Tuesday, March 12, 2013

Ijinkan Saya Bicara Tentang Kota


Akhir-akhir ini saya senang sekali memperhatikan kota. Memperhatikannya dalam diam. Kota yang telah saya tinggali, selama kurang lebih 9 tahun ini. Bandung. Saya menyukai Bandung sejak saya berlibur pertama kali ke sini.

Sekitar tahun 1995, saya, Tante, dan Oma, kami liburan bersama. Dan waktu itu adalah liburan kenaikan kelas. Saya, Theo remaja, ketika itu pergi mengunjungi Cihampelas. Ada di antara jejeran celana jeans yang waktu itu sedang in berat. Dan kaos oblong yang kedodoran.

Saya juga membeli sebuah celana jeans dan sebuah gelang kembaran dengan sepupu saya. Dan saya mencintai Bandung pada pandangan pertama. Diam-diam saya berbisik untuk diri saya sendiri “suatu hari nanti saya pasti akan tinggal di sini.”

Dan hal itu kejadian. Tahun 2005, saya pindah ke kota ini. Saya jatuh cinta kepada Bandung. Bandung jatuh cinta kepada saya. Kami seperti pasangan.

Saya seperti punya dua pacar: Ambon dan Bandung. Ambon adalah pacar pertama saya, dan kini kami Long Distance Relationship. Karena saya hanya bisa pulang sesekali saja.

Dan Bandung adalah pacar kedua saya. Kami saling percaya. Dan saling mendengarkan satu dengan yang lain. Kami hanya berjodoh. Kenapa saya begitu yakin bahwa kami berjodoh, karena di Bandung saya mendapatkan pekerjaan impian saya.

Pekerjaan impian yang tadinya hanya cita-cita, diwujudkan di kota ini. Bandung seperti menjawab semua mimpi-mimpi saya. Dan sampai saat ini saya masih bertahan di kota Bandung. Karena saya percaya kami punya ikatan yang lebih dari sekedar kota dan penghuninya.

Hanya saja akhir-akhir ini saya merasa bahwa ketika memasuki weekend atau libur panjang. Bandung akan terasa sesak. Banyak sekali mobil-mobil akan berdempet-dempetan dengan sangar dan tidak mau kalah.

Kota ini seperti diinvasi besar-besaran. Saya sebagai pendatang yang akhirnya menjadi penghuni kota ini merasa diserang habis-habisan dan tidak punya tempat menikmati kota ini lagi sebagai kota yang menyenangkan.

Kini, ketika liburan panjang tiba atau memasuki weekend, saya sudah stress duluan karena takut macet jika ingin pergi ke acara-acara tertentu. Dan pada akhirnya, saya hanya bisa pergi ke satu tempat saja. Lalu tinggal di situ sampai malam.

Kemarin, ketika libur panjang memasuki hari Nyepi, saya terlambat sampai 45 menit menuju radio tempat saya siaran. Padahal jam berangkatnya pun seperti biasa dan tidak mepet. Hal ini terjadi ketika pakai angkot, macet dimana-mana.

Sedih sekali ada di kota ini. Sedih sekali ketika kini pacar saya ditiduri oleh banyak orang, one night stand, dan setelah itu selesai setelah puas.

Ijinkan saya berbicara tentang kota. Bahwa kota bukan hanya tempat tinggal semata, menikmati keenakannya saja, dan melupakannya begitu cepat. Tetapi kita bisa membuka telinga kita untuk mendengarkannya. Mendengarkan kota bicara.

Kini, Bandung berbicara kepadamu, hai pengunjung Bandung seminggu sekali: choose to be nice in our city, please!  

5 comments:

  1. Kalo aku baik ga selama di Bandung? hehehheh
    -dev-

    ReplyDelete
  2. Yang juga nyebelin harus berurusan dengan pernyataan "Bandung maceet" padahal macetnya lebih sering pas weekend, dan yang bikin macet siapa juga. :D

    ReplyDelete
  3. kalau begitu aku juga menyintai bandung. ia seperti es yang mencair dan melalui halkumku.

    ReplyDelete
  4. Bandung menjadi saksi kenangan di masa muda bela-bela datang dari Jakarta-Bandung saat masih mahasiswa hanya demi bertemu kekasih tercinta. saat ituuuu hehehe

    ReplyDelete
  5. aku sangat suka cara kamu mempersonifikasikan bandung, keren bu..... salam dari aku laki-laki ke "pagi" an :)

    ReplyDelete

Featured Post

Sebuah Catatan Tidak Kreatif Tentang Cara-Cara Tidak Kreatif Untuk Mencintai

Cara-cara Tidak Kreatif Untuk Mencintai, adalah sebuah buku yang sedang kamu tunggu. Ia lahir sebentar lagi, tepat di 16 A...