Ada sebuah kerinduan terhadap Maluku, sebagai tampa putus pusar. Tampa putus pusar atau dengan kata lain adalah tanah kelahiran, selalu punya hubungan yang sifatnya sentimental.
Seperti rahim ibu. Membuat setiap
anak yang sudah “keluar” ingin “kembali lagi” untuk melakukan sesuatu.
Melakukan sesuatu di sini bukan hanya perkara, melihat sesuatu yang tidak ada,
lalu dibuat ada.
Tetapi melakukan sesuatu di
sini adalah bentuk kepedulian untuk melihat potensi yang sudah ada dan
membuatnya lebih maksimal lagi. Jika kita amati, perkembangan seni dan anak
muda kreatif saat ini di Maluku, khususnya kota Ambon sedang mekar.
Kata lainnya: anak-anak muda
Maluku saat ini sedang menancapkan kuku jari mereka kuat-kuat ke tanah. Mereka
sedang menggali akar mereka dalam-dalam untuk menanam sebuah identitas yang
kuat.
Jika kembali kepada kata “identitas”
seharusnya anak-anak muda Maluku mengenal cerita rakyatnya: sejarah cengkih dan
pala yang membentuk mereka. Ada pengetahuan dari catatan-catatan perjalanan.
Dari buku-buku yang ada di perpustakaan.
Tapi apa yang diharapkan ketika
di Maluku, khususnya di kota Ambon sendiri tidak memiliki fasilitas
perpustakaan yang memadai. Dengan buku-buku yang cukup mendukung.
Tentu saja ada beberapa
perpustakaan yang cukup mumpuni. Tetapi tidak ada salahnya ada itikad baik
untuk menambah perpustakaan di sana. Setelah itu pekerjaan rumah tidak berhenti
sampai di situ, karena akan diadakan juga berbagai cara untuk membangun minat
baca kepada anak-anak muda Maluku.
Paling tidak, ketika ada
fasilitas buku dalam hal ini perpustakaan, pekerjaan rumah untuk kembali kepada
identitas yang hilang, bisa diam-diam terjembatani.
Setelah itu, pekerjaan rumah lainnya seperti mengenalkan kembali “catatan perjalanan yang hilang” bisa dengan mudah untuk dilakukan.
Dengan ini, maka perkenalkan
#BukuUntukTabaos sebutlah ini adalah sebuah gerakan pengumpulan buku bekas atau
baru dengan berbagai genre. Gerakan ini, sementara bermuara di Bandung.
No comments:
Post a Comment