Percakapan
tadi malam adalah tentang sayang. Bagaimana kita membedah konsep sayang. Saya
memang tidak terlalu suka menggunakan kata cinta. Bagi saya kata cinta terlalu
sensual. Tidak penuh seperti kata sayang yang selalu saya suka. Tetapi kadang
pada sebuah situasi tertentu, saya menyukai kata cinta. Jika memang ia
dimasukkan ke sebuah konteks yang seksi dan menggigit.
Sayang kamu sungguh-sungguh.
Adalah
sebuah kalimat terbaik kami yang biasanya sering kami kirimkan melalui pesan
singkat sehari-hari. Sebuah kalimat pendek yang tidak hanya dikirim sebagai
suatu kebiasaan. Melainkan kami lalu memaknainya diam-diam. Ada dua konsep di
sana: sayang dan sungguh-sungguh.
Sayang
kemudian saya pahami lebih luas. Ia seperti langit. Ia seperti semesta. Sesuatu yang tidak berbatas. Satu-satunya yang membatasi
kami adalah mata. Bagaimana kami tidak saling melihat dan berjarak namun kami tahu bahwa kami saling sayang. Kami saling menyayangi. Konsep ini lalu diam-diam berkembang
menjadi tidak saling menuntut dan saling menerima apa adanya saja, masa lalu,
masa sekarang, maupun masa depan.
Saya
katakan, saya mau menyayangi seperti Ayah dan Ibu saya. Bagaimana mereka terus
memberi melalui kekurangan mereka. Tetapi apakah saya sudah seluas Ayah dan
Ibu? itu sebuah pertanyaan. Ayah dan Ibu sudah punya penghayatan yang lebih
dalam tentang arti sayang.
Suatu
hari saya begitu dongkol karena Ayah cerita bahwa ia harus mengeluarkan
sejumlah uang kepada pekerja yang (tiba-tiba) datang ke rumah dan menawarkan
jasa untuk mengecat jendela dan pintu rumah kami lalu diakhiri dengan Ayah
harus membayar dengan sejumlah uang yang tidak masuk akal.
Ayah
cerita itu kepada saya. Lalu jawaban saya waktu itu: “Pa, lain kali kalau ada
yang begitu ditolak saja.” Ayah saya merespon dengan cara yang lain sama
sekali: “Ya sudah, tidak apa-apa, mereka juga cari duit. Lagipula Papa juga ada
uang sedikit.”
Saya
hanya diam saja. Tetap dongkol di dalam hati karena merasa Ayah saya telah
dimanfaatkan.
Kedongkolan
ini masih terus berlanjut ketika di hari yang lain, saya menemukan Ayah
saya meminjamkan sejumlah uang kepada orang-orang tertentu yang dengan (tiba-tiba)
datang ke rumah. Tetapi kami anak-anak memang tidak dapat melarang. Ayah saya
terlanjur punya konsep tentang sayang.
Dan menyayangi orang lain. Menyayangi orang lain dengan tulus. Kemudian respon
dari menyayangi yang seperti itu adalah memberi dari kekurangan.
Tadi
malam saya katakan di telepon kepada kekasih saya. Saya mau menyayangi kamu
seperti yang sudah dilakukan oleh Ayah. Dan salah satu ciri dari menyayangi itu
adalah saya harus memberi dari kekurangan.
Kedua, sungguh-sungguh. Saya mengartikan
sungguh-sungguh dengan sepenuh hati. Tidak hanya di mulut. Melainkan segenap
pikiran, akal, dan perasaan menyadarinya dengan penuh.
Ayah
saya tidak pernah complain ketika Ibu
saya tidak pandai memasak. Selama masa perkawinan mereka, sampai Ibu meninggal,
mereka tidak pernah ribut-ribut karena Ibu yang tidak memasak. Ayah saya malah
belajar melayani dirinya sendiri. Memasak nasi sendiri atau menggoreng telur
seadanya pun ia kerjakan.
Sungguh-sungguh
itu tidak complain.
Ada
jeda sebentar ketika menulis ini.
Sayang kamu sungguh-sungguh, tidak lagi menjadi kalimat biasa. Mereka juga
pengingat. Mengingatkan saya kepada apa yang sudah dilakukan oleh Ayah kepada
Ibu. Sekaligus mengingatkan saya untuk mulai melakukan kalimat pendek tersebut dengan sungguh.
No comments:
Post a Comment