini. Percintaan antara Melody dan Nicky di kamar, yang semakin membuatku merasa sedih, bahwa hingga kini aku masih belum punya pasangan dan masih seorang diri.

Petang tiba. Setiap petang ibu masih akan memangku Munah, duduk di meja makan dengan cangkir kopinya dan mengisi TTS. Kacamatanya melorot, ubannya tampak semakin berkilau dari kejauhan, daster yang dipakainya sudah sangat melorot. Tubuh mungil dengan dadanya yang rata, menyatakan tentang nasib umurnya yang sudah semakin menyerah kepada zaman. Setelah mengisi TTS, ibu biasanya membaca buku—hingga tertidur.

Novel-novel tebal kesukaannya itu tersusun rapi di rak buku berdebu yang ada di ruang kerja ayah. Ruangan yang sama sekali tidak boleh dimasuki oleh siapapun, kecuali ibu. Bahkan kondisinya masih sama seperti terakhir kali ayah meninggal—dengan cara yang tidak wajar—eh, aku tidak tahu apakah aku dapat menceritakannya kepadamu atau tidak, tapi yang pasti ayah bunuh diri. Iya, aku sempat melihatnya ketika ia menelan pil-pil yang kemudian membuatnya meregang nyawa. Aku menangis. Dengan derasnya air mataku mengalir melalui tiris-tiris, seperti hujan—persis hujan.

***

No comments:

Post a Comment

Featured Post

Sebuah Catatan Tidak Kreatif Tentang Cara-Cara Tidak Kreatif Untuk Mencintai

Cara-cara Tidak Kreatif Untuk Mencintai, adalah sebuah buku yang sedang kamu tunggu. Ia lahir sebentar lagi, tepat di 16 A...