Saya menyukai cara Erni bercerita. Saya pribadi yang asli orang Kei, karena Ayah dan Ibu saya berdarah langsung Kei, tidak banyak tahu mengenai falsafah dan adat istiadat yang ada di sana. Karena sejak kecil saya dan kakak-kakak saya sudah dibesarkan di Ambon. Yang saya tahu Ayah selalu berbicara dengan bahasa Kei, ketika sedang berada di pertemuan dengan keluarga.
Ada getaran hebat ketika pertama kali saya
menerima buku ini di tangan saya. Karena pertama, Kei adalah kampung halaman
saya dan kedua saya pernah merasakan mencekamnya kerusuhan yang terjadi di
Ambon ketika tahun 1999.
Dua hal inilah yang membuat
saya akhirnya merasa “klik” dengan Kei. Ketika membaca Kei, seperti ada suara
yang berdesak-desakan di dalam kepala dan hati saya yang “memanggil pulang” ada
sebuah rasa rindu yang cukup dalam untuk melihat kampung halaman saya dengan
kedua mata saya sendiri. Kampung dimana nenek moyang saya berasal. Kampung
dimana kedua orang tua saya berasal. Dan kampung dimana, saat ini saya membawa
darahnya kemana-mana. Bahwa saya terlahir sebagai seorang perempuan Kei.
Ketika Erni bercerita tentang
kerusuhan, perasaan saya pun ikut terguncang kembali. Saya tidak merasakan
kerusuhan yang terjadi di Kei, tetapi saya ada di sana, ketika kerusuhan
terjadi di Ambon, pecah di Januari, 1999. Kerusuhan yang dikarenakan oleh
sebuah kepentingan. Ya, saya setuju bahwa kerusuhan itu memang sudah
direncanakan oleh beberapa pihak. Yang pada akhirnya mengkambing-hitamkan
agama. Begitu menyesatkan.
Sebagai keluarga protestan yang dibesarkan di lingkungan minoritas, pada waktu itu Ayah dan Ibu
saya yang bekerja sebagai pendeta, mereka melayani di sebuah jemaat di daerah
Kebun Cengkih. Kami berada di posisi yang sangat terjepit. Kami sudah diancam
untuk harus segera keluar dari rumah kami sendiri. Beserta dengan gosip yang
beredar “bahwa kalau tidak keluar, nyawa adalah taruhannya.” Satu kepala pendeta
waktu itu dihargai dengan beberapa puluh juta saja.
Ibu, saya, dan kakak sudah
diungsikan ke rumah tua kami. Yang waktu itu berada di daerah yang cukup aman.
Sedangkan Ayah saya tetap keras kepala tidak mau meninggalkan rumah. Ia
bersikeras bahwa itu adalah hak miliknya. Dan tidak mungkin ia akan terusir
dari hak miliknya sendiri. Ketika itu kerusuhan di Ambon pecah lagi beberapa
kali, usah perdamaian sudah coba dilakukan. Saya ingat semua pemuka agama
dikumpulkan untuk berunding dan membacakan kesepakatan damai. Bahkan Ayah dan
Ibu pun turun untuk ikut pawai bersama. Tetapi sia-sia. Kesepakatan perdamaian
bersama itu tidak berhasil juga.
Pada bulan Juli, di
tahun yang sama. Entah kerusuhan sudah pecah keberapa kalinya di Ambon, situasi
memanas, dan akhirnya Ayah harus keluar dari rumah kami. Ketika itu hanya ada
beberapa orang kristen yang tersisa di Kebun Cengkih. Beberapa rumah dijaga
oleh aparat keamanan.
Ketika itu tanggal 23 Juli tahun 1999, menjelang siang
hari terdengar suara-suara yang dengan lantang meneriakan nama Allah Maha Besar
di kejauhan. Mereka menggunakan truk-truk besar. Dan mereka menuju rumah kami.
Ayah saya termasuk yang punya intuisi. Saya tidak tahu apakah itu adalah
intuisi atau memang itu “jalannya.” Dengan hanya membawa dua tas karung berisi
beberapa surat penting kami, ia keluar dari rumah hendak menuju rumah Dokter
Lenny Matoke, tetangga kami, yang waktu itu rumahnya dijaga oleh aparat.
Suara-suara dan bunyi truk semakin mendekat. Ayah terus berjalan. Seperti ada
yang memaksa kakinya untuk terus melangkah. Ayah seperti tahu bahwa jika ia
lengah sedikit, maka itu mungkin adalah ajalnya.
Ketika ia sedang ada di langkah-langkahnya, ia mendengar ada yang memanggil seperti berbisik “Bung Abe, lewat sini! Jangan lewat situ!”
Ketika ia sedang ada di langkah-langkahnya, ia mendengar ada yang memanggil seperti berbisik “Bung Abe, lewat sini! Jangan lewat situ!”
Belakangan Ayah cerita bahwa
suara itu adalah Kakak Ros Ubuarin. Tetangga kami yang lain, beragama muslim,
dan sesama orang Kei. Kakak Ros menunjukkan jalan supaya tidak berpapasan
langsung dengan truk-truk yang sedang menuju rumah kami. Dengan langkah
tergesa-gesa Ayah pun maju dan terus maju, akhirnya berada di sebuah rumah yang
lebih aman.
Dan Ayah saya selamat.
Bertahun-tahun semenjak
kerusuhan, saya hidup dengan cerita ini. Cerita ini adalah saksi, bahwa di
dalam setiap hati nurani manusia, ada cinta kasih, dan persaudaraan. Dan ikatan
itu lebih tinggi daripada agama yang seringkali menjadi pembeda diantara kita.
Cerita ini membuat saya
percaya bahwa, cinta kasih tidak bisa ditawar. Ia mutlak dan murni ada di dalam
setiap hati yang terbuka dan mau mendengarkan.
Ketika menulis ini, saya
menelepon Ayah untuk kembali mendengarkan ceritanya. Ia kembali
menceritakannya, dan saya selalu mendengarkan ceritanya dengan bergetar. Dan
ketika menuliskannya saya kembali berkaca-kaca.
Membaca Kei, Erni
seperti membuka kembali sebuah diary lama saya. Yang tidak pernah saya ingin
ada orang lain yang membacanya. Dan kali ini saya menuliskannya kepadamu. Buku
Kei yang ditulis oleh Erni seperti mengkonfirmasi kembali keyakinan dalam diri
kita semua bahwa, manusia itu sama, sama-sama terbuat dari kesalahan, tidak ada
yang terlalu suci untuk saling menghakimi orang lain, apalagi punya hak untuk
menghilangkan nyawa orang lain.
No comments:
Post a Comment