Wednesday, December 26, 2018

Ibu Pergi Takkan Lama








Mendengarkan hujan selalu merupakan pengalaman paling menggetarkan. Kala ia mengintip di jendela, menggedor atap genteng di waktu malam, menelisik di antara ujung-ujung jari tangan yang keriput, dan berada di antara percakapan panjang tengah malam, sambil minum kopi dan berciuman.

Ciuman paling pahit yang pernah kuingat, tapi aku suka. Kau yang diam-diam kukagumi menjadi sesuatu yang kubenci sekaligus kusenangi—hujan itu sendiri. Kau keramaian yang bergulir di antara kekakuanku, basah yang sering kuingini menembus kerontangku yang begitu rapuh, bagai tanah pecah, kau selalu kuinginkan untuk mengisi bagian-bagian terbelah di dalam diriku.

Kau yang diam-diam kuakui sebagai kesegaran kala penat dan kepala yang penuh, kau tempat kutumpahkan apa saja, keresahan, kegemasan, kerapuhan, rasa sunyi, tertolak, pun segala cerita-cerita masa laluku yang terlampau kelam. Kau dengan segala kelihaianmu untuk melucu akan menghiburku, kau dengan segala kegesitanmu akan melepas bajuku satu per satu, mencumbuku, menyusun kembali bagian-bagian pecah di dalam diriku hingga utuh kembali.

Ketika kecil—aku tidak diperbolehkan bermain keluar ketika hujan. Ibuku sering katakan bahwa aku bisa sakit, maka aku mesti berada di dalam rumah saja. Seringkali aku iri dengan teman-temanku yang selalu lari-larian ketika hujan, tidak takut basah, dan dengan bebas berseluncur di antara becek, yang bercak-bercaknya mengotori kulit dan rambut.

Aku mesti menerima nasibku yang tidak boleh ke mana-mana dan harus tinggal di rumah, biasanya aku membaca buku, atau bermain sendirian dengan boneka-bonekaku. Jika melihat aku sedang sendirian, Om Petir, biasanya saya memanggilnya. Ia adik ibu paling bungsu, ia tidak menghabiskan kuliahnya di kampus pada waktu itu, kata ibu, pikirannya kadang tidak waras. Aku belum mengerti apa yang dimaksud dengan itu. Bagiku ia pria yang baik, dan senang menemaniku.

Suatu ketika ibu pergi ke pasar, ia meninggalkanku bersama Om Petir, ibu katakan bahwa ia tidak akan pergi lama. Di luar hujan lebat sekali. Dari jendela aku mengintip payung hitam ibu yang berkibar-kibar tertiup angin. Dalam hatiku, aku mengingat kata-kata ibu, ibu pergi, takkan lama. Om Petir menemaniku bermain, ia mengajakku masuk ke kamar tidurnya, untuk bermain dokter-dokteran, om Petir yang jadi dokter, dan aku yang jadi pasiennya.

Aku ingat, aku bergidik untuk pertama kalinya. Om Petir setengah memaksa, walau aku sudah menggeleng, di dalam kepalaku terngiang-ngiang suara-suara ini, “ibu pergi takkan lama.” Om Petir kini telah melucuti baju dan celanaku. Ia bukan lagi pria baik hati yang kukenal. Aku mencoba mengingat suara ibu di dalam kepala, “ibu pergi takkan lama.” Semetara di luar hujan bertambah deras, dan suara petir—atau Om Petir—aku tidak dapat membedakannya lagi, meraung-raung di bawah bantal.

No comments:

Post a Comment

Featured Post

Sebuah Catatan Tidak Kreatif Tentang Cara-Cara Tidak Kreatif Untuk Mencintai

Cara-cara Tidak Kreatif Untuk Mencintai, adalah sebuah buku yang sedang kamu tunggu. Ia lahir sebentar lagi, tepat di 16 A...