Saya memulai kalimat-kalimat
saya dengan ini : “yang berdosa itu ketika jatuh cinta dan tidak menikmatinya.”
Kalimat-kalimat itu saya ucapkan pada suatu sore selesai ciuman yang sederhana. Saya
menyukai bagaimana cinta merasuk dan menghisap darah manusia seperti kutu
busuk. Berawal dari jumpa dan melihat kekasihmu berubah menjadi hantu di dalam
tidurmu.
Bagaimana kau mencintai bau
kulitnya yang berminyak. Bau tembakau yang menempel. Pelukan di bagian
punggung. Urat-urat di mata. Kelopak mata yang tertutup. Tungkai jenjangnya yang
seperti perempuan di atas catwalk. Atau caranya membikinkan kopi untuk bekal
menulis. Sungguh; itu semua adalah hal-hal sederhana yang tidak akan ada
artinya tanpa kesungguhan.
Emma Stone berkata ia tidak
akan bisa hidup tanpa cinta. Ahok tidak akan bisa bertahan tanpa cinta.
Kawan-kawan yang berdemo kemarin-kemarin tidak akan melakukannya tanpa cinta.
Bob Dylan tidak akan membuat lirik-lirik yang bagus tanpa cinta. Bahkan
Pramoedya menulis dari dalam penjara karena cinta.
Sayang sekali kita terlanjur
melihat cinta sebagai sebuah pemikiran remeh, rendah, dan mengangkang. Satu-satunya yang kerap dekat dengannya adalah orgasme: asal satu orang senang. Padahal cinta
bukan masalah satu melainkan dua. Satu tambah dua sama dengan tiga. Saya
ditambah kamu sama dengan Indonesia. Saya membayangkan apa yang ada di dalam
benak pencipta ketika ia mencipta Indonesia. Sudah pasti bukan siapa yang
paling berkuasa. Atau sudah pasti bukan siapa yang lebih berhak menjadi
pemimpin sementara yang lain tidak layak. Tidak pantas. Tetapi rasanya ia
mencipta karena cinta. Maka setiap orang memiliki cinta berhak untuk memimpin.
Siang tadi kami membaca Sartre,
ia menulis ada seorang laki-laki yang punya lubang hidung begitu besar sehingga
ketika ia bernafas keluarganya pun akan ikutan hidup. Diam-diam saya berpikir
tentang hal lainnya tentang cinta. Cinta adalah membiarkan yang lain hidup.
Tetapi bukan yang lain lantas mati.
No comments:
Post a Comment