Oleh :
Erni Aladjai
Saya
menyukai novel. Saya mulai membaca novel sejak usia saya delapan tahun. Tentu novel anak-anak yang saya baca ketika
itu. Membacanya masih di perpustakaan sekolah. Saya tinggal di pulau kecil.
Terpencil. Ribuan mil jauhnya dari toko buku.
Seingat
saya, di tahun 90-an, novel-novel banyak mengangkat lokalitas. Sayangnya, saya
tidak mengingat nama penulisnya. Saya hanya mengingat latar novel-novel yang
saya baca. Salah satunya berlatar di sebuah desa yang terletak di kaki Gunung
Tambora. Novel lainnya, bercerita tentang satu keluarga Jawa yang
bertransmigrasi ke satu desa di Sumatra. Meski ingatan saya samar, namun saya
ingat betul, kebanyakan novel anak-anak di tahun 90-an berlatar daerah.
Sejak
itu, saya menyukai latar-latar lokalitas. Saya menyukai cara para penulisnya
menggambarkan setting novelnya. Ada bunga-bunga. Hamparan sawah. Jejeran pohon
nyiur. Hamparan laut. Gemericik sungai. Burung-burung pipit. Sekawanan lumba-lumba.
Dan matahari pagi yang menembus atap rumbia rumah-rumah di desa. Membaca latar
yang dideskripsikan pada masa itu membuat saya merasa kampung sayalah yang
mereka tulis.
Seiring
waktu, saya belajar menulis. Saya mencoba menulis novel-novel berlatar
kota-kota besar, sayangnya saya tidak pernah berhasil. Saya rasa itu karena
saya adalah anak kampung. Saya lebih banyak merekam panorama desa ketimbang
kota.
Suatu
hari, ada teman saya bercerita. Dia seorang pekerja di sebuah lembaga swadaya
masyarakat. Dia baru saja mendampingi sejumlah anak remaja kota tur di Kab.
Bulukumba, Sulawesi Selatan. Di sana ada Suku Kajang yang memperlakukan hutan
dengan baik. Teman saya ini gemas, melihat perilaku anak-anak kota. Mereka tak
mengenal pohon kopi. Mereka terheran-heran melihat pohon cengkeh. Ketika dia
menceritakan itu pada saya, saya berpikir hal-hal yang terbaikan oleh generasi
mudah adalah mendalami wawasan nusantara. Di sinilah, saya kira, pentingnya
novel-novel yang mengangkat budaya lokal. Sastra jangan sekadar berbicara
tentang percintaan dua remaja yang bertemu di lapangan basket. Atau bertemu di
dunia maya.
Sastra untuk remaja harus lebih dari sekadar percintaan,
persahabatan, atau motivasi-motivasi yang mendidihkan darah muda.
Untuk
itu, inilah sejumlah alasan saya kenapa mengangkat lokalitas (baca: daerah) :
# Sama
seperti sebagian orang, saya sudah jenuh membaca novel-novel berlatar kota
besar yang membosakan. Perebutan harta. Pernikahan yang gagal. Percintaan
lelaki kaya dan gadis miskin. Seksualitas kaum urban. Maka cara saya, adalah
dengan menulisnya. Sebab saya tak punya hak untuk memberitahu para penulis agar
menulis sesuai keinginan saya.
#
Indonesia adalah Papua, Maluku, Sulawesi, Nusa Tenggara. Tapi amat sulit
menemukan, kota-kota itu dalam novel-novel di Indonesia. Puji Tuhan, belakangan
ini, latar-latar lokal sudah banyak diangkat dalam novel Indonesia.
#
Belajar dari penulis-penulis China, kebanyakan justru mereka lebih bangga
menulis tentang budaya-budaya dan sejarah daerahnya. Di Indonesia, saya lihat, kecenderungannya,
orang lebih bangga jika bisa menulis tentang latar-latar di luar negeri. (Saya
sendiri, ingin punya satu saja novel berlatar luar negeri.) Dan latar luar
negeri, selalu punya banyak pembaca di Indonesia. Ini sama halnya kita lebih
menggemari makanan-makanan barat ketimbang Soto Betawi atau Sayur Asem.
#
Daerah selalu kaya akan kearifan lokal. Belajar kearifan lokal dan adat istidat
daerah tertentu, saya percaya bisa memanusiakan manusia.
#
Berbagi cakrawala daerah pada yang mau menerimanya. Pada mereka yang ingin
berwawasan nusantara.
Dalam
novel saya ‘Kei, Kutemukan Cinta di Tengah Perang’, saya mengangkat adat orang
Kei—Maluku Tenggara. Bagaimana adat bisa meredam konflik persaudaraan di sana.
Saya bukanlah orang Maluku, tapi saya ingin belajar tentang Maluku. Saya ingin
belajar tentang Jawa. Tentang Bali. Atau tentang Papua.
Ada
kebanggaan tersendiri, jika saya lebih tahu tentang tarian daerah ini, makanan
tradisional ini, perayaan budaya ini, adat ini, bahasa daerah ini. Kadar
kebanggaanya berbeda, dari pengetahuan yang global atau internasional.
No comments:
Post a Comment