Pada hari Rabu, 9 Mei 2018 lalu, kami
mengadakan peluncuran buku "Cara-cara Tidak Kreatif untuk Mencintai"
di Kafe Cindy's, Salatiga. Pada kesempatan itu kami menghadirkan dua
pembahas, Izak. Y.M. Lattu dan Jessy Ismoyo. Keduanya adalah dosen di Universitas
Kristen Satya Wacana, sahabat kami sekaligus teman diskusi yang menyenangkan.
Diskusi yang panjang itu akan dipublikasi dalam beberapa bagian supaya tetap
bisa dinikmati dengan santai: (1) Perihal Buku Cara-cara Tidak Kreatif untuk
Mencintai; (2) Perihal Ciuman; (3) Perihal Puisi Kesukaan dan Rindu; (4)
Perihal Cinta & Puisi. Selamat membaca!
Bagian III: Perihal Puisi Kesukaan dan Rindu
Christian menyambung pernyataannya
tentang ciuman dengan pertanyaan baru, “Dari 98 puisi di dalam buku Cara-cara
Tidak Kreatif untuk Mencintai, apa puisi favorit kalian?” Percakapan tentang
puisi kesukaan itu berlanjut dengan percakapan tentang rindu-rindu yang
bertebaran di dalam puisi-puisi di buku ini.
“Ada dua puisi sebenarnya: Ciuman
yang menjaga sebuah Bangsa dan Bandung-Salatiga, karena Bandung adalah
satu-satunya kota besar di Indonesia yang belum saya datangi. Saya sudah
tinggal di kota-kota besar dunia: NY, Boston, LA, London, dll., tetapi belum
menginjakkan kaki di Bandung. Puisi itu membuat saya mengimajinasikan kota Bandung,”
demikian Izak Lattu menjawab pertanyaan Christian tentang puisi yang ia sukai.
Pertanyaan yang sama juga dijawab
oleh Jessy. “Di dalam puisi Pada Bulan yang Sama & Pada Tengah Malam
seperti Begini,” kata Jessy, “aku merasa bahwa di situ ada kerinduan yang
begitu hebatnya yang coba disampaikan dalam puisi itu. Kerinduan akan satu
sosok yang betul-betul jauh dari kita, tetapi rindu yang sehebat itu hanya
dicurahkan dengan satu sentuhan yang sesederhana: menyentuh bibir dengan tangan
yang berkerut menjadi tindak akhir dari rindu yang sebesar itu.”
Melanjutkan percakapan tentang
puisi Pada Bulan yang Sama, Theo menjelaskan, “Puisi itu yang saya tulis untuk mama
saya yang sudah meninggal. Dulu ketika kecil, mama saya sering sekali memangku
saya dan berdongeng tentang ibu dan anak yang tinggal di bulan. Teman-teman di
Maluku juga pasti punya pengalaman yang sama (didongengkan). Mama kerap sekali
pergi dan saya sering dititipkan ke tante atau nenek.”
“Kadang kita merasa bahwa kita sudah bisa cope dengan kehilangan, tetapi kadang manusia sendiri tidak bisa memastikan alam bawah sadarnya, barangkali ada hal-hal yang masih tertinggal di sana dan itu muncul dalam karya, tanpa rencana.” - Theoresia Rumthe
“Ingatan yang melekat adalah
didongeng oleh mama,” lanjut Theo. “Kadang kita merasa bahwa kita sudah bisa cope
dengan kehilangan, tetapi kadang manusia sendiri tidak bisa memastikan alam
bawah sadarnya, barangkali ada hal-hal yang masih tertinggal di sana dan itu
muncul dalam karya, tanpa rencana. Kenangan-kenangan yang belum selesai itu
sesekali keluar dalam tulisan-tulisan saya. Tentang rindu, kadang kita bilang tidak rindu, tapi sebenarnya
rindu-dan itu keluar di karya,” ungkap Theo.
“Rindu,” menurut Weslly, “adalah
sebuah pengalaman eksistensial. Rindu adalah satu kondisi di mana manusia
berhadapan dengan batas-batas sebuah diri. Merindu adalah bagaimana seseorang
menghadapi dengan keterbatasan dirinya. Ingin sesuatu tetapi tidak/belum bisa,
itu intinya, dan itu berkaitan dengan keterbatasan manusia. Namun, merindu
sebagai tindakan menghadapi keterbatasan bukanlah keadaan tak berdaya. Merindu
itu sebuah daya yang menggerakkan manusia, misalnya gelombang pemudik yang
berduyun-duyun pulang ke kampung halaman. Itu adalah wujud kekuatan rindu yang,
pada titik itu, tidak hanya personal belaka, tetapi juga bersifat sosial.”
“Ketika kita merindukan sesuatu,
keberadaan sesuatu itu akan dirasakan semakin hebat,” kata Jessy. “Dalam
keadaan itu, kita cenderung berpikir bagaimana menghapus jarak antara kita dan
sesuatu itu dengan hal yang instan. Kita lupa bahwa justru cinta dan rindu,
menghadapkan kita pada hal itu. Kadang kita selalu meminimalisir risiko. Kita selalu takut pada
kemungkinan untuk sakit. Jadi, kita menempatkan cinta sebagai urusan
hitung-hitungan yang dikatakan bung Cak sebagai investasi tadi. Kita mencintai
bangsa kita, misalnya, dengan tidak hanya mengharap-harap bahwa negara
menyediakan keamanan, tetapi kita juga mengusahakan itu setiap harinya. Kadang
kita bilang kita cinta, tetapi kita mengedepankan kepentingan diri kita
sendiri. Cinta itu memang bukan luka belaka, tetapi jangan menempuh jalan-jalan
instan semata-mata untuk menghindari risiko-risiko.”
Theo melanjutkan, “Kita tidak bisa
lepas dari kemungkinan risiko.
Keyakinan yang harus ada di dalam kepala kita adalah cinta itu memerdekakan.
Kalau memang mau setia, ya kamu setia. Bukan karena orang lain. Setia adalah
sebuah pilihan, bukan karena orang lain. Saya setia, karena saya setia, bukan
karena orang lain. Itu mungkin yang mendasar ya. Tetapi, kemungkinan untuk
merasa sakit, merasa kecewa, itu terus ada, karena kita manusia dan dari
situlah kita belajar.”
(bersambung)