Akhir-akhir ini saya senang
sekali memperhatikan kota. Memperhatikannya dalam diam. Kota yang telah saya
tinggali, selama kurang lebih 9 tahun ini. Bandung. Saya menyukai Bandung sejak
saya berlibur pertama kali ke sini.
Sekitar tahun 1995, saya, Tante,
dan Oma, kami liburan bersama. Dan waktu itu adalah liburan kenaikan kelas.
Saya, Theo remaja, ketika itu pergi mengunjungi Cihampelas. Ada di antara
jejeran celana jeans yang waktu itu sedang in
berat. Dan kaos oblong yang kedodoran.
Saya juga membeli sebuah celana
jeans dan sebuah gelang kembaran dengan sepupu saya. Dan saya mencintai Bandung
pada pandangan pertama. Diam-diam saya berbisik untuk diri saya sendiri “suatu
hari nanti saya pasti akan tinggal di sini.”
Dan hal itu kejadian. Tahun
2005, saya pindah ke kota ini. Saya jatuh cinta kepada Bandung. Bandung jatuh
cinta kepada saya. Kami seperti pasangan.
Saya seperti punya dua pacar:
Ambon dan Bandung. Ambon adalah pacar pertama saya, dan kini kami Long Distance
Relationship. Karena saya hanya bisa pulang sesekali saja.
Dan Bandung adalah pacar kedua
saya. Kami saling percaya. Dan saling mendengarkan satu dengan yang lain. Kami
hanya berjodoh. Kenapa saya begitu yakin bahwa kami berjodoh, karena di Bandung
saya mendapatkan pekerjaan impian saya.
Pekerjaan impian yang tadinya
hanya cita-cita, diwujudkan di kota ini. Bandung seperti menjawab semua
mimpi-mimpi saya. Dan sampai saat ini saya masih bertahan di kota Bandung.
Karena saya percaya kami punya ikatan yang lebih dari sekedar kota dan
penghuninya.
Hanya saja akhir-akhir ini saya
merasa bahwa ketika memasuki weekend
atau libur panjang. Bandung akan terasa sesak. Banyak sekali mobil-mobil akan
berdempet-dempetan dengan sangar dan tidak mau kalah.
Kota ini seperti diinvasi besar-besaran.
Saya sebagai pendatang yang akhirnya menjadi penghuni kota ini merasa diserang
habis-habisan dan tidak punya tempat menikmati kota ini lagi sebagai kota yang
menyenangkan.
Kini, ketika liburan panjang
tiba atau memasuki weekend, saya
sudah stress duluan karena takut macet jika ingin pergi ke acara-acara
tertentu. Dan pada akhirnya, saya hanya bisa pergi ke satu tempat saja. Lalu
tinggal di situ sampai malam.
Kemarin, ketika libur panjang
memasuki hari Nyepi, saya terlambat sampai 45 menit menuju radio tempat saya
siaran. Padahal jam berangkatnya pun seperti biasa dan tidak mepet. Hal ini
terjadi ketika pakai angkot, macet dimana-mana.
Sedih sekali ada di kota ini.
Sedih sekali ketika kini pacar saya ditiduri oleh banyak orang, one night stand, dan setelah itu selesai
setelah puas.
Ijinkan saya berbicara tentang
kota. Bahwa kota bukan hanya tempat tinggal semata, menikmati keenakannya saja,
dan melupakannya begitu cepat. Tetapi kita bisa membuka telinga kita untuk
mendengarkannya. Mendengarkan kota bicara.
Kini, Bandung berbicara
kepadamu, hai pengunjung Bandung seminggu sekali: choose to be nice in our
city, please!
Kalo aku baik ga selama di Bandung? hehehheh
ReplyDelete-dev-
Yang juga nyebelin harus berurusan dengan pernyataan "Bandung maceet" padahal macetnya lebih sering pas weekend, dan yang bikin macet siapa juga. :D
ReplyDeletekalau begitu aku juga menyintai bandung. ia seperti es yang mencair dan melalui halkumku.
ReplyDeleteBandung menjadi saksi kenangan di masa muda bela-bela datang dari Jakarta-Bandung saat masih mahasiswa hanya demi bertemu kekasih tercinta. saat ituuuu hehehe
ReplyDeleteaku sangat suka cara kamu mempersonifikasikan bandung, keren bu..... salam dari aku laki-laki ke "pagi" an :)
ReplyDelete