Kelas public speaking periode September berakhir sudah. Semalam kami merayakannya dengan membuat presentasi akhir dan masing-masing peserta mesti membicarakan sebuah tema kreatifnya melalui slide yang ia siapkan. Saat-saat yang paling saya tunggu adalah kejutan-kejutan yang dilakukan oleh para peserta, biasanya apa yang tidak kelihatan selama pertemuan biasa, akan tampak ketika ada di presentasi akhir.
Bambang Erlangga, designer, memaparkan tentang apa itu design menurut perspektifnya. Sundea, penulis, menceritakan tentang mengapa kita harus mencintai apa yang sudah kita pilih di dalam hidup (termasuk jurusan kuliah) sebagai sebuah pembelajaran baru. Dea menggunakan banyak sekali perumpamaan-perumpamaan ajaib. Bahijaya Rosella, atau biasa disapa Bahe, designer juga, yang menceritakan tentang ketersesatan seorang design grafis. Intan Prisanti, seorang pekerja kreatif di bidang fashion, menceritakan tentang lima tips bagaimana supaya pekerja kreatif tetap fit dalam menjalankan aktivitasnya. Dan Nasrul Akbar mencengangkan dengan presentasinya tentang how to ruin your conversation. Nasrul menggunakan perspektif psikologi terbalik untuk mengingatkan kita bagaimana supaya nantinya tidak gagal dalam berkomunikasi. Alhasil, Nasrul dipilih oleh juri sebagai salah satu presenter terbaik tadi malam, karena Nasrul berhasil menceritakan kecemasannya dengan gemas. Terima kasih untuk juri dadakan yang sudah mau hadir, Chabib Duta Hapsoro, kurator dari Selasar Sunaryo Art Space, yang mau meluangkan waktu sibuknya, dan Tazul Arifin dari POT branding house, yang juga adalah alumni dari kelas public speaking.
Kelas public speaking bagi saya adalah seperti terdampar di sebuah pulau dengan orang-orang acak. Di sana kami hanya membawa perlengkapan seadanya, terbatas, dan supaya menghemat bekal makanan kami, yang kami butuhkan adalah mengobrol satu dengan yang lain. Menjadi manusia. Satu hal menarik tentang menjadi manusia adalah terbatas: mengakui keterbatasan, dan menerima keterbatasan. Menjadi terbatas—termasuk barangkali di dalam hidup kita masih suka mengacaukan pembicaraan, dan tidak apa-apa, karena ingat masih ada hari lain—masih ada hari lain. Sekali lagi terima kasih.