Wednesday, June 29, 2011
Saturday, June 25, 2011
Perjalanan Aceh - Hari Ketiga
taman putroe phang
jejak jejak lampuuk
sawah dan titik titik hujan
duren lam lhong
bakul kayu
perahu perahu merah
memancing matahari
*all the pic taken by me
Friday, June 24, 2011
Perjalanan Aceh – Hari Kedua
Aceh betul-betul membuat betah. Saya menyukai kota ini. Saya menyukai orang-orangnya. Saya menyukai hangatnya. Entahlah, Aceh semacam memiliki sihir sendiri. Ini adalah hari kedua saya di Aceh. Hampir tujuh sampai sepuluh objek wisata langsung dikunjungi hari ini.
Yang paling spektakuler bagi saya adalah ketika mengunjungi Masjid Raya Baiturrahman. Masjid megah dan tersohor itu. Untung persediaan baju panjang saya lumayan, karena jika berkunjung kesini harus memakai baju muslimah untuk yang perempuan.
Dengan bermodalkan baju panjang dan pasmina, saya pun mampir. Rumput-rumput sekitar Masjid begitu terpelihara. Banyak muda-mudi yang selesai sholat dan duduk-duduk di halaman Masjid. Saya menuju ke gedung utama, tempat orang-orang biasa menjalankan ibadah.
Walaupun bukan muslim, saya dapat merasakan kekuatan pemujaan kepada yang Maha Kuasa begitu kuat di tempat itu. Tidak sabar mata saya berkeliling mencari hal-hal yang menarik. Saya menemukan banyak Al-Quran terletak pada lemari-lemari kecil di setiap sudut. Ada ibu-ibu yang sedang menyusui bayinya. Ada keluarga kecil yang juga sibuk mengganti popok anaknya. Sampai kepada beberapa gadis abege yang sedang tertawa-tawa kecil di sudut.
Tuhan hadir, mungkin DIA sedang ada di pojokan. Menatap saya yang sedang tercengang melihat kemegahan dan keindahan pikiran-Nya melalui manusia. Atau bisa jadi DIA sedang sibuk mendengarkan cerita di rumah-Nya itu. Tiba-tiba saya hanya ingin duduk lama. Hanya ingin menatap, merenung, merasakan kuasa-Nya yang begitu kuat, atau mungkin hanya ingin melihat mata bening-Nya...
Maka saya pun diijinkan. Persis di depan pandangan saya ada seorang gadis kecil. Setelah saya tanya umurnya baru dua tahun. Rambut pirang mata coklat bening. Saya jatuh cinta terhadapnya. Ia pun bisa merasakannya. Lalu kita terkoneksi, begitu saja. Saya memotretnya beberapa kali. Tanpa disuruh, ia pun bergaya. Selesai difoto, ia langsung buru-buru menghampiri saya melihat ke mata saya dengan matanya yang bening, kemudian tertawa sendiri melihat fotonya.
Saya juga ikut tertawa bersamanya. Ia minta lagi difoto tanpa bicara, hanya dengan bahasa balita. Saya memotretnya kembali dan kembali.. tiap selesai difoto, ia pasti pingin melihat gambarnya sendiri lalu tertawa lagi.
Tuhan melihatmu dan saya. Mata-Nya bening, sebening anak-anak. Dan siang itu saya melihat-Nya jelas di mata gadis kecil itu ...
Perjalanan Aceh – Hari Pertama
Diawali dengan sebuah telepon di siang yang random, seorang Prita Laura (presenter Metro TV) mencoba peruntungannya dengan menawari saya sebuah pekerjaan. Sebutlah pekerjaan itu adalah jalan-jalan dan menulis. Sudah itu saja, semangat jalan-jalannya yang dia iming-imingi kepada saya. Dasar! Saya tukang jalan, saya langsung terima saja tawaran itu.
Dengan persiapan hanya satu hari, berangkatlah saya ke Aceh. Dengan beberapa teman lainnya, yang sebelumnya saya tidak kenal. Nah, lebih lanjut soal pekerjaan, lebih tepatnya keberadaan kita di Aceh adalah untuk membuat sebuah peta objek wisata yang representative untuk para wisatawan baik itu di dalam maupun luar negeri.
Mengunjungi Aceh pernah terbersit di pikiran saya beberapa tahun yang lalu, tepatnya setelah Tsunami. Dan keinginan ini baru terjawab sekarang. Hari pertama tiba di Aceh, sangat menyenangkan.
Begitu turun dari pesawat, kita langsung diajak menuju Rumah Makan Rayeuk, di Jl. Lueng Bata, Banda Aceh. Sebuah rumah makan dengan menu makan utama Ayam Tangkap. Jadi Ayam Tangkap ini adalah jenis masakan dengan ayam yang dipotong kecil-kecil yang digoreng dengan berbagai jenis daun antara lain daun temuru, daun sup, dan cabai hijau. Ayam-ayam kecil ini seperti bersembunyi di bawah daun-daun tersebut, jadi kita harus mencari mereka. Mungkin itu adalah filosofi dari nama Ayam Tangkap itu sendiri. Tidak lupa saya juga icip dendeng campur yang lezatnya minta ampun, juga berbagai sambal yang ditawarkan, beragam kuah-kuah, dan menutupnya dengan meminum jus terong belanda yang lezat!
Setelah itu, kita menuju hotel untuk istirahat sebentar. Oh ya, saya menginap di Hotel 61, di Jl. T. Panglima Polem no. 28. Setelah mendapatkan waktu untuk beristirahat sebentar, maka saya dan teman-teman berencana akan mengunjungi Museum Tsunami. Saya menunggu untuk menceritakan museum ini kepadamu. Museum ini terletak di Jl. Iskandar Muda, dan jika mengetik google, konon museum ini di-desain oleh Ridwan Kamil dan dibangun dengan tujuan untuk mengenang para korban Tsunami pada Desember 2004 yang lalu.
Setelah membeli karcis pada loket yang telah disediakan, kita akan masuk ke dalam pintu utama yang dijaga ketat oleh penjaga. Tas besar tidak boleh di bawa. Setelah masuk ke dalam, kita akan menemukan sebuah lorong yang begitu gelap. Dengan jalan yang agak turun ke bawah. Dan dinding-dinsing besar di sebelah kiri dan kanan yang dialiri oleh air. Jadi ketika masuk, saya bisa merasakan cipratan air di atas kepala dan muka saya.
Entah kenapa saya merinding, karena seperti dibawa menyaksikan pertunjukkan teater mengenai cerita Tsunami, lorong itu begitu gelap dan dingin. Seperti tidak ada pengharapan. Saya berjalan begitu hati-hati karena penerangan yang di sediakan pun hanya seadanya. Setelah menuruni lorong itu, saya tiba di suatu ruangan. Kalau dilihat dari bentuknya, ruangan ini seperti ruangan audiovisual yang ada di kampus-kampus. Karena bentuknya dipenuhi dengan layar-layar dimana-mana. Tetapi layar-layar itu setelah didekati, akan terlihat “tayangan adegan Tsunami” yang akan membuatmu tercengang.
Dengan penerangan yang juga tidak seberapa. Sengaja dibiarkan gelap malah. Saya masuk ke dalam satu ruangan lagi yang disebut “sumur doa.” Memasuki ruangan ini, saya melihat sederet nama-nama yang terpampang di dinding. Nama-nama yang akan membuatmu bergidik, mereka bisa jadi adalah adik, kakak, ayah, ibu, sepupu, atau orang terkasihmu. Diiringi dengan suara adzan yang bergema, seperti selalu mendoakan mereka setiap detik. Pada atas ruangan itu, seperti menara yang sangat tinggi, atau memang sumur doa. Saya melihat nama Allah ditulis dengan huruf Arab yang begitu besar. Seakan mengingatkan semua orang yang menengok ruangan itu, tidak ada yang lebih tinggi dariNya.
Keluar dari “sumur doa” saya menemukan seperti jembatan yang menanjak. Ketika melihat ke atas, saya melihat banyak sekali bendera-bendera mancanegara yang terpampang di sana. Konon ini adalah penghargaan kepada negara-negara yang sudah membantu Aceh pasca Tsunami. Jika diperhatikan Museum Tsunami ini seperti berbentuk kapal, padahal bentuk Museum ini adalah pusaran air. Lalu bentuk anyaman yang melingkari bumbungan sebelum atap, melambangkan persatuan dan kegotong-royongan masyarakat Aceh.
Satu hal lagi yang menarik perhatian saya, bangunan Museum Tsunami ini terletak di belakang kuburan Belanda Kerkoff Peutjoet. Mengingatkan saya lagi bahwa manusia hanya selangkah dengan kematian.
Selesai mengunjungi Museum Tsunami, saya dan teman-teman menuju Kapal PLTD Apung bekas Tsunami, konon kapal ini terbawa hampir lima kilometer dari tempat asalnya. Kapal yang cukup besar ini, akhirnya dijadikan pemerintah sebagai objek wisata yang menarik oleh pemerintah.
Setelah itu kita menuju Coffee Bay, beberapa menu kita coba di sini. Salah satunya adalah kopi sanger yang terkenal itu. Lokasi Coffee Bay berdekatan dengan kantor Dinas Pariwisata Banda Aceh. Yang mana setelah itu saya dan teman-teman juga harus bertemu dengan Reza Fahlevi selaku Kepala Dinas. Bang Reza begitu beliau disapa, terlihat masih muda. Dan sangat bersemangat dengan kedatangan kita. Sekaligus, saya suka mendengarkan dia bercerita tentang visinya terhadap Pariwisata Aceh.
Diskusi dan obrolan berjalan lancar. Akhirnya saya dan teman-teman memustuskan makan malam di Warung Trigading di Jl. Daud Beureu. Saya mencoba beberapa menu, salah satunya adalah tiram berkuah yang lezat sekali.
Kembali ke hotel. Ini adalah perjalanan hari pertama saya. Slogan Aceh lalu terngiang-ngiang di kepala saya “memuliakan tamu adalah adat kami.”
Belum juga sehari di Banda Aceh. Tapi apa boleh buat, saya sudah merasa sangat dimuliakan. Jatuh cinta, Tapi sekarang mulai mengantuk ...
*berhubung meng-upload lama. Akan saya lanjutkan lagi.
Lampulo
mencium bau asin tubuhmu
dari kisi kisi dermaga,
rindu yang terpintal
pada tali kapal
pun kandas,
resahku terapung
di dahan dahan bakau.
Banda Aceh, 23 Juni 2011, 19:13
Penantian
Seperti menatap layar kosong, yang akan diisi dengan kata-kata. Aku menatap layar kosong itu, seperti memikirkan apa yang hendak kutulis kepadamu yang jauh di sana. Kepadamu yang belum datang. Kepadamu yang mungkin sedang menuju ke sini. Kepada wangi tubuh, wangi air matamu.
Jendela di sampingku terbuka lebar, aroma rumput terpanggang menggodaku mengintip di luar, karena biasanya kamu melayang-layang di sana. Memamerkan cengiran dan poni, juga bibir mungil. Siapa tahu kamu akan datang, pikirku. Karena biasanya kita akan duduk di atas rumput-rumput yang bergoyang seperti rambutmu.
Tak ada tanda. Mungkin ini yang mereka sebut dengan penantian? seperti memikirkan segala kemungkinan. Bahwa penantian itu adalah akibat dari cinta sejati. Menunggu itu akibat dari ingin bersama. Datangnya dari keinginan yang begitu kuat.
Aku melirik jam dinding berdebu, detik-detiknya seperti melambat. Dan aku mulai mengetuk-ngetukan jariku ke meja. Siapa tahu ketukan jariku akan seirama dengan langkah-langkahmu. Yang sukanya berjalan sambil melompat-lompat, sesekali berjalan sangat pelan. Tapi tidak pernah mendahului aku, kita selalu beriringan.
Seperti cinta, selalu beriringan. Hanya cinta yang egois yang ingin mendahului. Dan itu bukan aku, juga bukan kamu. Kuseruput kopiku yang hampir dingin perlahan, pekatnya sesak di tenggorokan. Sebelum larut ke dalam ususku, aku masih menunggumu. Aku masih menantimu.
Ranting dan daun yang berayun di bawah langit biru, bisa kulihat di kejauhan. Mungkinkah kamu akan datang dari sana, mungkinkah ada bunyi tawamu di sana. Aku menundukkan kepalaku sedikit dari posisiku menulis, siapa tahu kamu memang ada. Siapa tahu aku akan menemukan, rentangan tanganmu yang terulur minta di peluk.
Ah, aku rindu memeluk tubuh itu. Semoga kamu masih tidak berubah, ketika aku memelukmu, kamu akan langsung menempel kedua pipimu di pipiku. Hangat pipimu akan menjalar, ke hidung ke bibir, tersesat di sana.
Aku semakin gelisah di kursi, layar di depanku tetap kosong. Tak ada yang terkatakan di sana. Tak ada rangkuman di sana. Yang aku inginkan hanya sosokmu, hanya ceritamu—kali ini, aku janji, aku tidak akan meninggalkanmu bersama malam-malam tua seperti waktu itu. Aku janji akan mendengarkanmu walau lelah, aku akan menyeka air matamu. Aku akan memperbaiki tiap detik yang retak. Semoga kamu datang dan memberiku kesempatan kedua.
Kopiku kini dingin—tak ada bayangan. Tak ada yang datang.
*menulis ini di Dago 349, ketika sedang mendengarkan Payung Teduh.
Sunday, June 19, 2011
Di dalam Gelas Anggur
Dwayne di dalam gelas anggur.
Tampak ia berenang-renang di sana. Telanjang. Sesekali, bibir mungilnya menyeruput anggur yang ada di permukaan tubuhnya sedikit demi sedikit. Di kejauhan Millo dan King memandanginya. Lalu masing-masing menorehkannya dalam dua medium yang berbeda. King menulis di diary mungilnya. Sementara Millo melukis, melayangkan kuas dengan warna-warna di atas kanvas kesana dan kemari.
Mereka menuangkan seorang perempuan.
Sementara Dwayne tampak tidak peduli, ia berenang leluasa di dalam gelas anggur itu. Merentangkan tangannya lebar-lebar. Bermain-main dengan cairan anggur yang pekat—menyeruputnya seperti menyeruput kehidupan.
“Ayolah, King, Millo! Sini gabung sama aku.” Dwayne berteriak memanggil keduanya.
“Sebentar lagi, Dwayne. Sebentar lagi selesai, saya pasti nyusul.” Millo menjawab, sambil sesekali menghembuskan asap rokoknya perlahan.
“Aku juga!” Tampak King menjawab, dengan mata yang tidak beranjak dari diary mungilnya.
“Baiklah, kalau begitu. Aku tunggu kalian di dalam sini.” Dwayne akhirnya membalas pasrah, masih bermain-main dengan cairan anggur di dalam gelas itu. Berenang. Berjinjit-jinjit. Mencelupkan jari-jari mungilnya ke dalam cairan anggur. Tak lupa kembali menyeruput cairan pekat itu.
Dwayne masih berenang di dalam gelas anggur itu. Kalaupun capek, ia akan menuju pinggiran gelas yang bening. Istirahat sebentar. Melihat keluar, melihat dunia di luar gelas anggur lebih tepatnya. Menempelkan pelipis dan hidungnya pada gelas bening itu, lalu menemukan sosok perempuan itu.
Di sana ia duduk. Millo dan King terlalu asik dengan kesibukan mereka, sampai tidak memperhatikan sosok perempuan ini, pikir Dwayne. Ia cantik dengan dagu mungil, bibir tipis. Rambut sepanjang bahu dan poni yang sesekali menusuk matanya—sedang memegang gelas anggur yang sama. Dimana Dwayne sedang berenang di dalamnya.
“Hey, kamu pasti Maradilla.”
“Betul, darimana kamu tahu saya Dwayne?” Perempuan itu menjawab dengan balas bertanya.
“Ah, semalam aku melihatmu di mimpiku. Kamu hendak ke dokter gigi, tampaknya ada gigimu yang bolong dan hendak dicabut.”
“Oh. Ya. Kalau begitu saya juga melihatmu, kamu asisten dokter itu. Yang memanggil namaku dengan nomor urut 3.”
“Hehe. Kamu ingat.” Dwayne membalasnya sambil nyengir. “Jadi, kamu akan menulis tentangku, tentang mimpi, jendela, kebun anggur, Marstonm, Hainesh, kedua temanku Millo dan King..”
“Setelah saya pikir-pikir, iya..” Perempuan bernama Maradilla itu menjawab mantap.
“Dilla, sebentar! Apa kamu melihat Millo dan King? Mereka tadi di sana, di dekat kamu. Persis di seberang meja kamu.
Perempuan itu menengok ke kanan dan ke kiri. Tampak mencari-cari dua sosok yang dimaksud Dwayne. Tapi tidak menemukan mereka.
“Sayang sekali, tidak Dwayne. Dari tadi di ruangan ini tidak ada siapa-siapa.” Perempuan itu menjawab.
“Ah, sudahlah. Mungkin mereka tidak akan datang.”
“Sudahlah, tak usah pikirkan mereka. Hubungan yang lebih dari dua, bisa jadi berhasil. Bisa jadi lebih kuat. Tapi di satu sisi, pada akhirnya kamu dan saya harus memilih. Seperti mimpi dan realitas. Mau hidup di mana, itu tergantung pilihan kita. Dan kali ini, saya memilih kamu. Kamu sudah siap Dwayne..” Perempuan itu bertanya sambil menaikkan sebelah alisnya.
“Hmm, Dilla sebentar! Ketika aku ada di dalam perut kamu, apa aku masih bisa bermimpi?”
“Tentu saja Dwayne sayang.”
Tak lama kemudian, hanya terdengar bunyi glek, glek, glek perempuan itu menyeruput cairan pekat itu perlahan. “... seperti Cabernet Sauvignon dan Merlot, demikianlah kita saling melengkapi, Dwayne.”
Kini, perempuan itu terlihat membersihkan sisa anggur di sudut-sudut bibirnya dengan serbet.
***
Anggaplah ini semacam review. Komentar saya di-sms untuk Maradilla Syachridar ketika saya selesai membaca novelnya adalah “ini novel cerdas..” di satu sisi, saya merasa beruntung mengenal Dilla secara pribadi. Dan di sisi lainnya, saya merasa bangga, Indonesia memiliki seorang perempuan muda, penulis seperti dia. Terlalu! Kalau kamu tidak membeli dan membaca novelnya. Pesan dengan mention @maradilla :)
Dago 349. Minggu, 18 Juni 2010, 15:18
Thursday, June 9, 2011
Gadis Kecil
gadis kecil, rambut keriting
roknya setinggi dada,
kini seperti burung, terbang
dengan sayap sayap berantakan.
kadang memungut daun kering, menjahit sayap kupu lepas,
terperangkap di sarang laba laba: memungut cinta—beranak
di sana. melayang—hinggap di sudut plafonmu.
Piknik
ada wangi rumput terpanggang,
seperti roti tanpa selai
terjuntai, siap untuk makan pagi
menghangatkan perut yang keroncongan.
keranjang piknik, topi jerami, buku, pensil
: lagu ben folds mengalun pelan.
di kejauhan, ada mendung hampir menangis.
Monday, June 6, 2011
Cinta Segitiga
seperti cinta segitiga,
antara jacob hunter dan bold. berbulu dan lucu—
jari kaki berembun di rumput dan tanah yang kasar
: begitu cinta, hingga bentuknya segitiga.
padahal tadinya cinta itu lingkaran.
aku menemukannya diantara jejak kaki ketiganya —
mata bening meminta sepotong roti.
Pelangi
seperti zebra cross dengan warna
aku hendak menyeberang,
rok bunga-bungaku terbang kena angin
burung gereja kini singgah
tak ada yang diucapkannya.
burung gereja juga tahu, ia memperhatikan dengan mata kecilnya
mengangguk-angguk— pelangi adalah tanda.
tak pernah ada yang tinggal di tempat, diam—
itu hanya sesaat. lalu, akan melangkah dengan
pantat bergoyang-goyang.
Wednesday, June 1, 2011
Lumbung Padi
menikah di lumbung padi
gaunku dari jerami dengan topi pak tani
tamu-tamu berkeliaran dengan kaki lumpur
tikus tikus menuang bir
mari berpesta!
hey, kamu yang kesepian
berdansa di bawah matahari
sampai pipi kemerahan
kemudian pulang ke kelambu; bercinta.
Lula dan Sasti
sudah malam, kini mereka pulang
lalu bermain di halaman
mereka pangku-pangkuan,
seperti kakak dan adik saja.
lula menyisir rambut sasti
sasti menyisir rambut boneka di tangan mungilnya
“kak lula, kita tidur di sini”
“kurasa begitu, kasihan bulan sendirian”
lula peluk sasti, bernyanyi pelan di kupingnya.
“nina bobo, adik sasti bobo..”
dua gadis mungil, lelap
di bawah jembatan layang.
Opa dan Gerimis
sepanjang pagi opa duduk di beranda
memahat kayu mengukirnya tipis tipis
hendak membuat gerimis.
ia mengukur panjang pendeknya dengan meteran
teksturnya ia perhalus, supaya tidak ada yang lebih tebal dari pada yang lain
gerimis di tangannya kini begitu indah
siap berteduh di pelipismu.
Subscribe to:
Posts (Atom)
Featured Post
Sebuah Catatan Tidak Kreatif Tentang Cara-Cara Tidak Kreatif Untuk Mencintai
Cara-cara Tidak Kreatif Untuk Mencintai, adalah sebuah buku yang sedang kamu tunggu. Ia lahir sebentar lagi, tepat di 16 A...