Radinka.
Sebuah nama tertulis pada
kertas. Dengan beberapa digit nomor tertera di bawahnya. Saya memandangi kertas
itu lama dan mengulang kembali nama itu di dalam hati. Radinka. Radinka.
Ada desir halus muncul di hati
ketika mengucap nama itu kembali. Saya kembali mengingat ketika berpisah
dengannya. Ketika itu hari hujan di bawah pohon kamboja. Ujung payung kuning
berkibar-kibar terkena angin. Ujung-ujung kaki kita bersentuhan di antara
bunga-bunga kamboja.
Radinka tidak menangis. Ia begitu
tegar.
“Sudah saatnya saya pergi
meninggalkan rumah.”
Saya diam. Ujung tanganku
gemetar mendengar kalimat itu. Sementara di luar payung kuning, hujan semakin
deras. Bis yang kami tunggu datang juga. Berhenti tidak jauh dari pohon
kamboja. Radinka menggandeng tanganku erat dan berjalan menuju bis.
Langkah kakiku kini lebih
berat.
Radinka pergi. Ia meninggalkanku dengan
payung kuning. Hujan deras seperti berdenting. Nadanya minor.
Skidamarink a dink a dink
Skidamarink a doo
I love you.
Skidamarink a dink a dink
Skidamarink a doo
I love you.
***
Saya mendapat nomor teleponnya
beberapa hari yang lalu. Tujuh tahun sudah saya kehilangan kabar darinya.
Perpisahan di bawah pohon kamboja. Lalu bis yang menjemput. Dan saya dan payung
kuning.
Semuanya seperti film yang
kembali berputar di ingatan. Dan kini saya berhadapan dengan sebuah kenyataan
bahwa Radinka telah kembali ke kota ini. Saya harus bertemu dengannya. Tekad
saya bulat di dalam hati. Ruang rapat di kantor waktu itu terasa sesak. Saya butuh
segera keluar dari ruangan itu. Saya butuh menelepon Radinka. Saya butuh
bicara. Saya butuh bertemu dengannya.
“Bagaimana Bapak Raga, apakah
Bapak punya usulan terhadap proyek kita ini?”
Pertanyaan dari atasan membuyarkan
lamunanku. Saya kembali memusatkan perhatian ke dalam ruangan. Melihat kepada
atasan saya. Membersihkan tenggorokan dan ...
“Saya pikir cukup, Pak. Tidak
ada lagi yang perlu ditambahkan.”
Fiuh.
Rapat pun selesai. Saya
menyambar jas yang ada di lengan kursi. Dan berjalan dengan cepat ke arah meja
kerja. Menyambar dompet, handphone, dan kunci mobil. Lalu segera berjalan lebih
cepat ke arah lift.
Saya butuh meneleponnya sekarang.
Saya menunggu lift sampai di lantai dasar. Menekan beberapa digit nomor dan
menunggu.
Nada panggil di telepon.
Sekali, dua kali, tiga kali, empat kali.
Tidak ada yang mengangkat. Oh, Radinka,
please.
Saya mencoba sekali lagi sambil
berjalan ke arah parkiran. Kali ini pun nihil. Saya masuk ke dalam mobil dan
mencoba sekali lagi. Handphone saya hanya menghasilkan bunyi panjang tanpa
jawaban.
Mobil saya sudah keluar dari
kantor menuju ke jalan utama. Antrian mobil-mobil lainnya di samping kiri dan
kanan membuat jalan utama itu kini tidak karuan. Saya masih penasaran dan
hendak mencoba sekali lagi menelepon Radinka. Saya tahu pasti ada yang
menjawab. Saya masih ingat suara itu.
Suara yang khas. Saya mau bertemu dengannya. Memeluknya. Kali ini lebih lama.
Dan ia tidak boleh pergi lagi.
Bunyi nada panggil.
Tidak lama kemudian terdengar nada untuk
meninggalkan pesan.
Saya sempat ragu. Menahan diri
sebentar. Tapi kemudian kata-kata ini yang keluar.
“Dinka, ini Raga. Hei ... kamu
di sini sekarang. Apa kabar? Semoga sehat ya. Hm, kalau sore ini kosong, kita
ketemuan yuk. Kafe Payung di Jalan Kamboja. Pukul 6. Saya tunggu ya.”
Klik.
Sambungan telepon saya matikan.
Saya bahkan tidak sadar kalau suara saya bergetar di telepon tadi. Saya membuang
nafas pelan dan melihat keluar jendela. Bulir-bulir hujan satu per satu kini
jatuh di kaca jendela. Lalu deras tiba-tiba. Jalanan tambah tidak karuan. Hati
saya pun ikut tidak karuan.
Ada yang menyeberang jalan.
Perempuan dengan payung kuning. Ia menoleh sebentar kepada saya dan tersenyum bahagia. Saya ingat senyum itu. Seperti ... Radinka.
Bayangan perempuan itu ikut
hilang bersama derasnya hujan, kini di pelupuk di mata.
*Salatiga,
27 Oktober 2016. Pukul 00:37 wib. Menulis ini karena sore tadi hujan di
Salatiga. Lewat pohon kamboja. Dan ingat nama Radinka.
(Radinka Lunar, Rest In Love,
17 Oktober 2016)