Seperti menatap layar kosong, yang akan diisi dengan kata-kata. Aku menatap layar kosong itu, seperti memikirkan apa yang hendak kutulis kepadamu yang jauh di sana. Kepadamu yang belum datang. Kepadamu yang mungkin sedang menuju ke sini. Kepada wangi tubuh, wangi air matamu.
Jendela di sampingku terbuka lebar, aroma rumput terpanggang menggodaku mengintip di luar, karena biasanya kamu melayang-layang di sana. Memamerkan cengiran dan poni, juga bibir mungil. Siapa tahu kamu akan datang, pikirku. Karena biasanya kita akan duduk di atas rumput-rumput yang bergoyang seperti rambutmu.
Tak ada tanda. Mungkin ini yang mereka sebut dengan penantian? seperti memikirkan segala kemungkinan. Bahwa penantian itu adalah akibat dari cinta sejati. Menunggu itu akibat dari ingin bersama. Datangnya dari keinginan yang begitu kuat.
Aku melirik jam dinding berdebu, detik-detiknya seperti melambat. Dan aku mulai mengetuk-ngetukan jariku ke meja. Siapa tahu ketukan jariku akan seirama dengan langkah-langkahmu. Yang sukanya berjalan sambil melompat-lompat, sesekali berjalan sangat pelan. Tapi tidak pernah mendahului aku, kita selalu beriringan.
Seperti cinta, selalu beriringan. Hanya cinta yang egois yang ingin mendahului. Dan itu bukan aku, juga bukan kamu. Kuseruput kopiku yang hampir dingin perlahan, pekatnya sesak di tenggorokan. Sebelum larut ke dalam ususku, aku masih menunggumu. Aku masih menantimu.
Ranting dan daun yang berayun di bawah langit biru, bisa kulihat di kejauhan. Mungkinkah kamu akan datang dari sana, mungkinkah ada bunyi tawamu di sana. Aku menundukkan kepalaku sedikit dari posisiku menulis, siapa tahu kamu memang ada. Siapa tahu aku akan menemukan, rentangan tanganmu yang terulur minta di peluk.
Ah, aku rindu memeluk tubuh itu. Semoga kamu masih tidak berubah, ketika aku memelukmu, kamu akan langsung menempel kedua pipimu di pipiku. Hangat pipimu akan menjalar, ke hidung ke bibir, tersesat di sana.
Aku semakin gelisah di kursi, layar di depanku tetap kosong. Tak ada yang terkatakan di sana. Tak ada rangkuman di sana. Yang aku inginkan hanya sosokmu, hanya ceritamu—kali ini, aku janji, aku tidak akan meninggalkanmu bersama malam-malam tua seperti waktu itu. Aku janji akan mendengarkanmu walau lelah, aku akan menyeka air matamu. Aku akan memperbaiki tiap detik yang retak. Semoga kamu datang dan memberiku kesempatan kedua.
Kopiku kini dingin—tak ada bayangan. Tak ada yang datang.
*menulis ini di Dago 349, ketika sedang mendengarkan Payung Teduh.
menunggu emang gak enak. bikin gelisah. apalagi kalau yang di tunggu adalah sesuatu yang tidak pasti.
ReplyDeleteTante terimakasih sudah post ini, ini bagus banget. saya suka setiap kata-kata yang mengalir seperti air :)