Saya
mencari Hujan. Saya melihat iklannya di tv hampir sebulan yang lalu:
HUJAN HILANG. Begitu bunyi headline
dari berita-berita yang disiarkan. Dilanjutkan dengan banyak sekali sayembara
yang diumumkan untuk mencari Hujan. Karena Hujan sudah lama hilang. Barang
siapa yang menemukan Hujan, ia dapat membungkusnya dengan rapi dan dikirim ke
si pembuat sayembara dengan jumlah imbalan yang tidak sedikit.
Saya sebagai penikmat Hujan merasa ini adalah
sebuah tantangan. Saya harus dapat
menemukan Hujan. Itu sudah menjadi tekad saya. Tapi sayang sekali Hujan belum
saya temukan.
Saya lalu melakukan perjalanan dari
satu kota ke kota yang lain untuk mencari Hujan. Namun usaha saya masih
sia-sia. Hujan masih misterius. Belum juga saya temukan. Sejak sebulan itu setiap
hari saya berjalan ke lorong-lorong kecil, gang-gang-gang sempit, pasar,
perumahan penduduk, jalan-jalan besar, sekolah-sekolah, halaman kosong. Namun Hujan belum juga saya temukan.
Saya lalu sampai di kota Kesepian, ini
adalah kota pencarian saya yang terakhir. Barangkali saya menemukan Hujan di
sini. Atau barangkali saja ada orang yang dapat memberitahukan kepada saya
rahasia besar ini: dimanakah Hujan tinggal?
Malam ini kota Kesepian sepi. Tidak ada
lagi orang-orang. Hanya saya dan lampu-lampu malam. Saya termenung-menung
memandang lampu-lampu malam di kejauhan. Ajaib, lampu-lampu yang begitu meriah,
warna-warni itu tampak kesepian. Mereka seperti sedang mencari sesuatu. Mereka
seperti sedang menantikan sesuatu. Mereka seperti sedang ingin menceritakan
sesuatu.
Saya mendekat kepada salah satu lampu
malam berwarna kuning buram dan sedih.
“Hai, apakah kamu sedang sedih?”
“Iya, kok kamu tahu?”
“Hm, hanya bertanya. Barangkali kamu
mau cerita?”
Ia lalu menggeleng perlahan. Menunduk.
Dan tidak lagi menatap mata saya.
“Mereka semua pergi meninggalkan saya.”
“Ehm, apa, siapa, maksud saya, adakah
yang pergi meninggalkanmu?”
“Iya, mereka semua pergi meninggalkan
saya. Termasuk Hujan.”
Saya terlonjak kaget. Spontan saya
bertanya.
“Eh, sebentar, kamu melihat Hujan? Kamu
bertemu dengannya? Eh-eh dimanakah ia tinggal? Kamu tahu? Kamu bisa kasih
alamatnya kepada saya? Saya pun sedang mencari Hujan?”
Saya memberondonginya dengan
pertanyaan-pertanyaan itu.
Lampu malam berwarna kuning buram dan
agak sedih itu lalu tertunduk lemas. Kali ini ia benar-benar tidak mau lagi
memandang mata saya. Saya agak sedih. Saya lalu enggan melanjutkan
bertanya-tanya kepada lampu malam kuning buram yang sedih itu. Dia
bahkan tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan saya.
Saya lalu pergi dari situ. Membakar
sebatang rokok dan menghisapnya dalam-dalam. Saya akan memberitahumu sebuah rahasia
di muka bumi ini? Kamu, benar-benar kepengin tahu? Baiklah akan saya beri tahu:
bahwa menghisap rokok itu paling nikmat jika kamu lakukan sambil memandang
lampu-lampu malam ditemani Hujan.
Ah, sudahlah tapi sekarang saya hanya bertemu
lampu-lampu malam. Tak ada Hujan. Dan ini kota Kesepian. Kemana saya harus
mencari Hujan? Tanya saya di dalam hati.
Pada hisapan kedua, saya bertemu dengan
lampu malam lainnya. Ia hijau. Tidak mencrang. Seperti hijau gorden yang sudah
lama sekali tidak dicuci. Agak mbladus.
“Hei, saya tidak tahu kalau kamu
merokok?” Lampu malam hijau mencrang seperti
gorden itu menyapa saya duluan.
“Ah, ya! Saya ng-eh- iya, tidak juga.
Saya memang tidak merokok. Tapi ada satu rahasia: bahwa menghisap rokok itu
paling nikmat jika kamu lakukan sambil memandang lampu-lampu malam bersama
Hujan. Jadi ya begitulah.” Jawab saya sambil mengedikkan bahu.
Lampu malam hijau mencrang seperti
gorden itu tertawa.
“Ah, kamu bisa saja! Itu hanya alasan.
Padahal kamu tahu kan, kalau merokok itu tidak baik untuk kesehatan kamu?”
Saya tersenyum.
“Tidak apa-apalah kalau sekali-kali.” Jawab saya enteng.
“Mau kemana malam-malam begini?”
“Tidak. Hanya jalan-jalan. Saya mencari
... eh, saya mencari ...” Tiba-tiba saya agak kebingungan melanjutkan jawaban
saya. “Saya mencari sesuatu. Saya mencari Hujan. Apakah kamu tahu dimanakah
Hujan tinggal? Dimanakah saya dapat bertemu dengannya?”
“Hujan?
Mereka pergi.”
“Pergi ke mana?”
“Mereka pergi. Pulang. Meninggalkan
kami. Biasalah, ini kan jelang Lebaran. Dan Hujan pulang ke kampung halamannya.”
“Kampung halaman? Saya bahkan tidak
tahu jika Hujan punya kampung halaman.” Jawab saya bingung. “Dapatkah kamu beritahu kepada saya,
dimanakah kampung halaman Hujan?” Tanya saya, begitu penasaran.
“Loh, saya juga nggak tahu. Jelang Lebaran,
Hujan pun pulang meninggalkan kota Kesepian. Setiap orang di kota ini pun
pulang. Mereka pulang ke rumah mereka yang sebenarnya. Di kota Kesepian ini
mereka hanya singgah. Dan selama-lamanya jelang Lebaran, kota ini akan kembali
kesepian, seperti namanya. Bahkan Hujan pun pulang meninggalkan kamu. Ke rumah
mereka yang sebenarnya. Meninggalkan kami, lampu-lampu malam. Itu sebabnya,
kami selalu sedih menjelang Lebaran. Tak ada lagi yang menikmati keindahan
kami. Bahkan Hujan pun tidak menemani kami. Oh, mungkin hanya kamu. Kamu dengan
sebatang rokokmu itu.” Jawab lampu malam hijau mencrang seperti gorden itu
panjang lebar.
Saya lalu agak sedih. Karena Hujan pun
sudah tidak dapat ditemukan di kota Kesepian. Jelang Lebaran, Hujan pulang.
Entah kemana. Meninggalkan kota Kesepian.
“Saya mau memberitahumu sebuah rahasia:
kami, lampu-lampu malam di kota Kesepian tidak pernah pulang jelang Lebaran. Tugas
kami jelang Lebaran memang bukan untuk mencari Hujan seperti yang kamu lakukan.
Tetapi kami ada untuk menerangi jalan-jalan di kota Kesepian. Supaya, ya,
paling tidak, orang-orang seperti kamu tidak berjalan di dalam kegelapan. Atau
tidak merasa kesepian di kota Kesepian. Walaupun terkadang, kami dingin dan
sepi. Itu biasanya akan membuat kami agak sedih, warna kami akan berubah
menjadi agak buram. Tapi kami tetap tegak, berdiri di jalan-jalan menerangi
kota Kesepian.”
Rokok di jari saya sudah habis. Saya
sudah tidak lagi punya persediaan rokok. Sudah tidak ada lagi warung atau toko
yang buka. Sudah tidak ada lagi orang-orang yang berseliweran. Kota ini
benar-benar kesepian seperti namanya. Saya merasa, saya sudah tidak bisa lagi
mencari Hujan. Karena ini adalah kota terakhir dari perjalanan saya. Ini jelang
Lebaran. Dan katanya Hujan telah pulang. Pulang ke rumahnya yang sebenarnya.
Rumahnya yang sebenarnya dimana pun saya tidak tahu. Lampu-lampu malam pun
tidak ada yang tahu. Ini pun kota Kesepian. Tidak ada lagi orang yang bisa saya
tanyakan.
“Dimanakah Hujan tinggal? Kemanakah ia
pulang?”
Ini jelang Lebaran di kota Kesepian. Saya masih juga belum menemukan Hujan.
Saya tidak lagi dapat bertanya kepada lampu-lampu malam. Separuh dari mereka
sudah redup. Mungkin mereka tidur.
No comments:
Post a Comment