Pada hari Rabu, 9 Mei 2018 lalu, kami mengadakan
peluncuran buku "Cara-cara Tidak Kreatif untuk Mencintai" di Kafe
Cindy's, Salatiga. Pada kesempatan itu kami
menghadirkan dua pembahas, Izak. Y.M. Lattu dan Jessy Ismoyo. Keduanya
adalah dosen di Universitas Kristen Satya Wacana, sahabat kami sekaligus teman
diskusi yang menyenangkan. Diskusi yang panjang itu akan dipublikasi dalam
beberapa bagian supaya tetap bisa dinikmati dengan santai: (1) Perihal Buku
Cara-cara Tidak Kreatif untuk Mencintai; (2) Perihal Ciuman; (3) Perihal Puisi
Kesukaan dan Rindu; (4) Perihal Cinta & Puisi. Selamat membaca!
Bagian 1: Perihal
Buku Cara-cara Tidak Kreatif untuk Mencintai
Memulai bahasannya tentang buku “Cara-cara Tidak Kreatif untuk Mencintai,” Izak Lattu, dosen UKSW yang banyak menulis tentang relasi agama-agama dan bergiat di bidang tersebut, berpendapat demikian “Buku ini tidak hanya mengungkapkan cinta sebagai relasi romantis saja. Cinta di sini juga diartikan sebagai social relationship dan cultural relationship yang kesemuanya bertumpu pada intimasi. Romantic love, seperti tertulis di buku ini, ditempatkan ke dalam konteks sosial yang lebih luas. Dari situ, cinta kemudian dimengerti juga sebagai political expression, seperti tampak dalam, misalnya puisi Ciuman yang Menjaga Sebuah Bangsa. Tidak ada bangsa yang besar, jika orang-orang tidak saling mencintai.”
Memulai bahasannya tentang buku “Cara-cara Tidak Kreatif untuk Mencintai,” Izak Lattu, dosen UKSW yang banyak menulis tentang relasi agama-agama dan bergiat di bidang tersebut, berpendapat demikian “Buku ini tidak hanya mengungkapkan cinta sebagai relasi romantis saja. Cinta di sini juga diartikan sebagai social relationship dan cultural relationship yang kesemuanya bertumpu pada intimasi. Romantic love, seperti tertulis di buku ini, ditempatkan ke dalam konteks sosial yang lebih luas. Dari situ, cinta kemudian dimengerti juga sebagai political expression, seperti tampak dalam, misalnya puisi Ciuman yang Menjaga Sebuah Bangsa. Tidak ada bangsa yang besar, jika orang-orang tidak saling mencintai.”
“Intimasi
bertumpu pada trust (rasa percaya),” demikian ungkapnya. Tidak ada orang
yang bisa saling mencintai tanpa rasa percaya. “Dalam konteks berbangsa,”
menurut Izak Lattu, “trust sebagai pusat dari intimacy menjadi
kekuatan bagi sebuah bangsa. Hidup berbangsa itu perlu intimacy. Jadi, sumbangan
buku ini bagi Indonesia sekarang adalah soal bagaimana menghadirkan intimacy,
sebab berbicara tentang bangsa, tentang masyarakat, tidak bisa dilepaskan
dari individu-individu yang saling mencintai di dalam berbagai-bagai perbedaan
yang ada.”
“Jadi, sumbangan buku ini bagi Indonesia sekarang adalah soal bagaimana menghadirkan intimacy, sebab berbicara tentang bangsa, tentang masyarakat, tidak bisa dilepaskan dari individu-individu yang saling mencintai di dalam berbagai-bagai perbedaan yang ada,” ungkap, Izak Lattu.
“Tulisan
Theo dan Weslly ini,” lanjut Izak Lattu, “secara tersirat mengatakan bahwa
Plato keliru melihat puisi. Bagi Plato, puisi itu punya daya yang berpotensi
merusak bangsa. Bagi dia, puisi itu korup; puisi akan mengkorupsi pemikiran
anak-anak bangsa, sedang bagi Plato logika adalah instansi tertinggi dari
kehidupan manusia. Estetika diletakkannya jauh di bawah logika. Namun, ternyata
kalau kita membaca buku ini, ada kecerdasan berlogika dalam puisi-puisi yang
tertulis di situ. Puisi hanya bisa ditulis kalau kita mempunyai logika yang
jelas.”
“Terdapat
98 puisi dalam buku ini. Puisi-puisi itu membuat saya berkontemplasi di
dalamnya,” kata Christian. Ia lalu mengajak kedua pembahas untuk lebih
lanjut memberi tanggapan terhadap puisi-puisi di dalam buku Cara-cara Tidak
Kreatif untuk Mencintai.
Kali
ini, Jessy Ismoyo, dosen yang juga penulis puisi, membagikan pengalaman membaca
buku Cara-cara Tidak Kreatif untuk Mencintai beserta penilaiannya. “Setiap
puisi dalam buku ini,” menurutnya, “selalu membawa kita pada ingatan tertentu, misalnya
aku suka banget puisi Bandung-Salatiga. Di dalam puisi itu dibilang (Jessy lalu
membacakannya):
rindu
ada,
waktu
tiada
rindu
ada,
waktu
tiada
rindu
ada,
waktu
tiada
kau
di sini.
”Dalam satu bait kita bisa ke mana-mana. Kadang-kadang, kepala kita bahkan mencurangi diri kita sendiri, membawa kita ke dalam ingatan-ingatan episodik (satu bagian kecil dari ingatan yang panjang), dan itu yang aku nikmati dari membaca puisi-puisi ini. Setiap aku baca dua atau tiga puisi, aku harus berhenti dan menarik napas panjang, dan bertanya, Cinta itu apa?”
”Dalam satu bait kita bisa ke mana-mana. Kadang-kadang, kepala kita bahkan mencurangi diri kita sendiri, membawa kita ke dalam ingatan-ingatan episodik (satu bagian kecil dari ingatan yang panjang), dan itu yang aku nikmati dari membaca puisi-puisi ini. Setiap aku baca dua atau tiga puisi, aku harus berhenti dan menarik napas panjang, dan bertanya, Cinta itu apa?”
“Di
dalam buku ini,” lanjut Jessy, “Theo dan Weslly bisa membuat cinta yang tadinya
dalam konteks pasangan menjadi lebih luas dari itu dan, pada saat yang sama,
tidak kehilangan esensi dari dua individu yang saling mencintai. Mereka juga mengkontemplasikan
cinta dalam hal-hal yang sangat dekat dengan mereka. Di dalam puisi-puisinya
Theo menuliskan hal-hal yang tak terduga, misalnya perasaan ketika bangun pagi,
bagaimana memandang bulan, atau bagaimana menerjemahkan rindu dengan
menggunakan apa yang ada di sekitarnya. Puisi-puisi Theo membuat pembaca
mengembuskan napas panjang pada saat selesai membacanya. Sementara puisi-puisi
Weslly, satu kalimat, satu embusan napas.”
(bersambung)
No comments:
Post a Comment